Bahkan Presiden Joko Widodo pun memuji keindahan Tukad Badung.
Pada pertengahan Mei lalu, Jokowi mengunjungi sungai di tengah Kota Denpasar. Tak lupa, presiden ketujuh Republik Indonesia ini pun berfoto-foto bersama para pejabat, pusat maupun daerah.
Secara fisik, Tukad Badung memang terus berbenah selama dua tahun terakhir. Sejak 2017, sungai yang membelah Denpasar dari utara ke selatan ini ditata sehingga terlihat lebih indah. Pusatnya ada di Jalan Gajah Mada, kawasan bisnis paling ramai di kota ini.
Tukad Badung yang semula seolah tak terurus, kini dibuatkan bantaran sungai dari beton di kanan kirinya. Ada pula tempat duduk berundak serupa di stadion, air mancur, dan lampu warna-warni saat malam hari.
Bagi para pecinta keindahan dan pemburu foto-foto cantik, Tukad Badung menjadi daya tarik baru. Bahkan, beberapa orang menyebut Tukad Badung dengan istilah Tukad Korea.
Sebutan ini mengacu pada Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan, salah satu sungai di tengah kota yang ditata sedemikian rupa secara estetis dan ekologis.
Setelah ditata, Tukad Badung pun kini menjadi salah satu tempat favorit bagi warga maupun turis untuk menikmati kotanya. Apalagi dia memang berada di jantung kota. Diapit Pasar Badung, pasar terbesar di Bali, di sisi timur dan Pasar Kumbasari, tempat belanja oleh-oleh di sisi barat, membuat Tukad Badung memiliki nilai tambah.
Apalagi, dia juga berada di pusat bisnis dan pariwisata Denpasar.
Namun, apakah keindahan Tukad Badung sejalan dengan kelestarian secara lingkungan? Apakah fungsi estetis Tukad Badung sepadan dengan kondisi ekologisnya?
Jarang Ditemukan
Dua penelitian tentang Tukad Badung menunjukkan hal sebaliknya, Tukad Badung menjadi salah satu sungai tercemar di Bali.
Pertama, penelitian oleh Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Sumber Daya Genetika (PSDG) Universitas Udayana (Unud), Bali tahun lalu. Penelitian ini tidak spesifik hanya Tukad Badung, tetapi juga Tukad Yeh Sungi di Tabanan.
Menurut Kepala UPT PSDG Unud IGP Wirawan penelitian itu untuk melihat bagaimana kualitas lingkungan dua sungai tersebut. Indikatornya adalah pada ikan seluang (Rasbora sp) yang dalam bahasa Bali disebut nyalian.
Wirawan mengatakan pemilihan ikan seluang sebagai indikator karena dari 59 jenis, 3 di antaranya merupakan jenis endemik di Bali. Ikan jenis itu banyak ditemukan di sungai-sungai di Bali. Begitu pula bagi Wirawan ketika dia masih kecil di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Tabanan.
Namun, saat ini jumlah ikan tersebut makin sedikit dan susah ditemukan.
“Hipotesis kami, perubahan ekosistem dua sungai itu akan menyebabkan efek pada biota di sungai, terutama pada flora dan fauna yang menggunakan air sebagai sumber kehidupan,” kata Wirawan.
Penelitian di dua sungai itu mengambil sampel tiga lokasi: hulu, tengah, dan hilir. Untuk Tukad Badung, hulunya di Desa Plaga, Kabupaten Badung; tengahnya di Peguyangan, Denpasar Utara; sedangkan hilir di Kepaon, Denpasar Selatan. Di masing-masing lokasi itu tim peneliti mengamati di lima titik.
Hasilnya, populasi ikan seluang lebih jarang ditemukan di bagian hulu dan hilir. Rata-rata hanya 5 ekor di tiap titik atau bahkan tidak ditemukan. Adapun di bagian tengah, populasinya lebih dari 10 ekor di tiap titik.
Tim peneliti tidak memiliki data awal jumlah ikan seluang sebagai perbandingan. Namun, berkaca pada pengalaman Wirawan pada masa kecil, dulunya ikan jenis ini sangat mudah ditemukan.
“Sekarang, jumlah ikan nyalian sebagai indikator kualitas lingkungan sangat menurun. Padahal, mereka ikan endemik Bali,” tambahnya.
Berkurangnya populasi ikan seluang, menurut Wirawan, menjadi indikasi menurunnya kualitas lingkungan Tukad Badung. Penyebab pencemaran itu di antaranya adalah pestisida pertanian dan racun di bagian hulu serta logam berat di bagian hilir.
Penelitian tentang ikan seluang sendiri hanya salah satu bagian dari penelitian lebih mendalam terkait kualitas Tukad Badung dan Tukad Yeh Sungi. Nantinya, ikan seluang itu juga akan diteliti apakah mengalami perubahan gen atau tidak. Juga kemungkinan adanya pencemaran pada biota lain di sungai, misalnya, padi atau sayuran.
“Kalau pada ikan nyalian saja terjadi (perubahan genetik), maka biota di atasnya juga bisa. Begitu pula pada manusia,” lanjutnya.
Ekosistem Terganggu
Hasil penelitian UPT Pengembangan Sumer Daya Genetik Unud itu sejalan dengan penelitan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali pada 2012. Lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan ini melakukan pengamatan di Tukad Badung menggunakan bioindikator. Mereka hanya fokus di Tukad Badung yang masuk wilayah Kota Denpasar.
Lokasi penelitian itu di lima lokasi juga yaitu Zona 1 di Pura Taman Beji Ubung, Zona 2 di kawasan Kampung Jawa, Zona 3 di belakang Rumah Sakit Wangaya, Zona 4 di sekitar Jalan Imam Bonjol, dan Zona 5 di dam Jalan By Pass Ngurah Rai, Suwung.
Dari penelusuran di sungai sepanjang 22 km pada saat itu, peneliti menemukan beragam masalah sosial dan lingkungan. Di Zona 1, sungai ini menjadi sumber air bagi pertanian maupun ritual agama Hindu. Di Zona 5, dia menjadi salah tempat bagi warga untuk berwisata.
Namun, sepanjang sungai dipenuhi beragam tindak pencemaran. Misalnya, pembuangan limbah rumah tangga, sampah, mencuci, kotoran ternak, sampai limbah medis dan industri sablon.
Pengamatan lapangan menunjukkan memang masih banyak warga membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai. Sampah-sampah pun terlihat, misalnya, di kawasan Jalan Nusa Indah, Denpasar Barat. Bau menyengat busuk terasa tajam pada pekan lalu ketika seorang warga mengambil bangkai di sungai.
Tentu saja pemandangan itu tidak sebanding dengan keindahan Tukad Badung di kawasan Jalan Gajah Mada yang dikunjungi Jokowi pekan lalu.
Direktur PPLH Bali Catur Yudha Hariani mengatakan berdasarkan riset tujuh tahun lalu, kualitas lingkungan Tukad Badung masuk kategori C. Artinya, masuk kategori tercemar.
Perlu Ketegasan
Dari hasil pengamatan bioindikator saat itu, biota terbanyak yang ditemukan adalah siput, cacing, dan lintah. Siput di lima zona penelitian ditemukan sebanyak 399 ekor. Cacing sebanyak 241 ekor. Lintah 142 ekor.
“Ketiganya termasuk biota yang tahan terhadap pencemaran. Karena itu mereka paling banyak,” kata Catur.
Adapun ikan paling banyak ditemukan di sungai ini adalah ikan sapu-sapu yang masuk dalam famili Loriicariidae. Ikan jenis ini bisa hidup di tempat sangat kotor dengan tingkat pencemaran tinggi.
Namun, biota yang sensitif pada kualitas lingkungan, misalnya capung, sangat jarang dijumpai. “Ini menunjukkan ekosistem Tukad Badung memang terganggu,” lanjutnya.
Meskipun demikian Catur tetap mengapresiasi penataan sebagaimana dilakukan di kawasan Jalan Gajah Mada, Denpasar. Namun, menurutnya, penataan itu hanya solusi cepat dan perlu ditindaklanjuti dengan upaya lain.
Menurut Catur jika tidak diikuti dengan upaya lain, penataan dengan membuat bantaran sungai dari beton justru menjadi masalah. “Karena beton justru membunuh ekosistem sungai. Biota sungai perlu oksigen untuk bernapas. Kalau memang dibeton, perlu ada tanaman agar biota sungai cukup oksigen,” katanya.
Tak kalah pentingnya, lanjut Catur, adalah pencegahan agar sampah dan limbah warga maupun usaha tidak lagi mencemari sungai. “Pemerintah harus tegas pada usaha-usaha sepanjang sungai yang masih mencemari sungai dengan limbah, seperti laundri dan sablon. Itu yang sekarang amat mengancam lingkungan Tukad Badung,” tegasnya. [b]
Tulisan ini juga terbit di media lingkungan Mongabay Indonesia.