Selama 30 tahun Masyarakat Petani di Dusun Sendang Pasir belum menemui titik terang terhadap status tanah yang telah mereka rawat secara turun temurun. Meskipun Hak Guna Usaha (HGU) dari PT. Margarana telah berakhir pada 31 Desember 2005. Kemudian putusan Mahkamah Agung nomor 591 PK/Pdt/2018 pada 10 Agustus 2010 keluar, nyatanya tidak memberikan angin segar bagi petani Sendang Pasir.
Kendati banyaknya tantangan yang menimpa masyarakat Petani Sendang Pasir, tidak menyurutkan semangat mereka untuk memperjuangkan hak atas lahannya. Sebagian besar masyarakat disini tergabung dalam Serikat Petani Suka Makmur (SPSM) yang selama puluhan tahun mengupayakan berbagai langkah baik melalui jalur hukum maupun memperkuat jaringan dengan masyarakat untuk mempertahankan ruang hidupnya. Maka dari itu, pada 24 September 2021 Serikat Petani Suka Makmur bersama masyarakat sekitar mengadakan berbagai kegiatan untuk memperkuat jaringan dan menyuarakan tuntutannya dalam ‘Musyawarah Tani Indonesia: Reforma Agraria Sejati Jalan Keselamatan Rakyat’ untuk memperingati Hari Tani Nasional (HTN).
Dalam peringatan ini, adapun beberapa kegitan yang berlangsung, di antarnya, peresmian sumur imbuhan dan sumur resapan di kebun kolektif, aksi menanam bersama di kebun kolektif dan pesisir pantai, pertemuan daring HTN bersama jaringan KPA di seluruh Indonesia sekaligus orasi dari perwakilan serikat petani, dan diskusi Bali Water Protection (BWP) terkait integrasi pertanian dengan sumber daya air untuk ketangguhan dan kemandirian petani. “Tujuan dari HTN ke-61 ini yaitu membangun kesadaran kritis dan kebersamaan antar petani dalam memperoleh Hak Kepemilikan atas tanah,” ungkap Indrawati dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali.
Berbagai elemen masyarakat pun terlibat dalam acara ini sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan Serikat Petani Suka Makmur. Dimulai dari komunitas seni, mahasiswa, pelajar, KPA Bali, dan IDEP Foundation. Para solidaritas yang hadir pun ikut membantu mensukseskan perayaan Hari Tani Nasional.
Tepat pukul 08.00 WITA acara diawali dengan peresmian sumur pantau dan sumur imbuhan secara adat. Prosesi ini merupakan bentuk rasa terima kasih masyarakat, karena tanpa air, pertanian tidak akan bisa berjalan. Kedua sumur tersebut merupakan bagian dari kerjasama antara IDEP Foundation dengan serikat petani yang terbentuk dari tahun 1993 ini.
Kehadiran Sumur Pantau dan Imbuhan merupakan bagian dari upaya Bali Water Protection (BWP), program dari IDEP untuk memberikan informasi secara langsung terkait permasalahan intrusi air laut yang terjadi di Pemuteran. Selain banyaknya industri akomodasi pariwisata di Pemuteran yang menggunakan air tanah, pertanian juga menggunakan air tanah karena lahan eks-HGU ini tidak menerima aliran PDAM. “Lahan kolektif ini kita pakai sebagai percontohan, ketika mengambil air, kita perlu juga bertanggung jawab dengan mengimbangi dengan sumur imbuhan,” ungkap Putu Bawa, Manajer Bali Water Protection, IDEP Foundation.
Serikat pun menyambut baik pembangunan kedua sumur tersebut, sebab keduanya memiliki fungsi yang sangat penting untuk keberlanjutan pertanian dan lingkungan. Sumur Pantau dibuat untuk memantau fluktuasi air bawah tanah. Selain dimanfaatkan para petani, sumur ini juga digunakan untuk melihat seberapa tinggi permukaan air bawah tanah yang nantinya akan diukur setiap tahun. Setelah itu ada sumur imbuhan yang dibangun untuk mengisi air kembali ke bawah tanah, sehingga meminimalisir intrusi air laut. Selain membangun di kebun kolektif, BWP juga membangun sumur imbuhan di beberapa titik sekitar Desa Pemuteran, yakni di Kantor Desa dan Sekolah.
Upaya ‘penghematan’ air juga dilakukan oleh SPSM saat ini. Dimulai dari mengganti metode penyiraman. “Untuk penyiraman, petani disini sebelumnya menggunakan sistem kocor dengan pipa, itu yang membuat boros, banyak terbuang airnya,” ungkap Roberto Hutabarat, aktivis lingkungan yang telah mendampingi warga dari tahun 1993.
Kekurangan sistem kocor ini juga diakui Rasik–Ketua Serikat Petani Suka Makmur. Selain boros, sistem ini juga telah menguras banyak tenaga. Petani tidak hanya harus membuat saluran yang panjang, tapi juga harus menyambung dan menggeser pipa. Mereka perlu memantau aliran air hingga proses penyiraman berakhir. Untuk itu, di lahan percontohan, kelompok tani ini kemudian beralih dengan mencoba sistem penyiraman menggunakan sprinkler. “Kita buat terobosan dengan menggunakan kincir [sprinkler] ini, jadilah tidak boros dengan air, air juga tidak mengalir kemana-mana,” jelas Rasik. Ia pun menambahkan “memang modal lebih nambah, tapi untuk keberlanjutan malah lebih murah dan juga tidak capek.”
Selain memperbaiki sistem penyiraman, petani juga mulai mencoba merubah sistem pertanian mereka yang awalnya banyak memanfaatkan produk pertanian kimia, menjadi organik. “Ketika kita bicara tentang menghemat air bagi petani, tidak melulu ‘menghemat air dengan menggunakan air secukupnya’ tetapi bisa dengan merubah pola tanamnya,” terang Bawa.
Percobaan perubahan pola tanam ini secara perlahan juga diterima manfaatnya oleh petani untuk meminimalisir penggunaan air. Rasik pun melihat perbandingannya. Ketika kebun dikelola tanpa kimia, air yang disiram tidak langsung terserap. Sedangkan ketika kebun terlalu banyak menggunakan kimia, air sangat cepat menyerap dan membuat tanah kering. “Waktu dikasih rabuk kimia [urea] tanah sangat mudah kering,” kata Rasik.
Selain itu, penggunaan herbisida juga berdampak pada kondisi tanah. “Kalo kita pakai racun rumput, tanah akan ikut rusak, katos dan pecah-pecah,” tambah petani yang telah berulang kali menemui pemerintah untuk memperjuangkan haknya.
Membangun Pertanian Terintegrasi
Alternatif untuk meminimalisir pertumbuhan rumput salah satunya menggunakan metode yang lebih alami yaitu mengambil rumput-rumput tersebut. Rumput nantinya akan dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Upaya ini merupakan langkah membangun pertanian yang lebih terintegrasi. “Jadi di lahan kolektif ini ada tanaman pangan dan pakan, ternak, air, tempat pembenihan, pembibitan, kompos, serta biogas,” ungkap Roberto.
Disebut terintegrasi karena melalui ternak akan menghasilkan kotoran yang dimanfaatkan sebagai kompos dan biogas, kemudian dari kompos juga dimanfaatkan untuk pembenihan, lalu pembibitan dan dapat ditanam. Keberadaan ternak di lahan kolektif ini merupakan bagian dari program IDEP terkait koperasi ternak. “Ternak ini diberikan untuk serikat dan serikat yang memilih sepuluh penerima manfaat dengan kategori anggota yang sedang memiliki anak sekolah,” jelas Rasik.
Sebagai awal, koperasi ternak terdiri dari enam ekor sapi betina dan empat ekor sapi jantan. Dari sepuluh sapi, nantinya akan dikembangkan dan bisa bermanfaat bagi kehidupan petani. “Dari ternak ini semoga nantinya bisa membantu kebutuhan sekolah anak, kemudian dapat berkembang dan bisa membantu anggota lainnya,” harap Wayan, PIC program koperasi ternak dari IDEP Foundation.
Komponen-komponen yang ada di lahan kolektif merupakan upaya membangun model permakultur yang nantinya dapat diterapkan oleh petani di lahan pribadinya. Permakultur menjadi langkah dasar untuk membebaskan petani dari jeratan revolusi hijau. Jeratan ini membuat petani seakan menjadi konsumen, karena terus bergantung pada pupuk kimia, herbisida, pestisida, dan membeli benih-benih GMO (rekayasa genetik). “Desainnya revolusi hijau membuat petani tetap miskin karena harus bergantung pada industri, kapitalis,” kata Roberto.
Upaya penerapan permakultur juga masuk dalam langkah mewujudkan reforma agraria, yaitu ‘tata produksi’ dalam access reform. Agar nantinya setelah para petani memperoleh legalitas atas tanahnya, dapat mengelolanya dengan baik dan berkelanjutan. Kemudian dapat mewujudkan isi dari reforma agraria yaitu kesejahteraan dan kemakmuran petani. “Mensejahterakan berarti melepas jeratan petani dari kimia, inilah salah satu yang saya coba dorong melalui permakultur,” tambah Roberto yang juga bertahun-tahun mendampingi SPSM untuk dapat menerapkan pertanian yang berkelanjutan.
Melepas jeratan dari industri pertanian kimia berarti mengupayakan kedaulatan petani. Kedaulatan ini dapat diraih ketika petani juga mampu memproduksi benihnya sendiri untuk ditanam kembali. Selama bertahun-tahun petani dibuat tergantung dengan benih rekayasa genetik yang sulit untuk ditanam kembali. Padahal Sendang Pasir memiliki keberagaman benih lokal yang melimpah, seperti koro, koro pedang, bedok, komak udang, benguk, jagung dan sorghum. “Selain koperasi ternak, nantinya petani disini juga diupayakan untuk bisa memproduksi benihnya sendiri,” ungkap Wayan.
Untuk mewujudkan kedaulatan petani, IDEP pun melakukan beberapa pertemuan, salah satunya mengadakan Pelatihan Terintegrasi yang mencangkup praktek pembuatan pupuk organik cair dan padat serta langkah-langkah pembenihan. Langkah ini disambut baik oleh masyarakat, sebab dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Rasik pun mengakui “sebenarnya IDEP polanya sudah mendorong kita untuk hidup sehat, karena dengan organik tidak mengganggu kesehatan kita.”
Pelatihan Terintegrasi ini juga membantu masyarakat untuk mempersiapkan access reform dengan membangun Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA). “Karena dengan adanya kegiatan yang mengarah pada peningkatan ekonomi di tengah proses perjuangan hak atas tanah merupakan bukti bahwa petani benar-benar menggarap dan melakukan optimalisasi pemanfaatan lahan dan memperkuat posisi petani dalam memperjuangkan haknya,” ungkap Indrawati.
Maka dari itu, dalam Hari Tani Nasional ini petani juga diajak serta menanam bibit-bibit lokal yang sesuai dengan kondisi tanah dan iklim di Pemuteran. Perwakilan serikat, aparatur desa dan masyarakat sekitar diajak untuk menanam bibit bersama di kebun kolektif. Mereka menanam bibit sorgum, cabe, seledri, jeruk, okra, dan masih banyak lagi.
Mitigasi Bencana melalui Penanaman Mangrove
Selain penanaman di kebun kolektif, masyarakat di Pemuteran juga diajak menanam tanaman mangrove di areal pesisir Desa Pemuteran. Penanaman ini sebagai upaya mitigasi bencana dan edukasi kepada peserta yang mayoritas dari sekolah dasar terkait pentingnya keberadaan mangrove.
Beberapa masyarakat yang tinggal di pesisir saat ini telah menyadari pentingnya mangrove untuk mengantisipasi datangnya abrasi. “Saya sudah beberapa kali coba menanam mangrove disini, karena areal dekat tegal [kebun] saya sudah mulai dikikis ombak,” kata Putu Agus, Nelayan sekaligus petani setempat.
Penanaman mangrove ini pun berpengaruh besar terhadap keselamatan lahan yang saat ini diperjuangkan masyarakat Sendang Pasir. Terlebih lahan konflik ini dekat dengan pantai, sehingga paling terancam dengan adanya abrasi ataupun tsunami.
Bincang Santai tentang Pertanian di Bali
Cerita tentang lahan konflik menjadi awal dari diskusi permasalahan lahan di Bali. Diskusi ini pun difasilitasi dalam kegiatan “Obrolan Santai: Pertanian, Air, dan Mitigasi Bencana”. Ada berbagai elemen masyarakat yang terlibat, diantaranya masyarakat petani dari Sendang Pasir dan Sumberklampok, mahasiswa, dan para aktivis.
Diskusi ini juga dilaksanakan secara daring melalui Zoom, sehingga masyarakat di luar dapat juga terlibat dan turut mengetahui berbagai masalah yang dialami petani di Bali. Salah satunya dan paling sering yaitu permasalahan air. Petani dari Sumberklampok telah mengalami kendala akibat terjadinya intrusi air laut. “Kami di Sumberklampok menggunakan air bawah tanah untuk pertanian. Ada cerita dari teman-teman, sekarang setiap dipakai siram tanaman, malah buat tanaman mati,” kata Gede Suryawan yang sekaligus menanyakan solusi yang nantinya bisa diterapkan petani.
Menurut penelitian yang dilakukan tim riset BWP, Sumberklampok memiliki tanah dengan kandungan kapur yang tinggi, sehingga air laut lebih mudah masuk ke lapisan akuifer. Hal itu yang menyebabkan kandungan air tanah di Sumberklampok menjadi asin, atau bisa disebut dengan intrusi air laut.
Putu Bawa pun berbagi langkah-langkah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Terdapat dua metode yaitu melalui sistem penampungan air hujan dan metode filtrasi atau penyaringan. “Saat ini yang bisa dilakukan petani yaitu membuat bendungan untuk menampung air hujan yang nantinya digunakan untuk menyiram,” jelas Bawa.
Intrusi air laut ini membuktikan bahwa konservasi air bawah tanah sangatlah penting untuk keberlanjutan pertanian, sebab air memiliki peran yang sangat fundamental. Kesadaran masyarakat pun mulai terbangun. Maka perlu adanya upaya-upaya seperti membangun sumur imbuhan serta perilaku hemat air. Perilaku ini tidak melulu langsung mengurangi penggunaan. Terlebih dalam pertanian yang langkahnya bisa dimulai dari merubah pola sebelumnya, seperti mengganti sistem penyiraman yang lebih efektif dan efisien, ataupun memanfaatkan bahan-bahan organik yang baik untuk tanah.