Ketika banyak orang menghambakan uang, sebagian warga Nusa Penida masih tukar menukar barang.
Nusa Penida adalah kecamatan yang terdiri dari tiga pulau yaitu Nusa Ceningan, Nusa Lembongan dan Nusa Gede. Pada 1990-an, akses ke daratan pulau Bali masih sangat terbatas.
Warga hanya mengandalkan perahu tradisional bertenaga layar yang tertiup angin. Akibatnya distribusi barang dan jasa keperluan masyarakat Nusa Penida pada zaman itu masih terbatas. Untuk keperluan sehari-hari masyarakat Nusa Penida bertransaksi dengan menukar barang satu sama lainnya alias barter.
Pada 1990-an, barang yang dibarter menurut penghasilan di suatu daerah. Semisal Jungut Batu atau Lembongan akan menukar garam yang mereka produksi dengan jagung maupun singkong kering yang disebut grian ke Nusa Gede.
Demikian pula masyarakat yang tinggal di pesisir Nusa Penida. Mereka menukarkan hasil tangkapan ikan dengan jagung, singkong maupun hasil palawija lainnya dengan masyarakat lain yang tinggal di perbukitan.
Seiiring dengan perkembangan transportasi yang semakin lancar dan sistem perdagangan yang sudah modern, sistem barter tersebut sudah tidak dapat dijumpai di Nusa Penida.
Tapi di sudut lain Nusa Penida tepatnya di Dusun Semaya Desa Suana, transaksi dengan sistem barter tersebut masih terjadi. Bahkan sudah menjadi kebiasaan yang setiap hari berlangsung.
Namun barang yang dibarter bukan lagi hasil kebutuhan sehari-hari seperti zaman 1990an di Nusa Penida. Yang dibarter adalah rumput laut yang sudah layu dengan kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan sehari-hari yang dijual biasanya adalah ikan, sayur-sayuran maupun jajan layaknya toko pada umumnya.
Biasanya pedagang keliling akan membawa dagangan dalam wadah bodag, sedangkan keranjang bambu dibawahnya berisi rumput laut layu hasil barteran. Satu kali keliling menyusuri pantai di Dusun Semaya yang banyak ada rompok petani rumput laut, dua keranjang yang berkisar 100 kilogram.
Kini rumput katoni kering yang siap jual per kilogram Rp 10 ribu. Tapi barter dengan pedagang keliling dengan timbangan tradisional yang disebut traju dinilaikan Rp 5 ribu saja. Ini karena rumput laut yang dibarter masih basah atau hanya layu saja dan sedikit kotor.
Tampak di foto seorang Pedagang Made Sari yang sedang berjualan barter sedang bertransaksi dengan salah seorang petani rumput laut. Sari mengaku lumayan mendapat untung karena untungnya doubel. Dari nilai jajan atau barang yang dijual dan dari nilai jual rumput laut yang setelah kering dijual.
Lebih lanjut Made Sari bertutur dengan nada rendah hati hasilnya berjualan dengan sistem barter lumayan untuk menyambung hidup. Padahal menurut petani yang berbelanja di sampingnya mengatakan Made Sari yang hidup seorang diri walaupun hanya mengadalkan berjualan barter bisa membangun sebuah rumah. [b]