Makanan tak melulu tentang lidah dan perut tetapi juga identitas.
Indonesia tak hanya memiliki keberagaman etnis dan bahasa tetapi juga makanan yang beraneka rupa. Selama Ubud Food Festival 2018, aneka makanan Nusantara bertemu sekaligus merayakan perbedaan selama tiga hari pada 13-15 April 2018.
Ubud Food Festival merupakan agenda tahunan yang diadakan Yayasan Mudra Swari Saraswati di Ubud, Gianyar, Bali. Sejak 2015 lalu, festival ini menyajikan aneka rupa menu dan diskusi terkait kuliner. Tak melulu tentang rasa, lidah dan perut tetapi juga identitas.
Gede Kresna dan Ayu Gayatri, pasangan dari Buleleng, Bali misalnya menyajikan menu khas Bali, arak bali lengkap dengan pasangannya, babi goreng, pada Jumat, 13 April 2018. Di depan sekitar 20 peserta, sebagian besar warga mancanegara, Kresna dan Ayu menunjukkan cara masak dengan menu-menu lokal sekaligus menjelaskan makna di baliknya.
“Minum arak di Bali ada etikanya. Misalnya yang mengundang untuk minum tidak boleh sampai mabuk,” kata Kresna yang sehari-hari bekerja sebagai arsitek. Dia dan istrinya juga mengelola Pengalaman Rasa yang disebut sebagai laboratorium pangan (food lab). Pengalaman Rasa biasa memberikan kelas kuliner tradisional di di Rumah Intaran, Buleleng tempat di mana Kresna tinggal saat ini.
Kresna, dalam bahasa Inggris tidak terlalu lancar, menjelaskan bahwa arak bali juga memiliki khasiat. Misalnya untuk mengobati orang flu atau menyegarkan badan saat musim dingin. Dia menjelaskan bahwa arak bali yang dia sajikan terbuat dari bahan-bahan maupun peralatan tradisional.
Contohnya pada pipa penyulingan. Dia menggunakan peralatan bambu, bukan pipa paralon sebagaimana digunakan sebagian pembuat arak. “Penggunaan peralatan tradisional juga agar kita menjaga bahan-bahan alami di sekitar kita. Itu salah satu filosofi di Bali,” ujarnya.
Menurut Kresna, menu khas Bali tidak kalah dengan menu negara lain jika dikemas dengan cara menarik sekaligus menyampaikan nilai-nilai di baliknya. Melalui Ubud Food Festival bapak dua anak itu ingin mengangkat agar kuliner lokal lebih mendapat tempat di konsumen internasional.
“Saya ingin mengenalkan lagi kekayaan kuliner Bali kepada publik luas, termasuk warga internasional,” kata Kresna seusai memandu sesi memasak bersama istrinya.
Menyatukan Nusantara
Selama tiga hari, Ubud Foof Festival diadakan di Ubud, salah satu pusat pariwisata Bali yang terkenal dengan tradisinya. Kawasan desa internasional ini pun penuh dengan demo masak, diskusi, musik, ataupun pertunjukan film tentang kuliner. Menu-menu khas Bali maupun bagian lain Indonesia pun terus menebarkan aroma nan menggoda selama Ubud Food Festival.
Tahun ini, Ubud Food Festival membawa tema Generasi Inovasi. Tema ini, menurut Direktur Ubud Food Festival Janet DeNeefe, untuk menghargai generasi muda Indonesia yang telah menyajikan banyak inovasi ke dunia industri kuliner Nusantara.
Meskipun demikian, menurut Janet, Ubud Food Festival juga tetap membawa isu keberagaman meskipun tidak secara langsung melalui sajian demo memasak, tur kuliner, ataupun diskusi selama festival. Memasak sendiri hanya salah satu even di Ubud Food Festival. Ada juga menonton film, musik, dan kegiatan budaya lain.
Dengan beragam menu dari berbagai daerah di Indonesia, Ubud Food Festival ingin menyatukan Nusantara di Bali.
Tahun ini, misalnya, menu-menu kuliner dari beberapa daerah Indonesia Timur ikut hadir, seperti dari Papua dan Timor. Dalam sesi bertema Papua, Timor, and Bali on the Table hadir pegiat kuliner dari ketiga daerah di luar Jawa tersebut yaitu Charles Toto dari Jayapura, Papua dan Dicky Senda dari pegunungan Timor.
Charles Toto terkenal sebagai koki rimba (jungle chef) yang mengolah menu-menu lokal Papua untuk turis yang berkunjung ke pulau paling timur Indonesia itu. Tahun lalu dia juga tampil di salah satu sesi untuk mengenalkan khas makanan Papua.
Sejak 2006, Charles membuat menu-menu khas Papua dengan bahan-bahan dari hutan untuk turis yang berkunjung ke Papua. Dia juga mendirikan Jungle Chef Community yang memberikan pelatihan kepada 120 warga lokal Papua agar mampu menyajikan menu khas Papua kepada turis.
Di Ubud Food Festival kali ini, dia berbagi tentang swamening, makanan khas Papua yang lebih dikenal dengan nama sayur lilin. Kekuatan gastronomi Papua sebenarnya tidak kalah sama dengan daerah lain di Indonesia.
Diplomasi Cita Rasa
Menurut Charles, swamening berbahan dasar telur tebu yang biasa dikonsumsi warga Papua. Cara memasaknya dengan membakar batu. Namun, saat ini, menu ini semakin jarang dimasak dan dimakan warga Papua. “Karena itu saya ingin mengenalkannya di sini. Kami mencoba mengangkat itu agar orang Papua sendiri mau mengenal kembali ternyata mereka hebat dengan mengelola apa yang mereka miliki,” kata Charles.
Charles menambahkan Ubud Food Festival juga tempat mengumpulkan semua orang yang bicara pangan lokal agar warga internasional tahu bahwa kekayaan gastronomi Indonesia luar biasa. “Makanan (Indonesia) tidak hanya dari Bali, Jawa, dan Sumatera tetapi di timur, seperti Ambon dan Papua, juga banyak,” ujarnya.
Tak hanya keberagaman menu dan citarasa, Charles menyatakan, festival makanan di Bali ini juga menjadi perayaan atas keberagaman sosial dan etnis. “Melalui makanan, kami ingin mengajak orang lain lebih tahu cita rasa Papua yang juga luas. Kekuatan cita rasa lokal ini yang harus kita diplomasikan ke negara-negara lain,” tambahnya.
Janet DeNeefe menambahkan, belum semua menu-menu khas Indonesia hadir di Ubud Food Festival. Untuk itulah dia ingin membawa menu lain, seperti dari Aceh dan Medan, untuk diperkenalkan juga di Ubud Food Festival mendatang. Menurutnya dengan begitu, makin banyak orang mengenal menu-menu khas Indonesia.
“Indonesia ini negara yang sangat beragam tetapi makanan yang justru menyatukan,” ujar warga Australia bersuamikan orang Bali itu. [b]