Situasi kebebasan pers di Indonesia masih belum membaik.
Dibandingkan tahun lalu, kebebasan pers Indonesia tahun ini masih belum banyak perbaikan. Lembaga advokasi kebebasan jurnalis internasional yang berpusat di Paris, Reporter San Frontiers (RSF), pun masih memberikannya peringkat 124. Posisi ini sama dengan tahun lalu.
Peringkat Kebebasan Pers Indonesia 2018
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), penyebab mandegnya peringkat Indonesia kemungkinan karena iklim hukum, politik dan ekonomi yang kurang mendukung bagi kebebasan pers. Masih ada sejumlah regulasi yang mengancam kemerdekaan pers seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elekktronik (UU ITE).
Situasi di Indonesia sendiri tak jauh beda dengan kondisi global yang juga relatif muram. RSF mencatat tren itu dalam Indeks Kemerdekaan Pers Dunia 2018 dengan tema “Kebencian terhadap jurnalisme mengancam demokrasi”. Salah satu alasan topik itu adalah kian maraknya pernyataan permusuhan terhadap media, termasuk oleh pemimpin pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
AJI Indonesia sendiri telah melakukan pendataan kasus kekerasan pada jurnalis selama setahun terakhir. Hari ini, bertepatan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD), AJI meluncurkan laporan tersebut di Jakarta.
Pendataan oleh Bidang Advokasi AJI Indonesia mencatat terdapat 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama Mei 2017 hingga awal Mei 2018 yang terjadi di 56 daerah kota/ kabupaten di 25 provinsi.
Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di periode sama, yakni 72 kasus kekerasan. Kasus kekerasan fisik masih mendominasi statistik kekerasan terhadap jurnalis, yakni sebanyak 24 kasus.
Jenis-jenis Kekerasan terhadap Jurnalis Indonesia, 2018
Jenis kekerasan fisik yang dialami jurnalis beragam, mulai dari penyeretan, pemukulan, baik dengan tangan maupun dengan benda tajam atau tumpul, hingga pengeroyokan oleh oknum. Kasus kekerasan kedua terbanyak adalah pengusiran. Pengusiran dilakukan baik oleh aparatur negara ataupun anggota pengamanan atau satpam.
Dalam beberapa kasus, wartawan yang hendak mengonfirmasi berita sensitif, utamanya di luar Jakarta, sering kali harus berhadapan dengan ajudan, polisi, ataupun satpam yang menghadang atau bahkan merampas alat kerja jurnalis.
Pada periode ini, pelaku kekerasan terbanyak, 23 kasus, masih didominasi polisi. Disusul pejabat pemerintah atau eksekutif dengan 16 kasus. Sudah bertahun-tahun polisi menjadi pelaku terbanyak kekerasan terhadap jurnalis, khususnya di luar Jakarta.
Pelaku Kekerasan terhadap Jurnalis Indonesia, 2018
Selain kasus kekerasan, AJI juga memberikan catatan soal ancaman terhadap kemerdekaan pers Indonesia tahun ini karena menjelang adanya pemilihan kepala daerah secara serentak Juni dan pemilu presiden tahun 2019. Ini akan menjadi ujian bagi independensi jurnalis dan media. Belajar dari Pemilu 2014, kondisi media tak lagi lurus menjalankan fungsi dan perannya, kental aroma partisan, memberi dampak yang luar biasa pada masyarakat.
Masyarakat tidak mendapatkan informasi yang objektif. Pendidikan politik yang muncul di layar kaca, layar telepon seluler dan komputer, tersiar melalui gelombang radio, bias dengan kepentingan partisan pemilik media. Informasi yang disajikan ke publik telah terbingkai sedemikian rupa untuk kepentingan politik; membentuk citra positif salah satu kandidat dan menyerang kandidat yang lain.
Di sisi lain, sebagian pemilik korporasi media saat ini tercatat sekaligus sebagai tokoh politik, sebagian lain memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu.
Pemilik dan awak redaksi wajib dapat menjaga kejernihan ruang redaksi dengan berpegang pada “garis api”.
Kondisi ini perlu mendapat perhatian bagi semua pihak. Hak politik adalah hak setiap orang, termasuk pemilik media dan jurnalis. Tapi hak politik tidak seharusnya mencemari ruang redaksi. Pemilik dan awak redaksi wajib dapat menjaga kejernihan ruang redaksi dengan berpegang pada “garis api”. Tidak menggunakan media untuk kepentingan politik praktis. Sikap politik redaksi hanya berada di ruang editorial, bukan pada karya pemberitaan.
Memperhatikan kondisi di atas, Ketua AJI Indonesia Abdul Manan mendesak aparat penegak hukum memproses dengan serius laporan kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media.
Manan juga mengajak masyarakat dan organisasi massa menyelesaikan kasus sengketa pemberitaan sesuai mekanisme yang diatur dalam UU.
Selain itu, AJI Indonesia juga mendesak pemilik media tidak memanfaatkan ruang redaksi untuk kepentingan politik praktis. Menjaga independensi ruang redaksi untuk kepentingan publik dan demokrasi sebagaimana amanat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Terakhir, AJI Indonesia mengajak jurnalis menjalan tugas dengan profesional selama tahun politik sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan amanat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. [b]