Jambu mete menjelma penyelamat bagi warga Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Selepas letusan Gunung Agung di tahun 1963, pertanian seolah rontok. Tapi hasil penanaman jambu mete justru mengalir rezeki. Kini, komoditas unggulan Desa Ban itu bahkan sudah menerobos ke luar negeri.
Setiap menapaki musim kemarau di Desa Ban, persoalan kesulitan air bersih hampir datang melulu. Meski diapit oleh perbukitan di antara Gunung Agung dengan pohon yang menjulang tinggi, tekstur tanah di wilayah Desa Ban cenderung kering.
Terlebih, aliran lahar bekas letusan Gunung Agung di tahun 1963 terlihat bersebelahan dengan jalan masuk Dusun Cegi, Desa Ban. Tanaman apa yang dapat memenuhi roda pangan dan perekonomian warga Desa Ban? Mereka memilih jambu mete. Alhasil, jambu mete hampir ada di setiap pekarangan rumah warga Desa Ban, khususnya Dusun Ban. Pohonnya kokoh dengan kuncup-kuncup bunga kecil hijau yang berhamburan
Tiada yang tahu pasti siapa yang menanam pertama kali jambu mete di Desa Ban. Seingat I Nyoman Saba Dwi Payana, Kepala Dusun Ban, pohon jambu mete mulai ditanam pada tahun 1965. “Menurut informasi dari orang tua saya tahun 1965 itu baru penanaman bibitnya, tapi yang jelas metenya ini ada pada tahun 1991,” ucap Saba saat diwawancari di kantor Desa Ban pada Minggu (26/6). Penanaman bibit jambu mete berhasil.
Ni Luh Seni, salah satu warga Desa Ban, misalnya, turut menikmati hasil penanaman jambu mete. Ia dan keluarga mertuanya menanam jambu mete di belakang pekarangan rumah seluas 2 hektar. Kebun jambu mete yang dimiliki oleh keluarga Ni Luh Seni yang berada di belakang pekarangan rumahnya
Luh Seni menunjukkan perkebunan jambu metenya. Saking berdampingannya dengan rumah, ia mengambil jalur penuh cucian baju yang tergantung seuntai tali melintang di antara tembok rumah. “Dua hektar ini kalau bagus dapat panen delapan ton karena besar-besar,” ucap Luh Seni menunjukkan pohon jambu mete milik keluarganya.
Sayang, saat di bulan Juni pohon-pohon jambu mete masih pada tahap berbunga. Panen kacang mete baru dapat dilakukan setelah 70-80 hari semenjak munculnya bunga. “Kalau petani belum ada panen, di sini baru berbunga, nanti satu atau satu setengah bulan baru ada,” jelas Saba menjelaskan masa panen jambu mete di Desa Ban.
Warga Lokal Belum Mampu Mengolah Kacang Mete
Penanaman jambu mete cenderung mudah. Di wilayah kering layaknya Desa Ban, jambu mete sungguh berjaya. Luh Seni mengungkapkan, ia tidak perlu rutin menyiram pohon jambu metenya, tak perlu pula memberi pupuk ini itu. Cukup menabur dahan pohon yang gugur di sekitar tanah pohon jambu mete.
“Tidak ada kesulitan,” pungkas Luh Seni singkat, tiada keraguan yang muncul dari raut wajanya. Biasanya, bila sedang panen raya, per satu kilo jambu mete dihargai seharga 25.000 rupiah. Jika musim penghujan, Luh Seni justru sedih, lantaran bunga jambu mete akan berguguran
dan gagal berbuah. “Hasilnya berkurang karena hujan. Saat berbunga kemudian hujan, tidak jadi adanya buah. Jika hujannya dalam satu minggu tiga kali, oleh karena itu tidak terbentuk buahnya,” lanjutnya.
Meski menghasilkan jambu mete yang banyak, warga Desa Ban masih belum dapat mengolah jambu mete menjadi produk desa. Pengolahan itu masih dilakukan oleh sebuah perusahaan dari Jakarta yang bernama Mete Bali Sejahtatera (MBS). “Mencari tempat di sini untuk pengolahan jambu mete masyarakat. Dia yang membeli mete masyarakat kemudian diolah di pabrik,” ungkap I Nengah Masa selaku Sektretaris Desa Ban.
Lebih lanjut, ekosistem pengolahan jambu mete tersebut dimulai dari dihimpunnya panen jambu mete dari perkebunan hingga pekarangan rumah warga Desa Ban. Penghimpunan tersebut dilakukan oleh tengkulak yang kemudian diberikan kepada pabrik. “Dalam 1 bulan berapa ton dia berani stor. Artinya tidak serta merta langsung dikasi ke pabrik,” ujar Saba menjelaskan.
Hasil panen jambu mete biasanya diolah menjadi kacang mete maupun selai. Ide pengolahan jambu mete di Desa Ban berawal dari pihak luar desa. “Dimulai tahun 2012, itu bekerja sama dengan kepala desa yang dulu pendekatan penjajakan yang menananm saham dari Jakarta, dia keliling sama saya dan perbekel yang dulu, lihat tanahnya, potensinya, baru setelah itu di acc kotrak di sana. Tahun 2012 itu kontrakannya 25 tahun,” jelas Saba.
Kesepakatan tersebutlah yang kemudian menjadi awal perusahaan MBS itu menjajakan pabrik metenya di Desa Ban. Hingga kemudian usaha yang berawal dalam bentu UD tersebut beralih menjadi PT di tahun 2017.
Bagi Saba, PT. MBS telah melewati tahap pengujian AMDAL. Namun konflik sempat terjadi antara warga desa dengan pihak PT. MBS. Konflik tersebut berasal dari bisingnya suara cerobong asap pabrik bahkan menyerupai suara ledakan-ledakan. Dalam penuturan Saba, ia dan perangkat desa lainnya bertindak segera melakukan mediasi dengan pihak PT. MBS. “Ditanggulangi sama perusahaan akhirnya sudah tidak ada komplain lagi. Rumah deket dengan pabrik dikasih beras tiap 6 bulan,” ucapnya.
Selebihnya, ialah urusan timbal balik antara perusahaan dan desa adat. “Gini, kok di desa adat itu ada perusahaan besar, kan sejauh ini perusahaan tidak ada memberi apa-apa, tapi kok diberikan berdiri di desa adat,” cerita Saba memulai pangkal permasalahan antara desa adat dan perusahaan tersebut.
Akhirnya, kesepakatan pun tercapai. Desa Adat Ban mematok agar PT. MBS memberi kompensasi Rp. 1 juta perbulan dalam satu tahun penuh. “Kita pun ada timbal baliknya yaitu gotong royong, lingkungan kebersihan sampah plastik untuk jalan ke perusahan betul-betul kita jaga,” tuturnya. Bagi Saba, itu adalah siasat agar Desa Ban dapat berkembang. Begitulah kontrak sosial yang terjadi antara Desa Adat Ban dan PT. MBS; perusahaan memberi dana, desa adat memberi gotong royong.
Hingga saat ini, keberadaan pabrik mete mampu bersinergi dengan warga Desa Ban. Hasil panen jambu mete kini mengalir deras ke PT. MBS. “Banyak masyarakat bekerja di sana, dan dari segi ekonomis mulai ada perubahan ketimbang sebelumnya, itu sebenarnya setelah ada pabrik mete.
Selain itu naik lagi penghasilannya, penghasilan petaninya metenya udah ada pabrik deket dari segi harga juga naik, artinya petani kita pun diuntungkan,” papar Saba.Secara keseluruhan, Saba menilai, perekonomian Desa Ban dapat terbantu berkat jambu mete. Bahkan, komoditas produk kacang mete dari Desa Ban tela melanglang buana ke Amerika Serikat, India, hingga Brunei.
Kendati demikian, hingga saat ini pengolahan jambu mete belum dilakukan oleh warga lokal Desa Ban. Tentu, hal ini menjadi yang dicita-citakan oleh Saba maupun warga Desa Ban. “Tentu ingin, misalnya seperti yang di Desa Kubu mereka punya usaha pengolahan kacang mete tapi sampai pengupasannya saja kemudian lanjut diolah lagi di pabrik,” tambahnya seraya menunjuk arah Desa Kubu. Sayang, dana desa masih belum cukup untuk membeli mesin-mesin yang diperlukan. Bahkan, Desa Ban belum memiliki koperasi yang mewadahi produk-produk desa maupun sebagai pembentuk iklim dalam terciptanya inovasi produk khas Desa Ban.
Vetiver: Tidak Dilirik karena Kurang Ekonomis
Selain jambu mete, sebenarnya terdapat tanaman lain yang diupayakan untuk ditanam di wilayah Desa Ban. Vetiver salah satunya. Menurut penuturan Nengah Masa, vertiver pertama kali ditanam di Desa Ban pada tahun 2000 yang diawali oleh Yayasan Ekoturin’s East Bali Poverty Project (EBPP). Penanaman rumput vetiver lebih banyak dilakukan di Dusun Cegi.
Dusun Cegi dipilih sebab memiliki kondisi geografis, yakni kemiringan tanah yang curam, memuat Dusun Cegi menajdi wilayah yang mendukung untuk pengembangan rumput vetiver. Dilansir dalam https://sains.kompas.com, tanaman vetiver berjasa bagi tanah yang mudah terkikis dan tidak stabil. Hal ini dikarenakan vetiver memiliki akar hingga mencapai 3-4 meter di tahun pertama. Sehingga vetiver mampu mencegah erosi tanah.
Memang, vetiver baik bagi mitigasi kebencanaan warga Dusun Cegi. Namun, bila kurang menghasilkan, ia terlantar begitu saja. Tim konvergensi media menelusuri keberadaan vetiver di Dusun Cegi. Ternyata, rumput itu telah sama sekali dicabut dari tanah Cegi. Tiga orang warga Dusun Cegi yang murah senyum menghampiri untuk mengobrol di sebelah pura dalem Dusun Cegi.
Tiadanya tanaman vetiver sejalan dengan habisnya kontrak Yayasan Ekoturin’s East Bali Poverty Project untuk menanam vetiver di tanah Dusun Cegi. “Sudah tidak ada di sini,” ujar Nengah Muki, salah satu warga Dusun Cegi sambil menggendong rumput gajah untuk pakan ternaknya. Seiring habisnya kontrak, tanaman vetiver pun dicabut dan dijual.
Meski demikian, upaya pengarahan agar warga menanam secara mandiri rupanya tidak digubris. “Masyarakat disini males menanam itu, mahal sekali menanam itu,” ujarnya menambahkan. Di sisi lain, berdasarkan pengakuan warga lainnya, vetiver cenderung mati apabila terlalu sering dicabit untuk pakan ternak.
Sehingga, berdasarkan kebutuhan warga Dusun Cegi, tanaman vetiver kurang bernilai ekonomis. Biasanya, rumput vetiver diolah menjadi sabun. “Sekarang di Tianyar yang masih banyak rumput vetivernya” ujar Muki. Kini, warga Dusun Cegi hanya mengandalkan komoditas kerajinan bambu yang mengalami penurunan penjualan di tengah pandemi. “Sekarang lebih banyak bambu dan kerajinan sok. Harganya dibanderol 5 ribu. Di tengah pandemi sama sekali tidak ada yang beli.” Tutup Muki, ia tersenyum saja. Kemudian berpamit bersama tiga warga desa lainnya menuju masing-masing kesibukan mereka.
Reporter: Galuh, Anjany, Tryadhi, Penulis: Galuh, Penyunting: Gangga
Arikel ini sudah dipubikasikan di Persma Akademika dalam rangkaian Jelajah Jurnalistik 2021.