Teks dan Foto Luh De Suriyani
Matahari baru beranjak naik di Desa Songan, Kintamani, Kabupaten Bangli. Beberapa petani turun dari bukit-bukit kecil di sekitar Danau Batur yang masih berkabut. Warga keluar dengan selimut tebal, kaos kaki, selendang penutup kepala, jaket tebal, menutup tubuh dengan rapat.
Ada yang mampir sebentar di warung untuk membeli bubur dan teh panas, sarapan pengusir dingin. Semangkok bubur dibeli dengan harga Rp 2000 rupiah. Tak sampai sejam, satu panci besar bubur tandas terjual.
“Matanai (matahari) lama sekali kesini,” gerutu sejumlah warga. Di kawasan Kintamani, sejumlah desa memang tak mendapat matahari yang sama karena banyak bukit yang menutupi sinarnya.
Walau dingin masih menusuk, sejumlah petani sudah turun ke lahannya masing-masing. Sekitar jam 7 pagi, seluruh petak kebun terlihat sudah ramai. Waktunya memompa mesin genset untuk menaikkan air dari sumur atau Danau Batur.
Ni Wayan Kani, perempuan 30 tahun, terlihat mengisi bensin di mesin penarik airnya. Lalu sekuat tenaga ia memanaskan mesin dan memasang selang-selang besar. Karena lahannya jauh dari danau, ia harus membuat sumur dalam untuk menampung air.
“Kalau menarik air sumur dengan listrik mahal sekali. Padahal air yang dibutuhkan untuk kebun sangat banyak,” ujarnya.
Kani mengerjakan semua sendiri. Ia menarik selang sepanjang sekitar 50 meter itu ke kebun bawang merahnya yang berusia 21 hari. Sekitar 15 hari lagi ia mengaku bisa panen.
Tak berapa lama, selang menumpahkan air dengan kekuatan tinggi. Kani harus menggunakan kedua tangannya untuk mengontrol gerakan selang air. “Lahan bawang merah harus basah sekali, biar cepat tumbuh,” katanya. Tanah menjadi becek dan berlumpur, namun daun bawang tak hancur.
Selain air, Kani mengatakan sangat tergantung pada pupuk kimia dan berbagai zat pengusir hama. “Dua hari sekali saya semprot pestisida. Kalau pakai urea dan semprot racun, tidak bisa cepat besar dan tahan penyakit,” kata Kani yakin.
Kani sangat familiar dengan sejumlah merek zat kimia untuk tumbuhan pangan, baik pupuk atau pestisida.
Berisisian dengan lahannya, poster-poster iklan produk kimia pertanian berbagai merk banyak ditempel di pohon-pohon besar di jalan.
Ia mengaku harus mengontrol hasil kebunnya agar panen tepat waktu. “Kita harus menjaga pasokan untuk pengepul,” kata Kani.
“Saya senang jadi petani, hasilnya lumayan,” ujarnya sambil terus mengarahkan selang air ke hamparan kebun bawangnya.
Hamparan kebun beraneka pangan terutama bawang merah dan tomat adalah pemandangan utama di kawasan wisata Danau Batur di Kintamani. Di sebelah selatan, lahan perkebunan bertepian dengan Danau Batur yang dikeliling sejumlah bukit. Sementara di sisi utara, perkebunan terhampar dengan view Gunung Batur, gunung vukanis yang masih aktif.
Perpaduan yang sangat sempurna. Bentang alam yang sulit ditemukan di tempat lain.
Pemandangan alam ini makin hidup ketika iringan petani terlihat menggarap lahannya dengan latar belakang danau, bukit, atau Gunung Batur.
Namun, alam di kawasan kintamani mendapat tantangan. Salah satunya degradasi kualitas air danau dan tanah karena penggunaan kimia pertanian.
Kemasan kosong pupuk kimia, fungisida, dan pestisida kimiawi terlihat di sejumlah lahan petani. Dibiarkan berserakan di sela-sela jalan setapak dan di bawah rerimbunan pohon tomat.
Penggunaan racun kimia ini disadari sejumlah petani. Namun mereka belum mendapat substitusi yang diyakini membantu produktivitas hasil tani.
Selain itu, ada petani yang tak menyadari zat kimia bisa merusak tanah dan lingkungan. “Pupuk itu kan obat. Kami tahunya semua pupuk dan racun yang dipakai itu obat untuk tumbuhan,” ujar Ketut Mudiani, perempuan 39 tahun yang menjadi petani sejak kecil ini.
Ia lebih meyakini kekuatan niskala (maya) akan terus menjaga kesuburan lahan dan lingkungan alam. “Selama kami disini masih memuja dewa-dewa yang melindungi danau, semua bisa terkendali dan mendapat perlindungan,” lanjut Mudiani.
Demikian juga ketika ditanya bagaimana ia melindungi diri ketika nyaris dua hari sekali mencampur pupuk urea atau menyemprotkan pestisida. “Tuhan akan melindungi saya,” katanya.
Lahan pertanian Mudiani bersisian dengan Danau Batur. Ketinggian lahan sama dengan bibir danau. Tumpahan air danau dengan leluasa masuk ke lahannya, yang dibiarkan tanpa senderan.
Tentu saja, limbah kimiawi akan bercampur dengan air danau. Padahal di sejumlah sisi danau terdapat keramba-keramba ikan mujair. Selain petani, sebagian warga bekerja beternak ikan mujair di danau.
Tak heran menu khas disini adalah ikan mujair goreng atau bakar. Menu ini nyaris selalu menjadi menu utama di sejumlah warung atau restoran hotel dan penginapan di sekitar Kintamani.
Desa Songan, Kintamani adalah desa yang berlokasi paling bawah di kawasan wisata Danau dan Gunung Batur. Dari area Panelokan, hotspot turis untuk menikmati keindahan danau dan gunung, turun sekitar 30 menit berkendaraan melewati jalan berkelak kelok tajam.
Desa Songan barangkali potret desa yang berhasil mensejahterakan rakyat dari bertani. Sebagian rumah warga terlihat mempunyai mobil minimal pickup untuk mengangkut hasil tani. Selain itu, sejumlah rumah petani terlihat besar dengan tembok tinggi dan candi bentar (pintu masuk khas arsitektur Bali).
“Setiap tahun, pertanian disini makin maju,” ujar I Ketut Lama, pria 55 tahun, Ketua Kelompok Tani Banjar Dalem Desa Songan.
Hasil tani dijual ke sejumlah kabupaten di Bali seperti Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan lainnya. Lama mengatakan di desanya, menjadi petani adalah kebanggan dan tumpuan hidup. Kecuali musim hujan lebat dan berkabut, hasil panen terus tinggi sepanjang tahun.
Di kelompoknya, terdapat sekitar 200 orang petani, dengan penghasilan bersih minimal Rp 3 juta per bulan. Tergantung jumlah lahan yang dimiliki. Pendapatan akan meroket ketika harga panen tinggi seperti saat ini. Tomat mencapai Rp 3500 per kilogram di tingkat petani.
“Saya tahu jika pertanian organik pasti memberikan penghasilan lebih baik. Saya sudah mengurangi dan mensosialisasikannya,” ujar Lama. Menurutnya sudah ada penyuhan dari pemerintah soal pertanian organik, namun masih sulit merubah kebiasaan.
Laporan mengenai kualitas danau dari Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2008 menyebut, Danau Batur punya masalah utama yakni kualitas air akibat kontaminasi limbah penduduk, pertanian, dan pakan ternak ikan. Sementara danau tidak mempunyai outlet atau saluran keluar.
Luh Kartini, praktisi pertanian organik di Bali mengakui sebagian petani di Kintamani masih tergantung pada bahan kimia sehingga merusak ekosistem danau dan kualitas tanah sekitar. “Kadar humus organik di lahan petani ditemukan sangat rendah hanya 0,08%. Jadi buruk sekali kualitas tanah,” katanya.
Direktur Bali Organic Ascociation (BOA) ini mengatakan sebagian petani di Kintamani telah tereddukasi soal pertanian organik. Namun infrastruktur untuk membuat petani mandiri mengusahakan pupuk atau pestisida organik secara berkelanjutan belum ada.
“Untuk membuat petani mandiri, harus menyiapkan perangkat yang membuat mereka bisa memproduksi pupuk sendiri seperti sapi, teknologi biogass, atau biourine,” ujar Kartini. Tak hanya dengan menyumbangkan pupuk organik karena pemerintah tak mungkin terus menerus mensubsidi.
Di Desa Batur, Kintamani pada 2001, menurut Kartini, telah dicanangkan Bali sebagai Pulau Organik. Karena itu program pemerintah harus menyiapkan infrastruktur untuk menghindari pencemaran lingkungan lebih parah lagi.
Di sepanjang Danau Batur, terdapat pura-pura besar yang menjadi sumber pengambilan air suci, tak hanya oleh warga Kintamani. Pada periode-periode tertentu, terlihat rombongan orang membawa sesajen untuk menghormati Danau Batur, sumber penghidupan.