Teks Astarini Ditha, Foto Blog Bali
Kenapa pengetahuan tentang Subak tidak diajarkan di sekolah-sekolah?
Padahal ada ilmu macam-macam di sana. Ada ekonomi, manajemen, teknologi dan lain-lain. Seorang teman dari Yogyakarta mengutarakannya dalam diskusi kecil tempo hari. Mas Sriyono namanya. Dalam kunjungannya ke Bali ia sempat studi singkat dan berbincang soal Subak dengan para tokoh di sini.
Subak, istilah sistem irigasi pertanian di Bali yang asalnya dari kata Kasuwakan. Pembagian ini kerap disinggung dalam persoalan eksistensi pertanian kini di Bali. Konon Subak yang sering menjadi objek penelitian para antropolog Barat, salah satunya Clifford Geertz sejak abad ke-20, memiliki keunikan sendiri. Utamanya karena aspek sosio-agraris-religius di dalamnya.
Di perpustakaan banyak sekali bahasan soal sejarah, eksistensi, strategi bertahan, perspektif jalan keluar, dan seterusnya. Saya tak berharap, Subak kelak hanya akan tercatat dalam kepingan sejarah untuk tak menyebutnya akan punah.
Dari pertanyaan seorang kawan itu, saya berniat membagi risalah perjalanan bersepeda pekan lalu ke persawahan di daerah Denpasar Utara.
Masuk melalui daerah Cengkilung, Denpasar Utara, pemandangan para buruh tani yang sedang ngedig, memisahkan butir-butir padi dari tangkainya, menyambut. Saat itu batang-batang padi yang kering (somi) telah dipangkas. Ada yang disisakan untuk dibakar lalu disebar ke tanah sebelum padi ditandur. “Agar tanahnya subur,” ujar Ketut Kelih salah satu buruh tani di Subak Duaji.
Pagi itu ada tiga buruh tani sedang menyelesaikan ngedig. Kholifiah asal Bondowoso, Made, Ketut Kelih asal Sibang Gede. Dan satu penyakap lagi, Wayang “Mangku” Sura. Mereka bekerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore dengan 1 kali istirahat siang.
Kondisi gabah yang sedang mereka panen tidak begitu bagus. “Ini kebanyakan yang puyung, kosong,” jelas Wayan Mangku.
Menurutnya, hujan yang berkepanjangan dan sinar matahari yang sedikit menjadi alasannya. Gabah-gabah itu dijual ke pengepul seharga Rp 2.800 per kilo.
Kemudian diselip kulitnya dan dengan proses yang tidak pendek harga beras itu sampai ke tangan pembeli dengan harga jauh berbeda. Keuntungan hanya mereka dapatkan 3 bulan sekali dari memanen padi ini. “Dari proses menanam hingga jadi gabah yang siap dijual memerlukan waktu sekitar 3 bulan,” urai Kholifiah.
Subak Duaji masuk daerah Sibang Gede, Badung. Di sebelah utaranya telah masuk daerah Sradan, Kabupaten Badung. Di sisi selatan masuk daerah Cengkilung, Kota Denpasar. Di sisi barat daya masuk daerah Cabe, terdapat aliran sungai Ayung. Dari aliran air sungai ini, menurut Ketut Kelih, air diperoleh untuk pengairan yang disalurkan melalui pintu-pintu air. Di area persawahan yang berhektar-hektar itu terdapat garis batas kabupaten; antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung yang diukur beberapa jengkal tangan.
Di sisi selatan tempat mereka ngedig padi ada 2 kolam berisi bunga tunjung berwarna putih dan ungu yang berukuran sekitar 2 are. “Bunga-bunga tunjung itu dipanen tiap dua hari sekali lalu dijual”, ujar Pak ketut sembari membersihkan daun kapu-kapu. Daun kapu-kapu yang dianggap mengganggu ini banyak mengapung mengitari bunga-bunga tunjung. “Kapu-kapu ini bisa direbus dijadikan pakan ternak babi”, tambahnya.
Untuk satu ikatnya; berisi 5 bunga tunjung dijual seharga Rp 1.000. Harganya hanya naik menjadi Rp 2.000 per ikat bila dekat hari raya. Biasanya bunga-bunga ini tersedia di lapak para pedagang yang menjual bunga untuk keperluan upakara. Keuntungan lebih banyak didapat dari panen bunga tunjung ketimbang menunggu panen padi setiap 3 bulan sekali, seperti diceritakan Pak Mangku.
Tanah tempat mereka menggarap sawah ini adalah duwe desa, milik desa seperti diungkapkan Ketut Kelih. Tanah milik desa ini kemudian dilimpahkan ke penyakap untuk dikelola. Nanti oleh si penyakap, untuk menggarap lahan sawahnya dicarikanlah buruh tani.
Karena tanah milik desa, pembagian hasilnya pun dianalogikan dengan perbandingan 2:1. 2 untuk si penyakap dan 1 untuk ke desa. “Niki tanah duwe pura palak. Gumi ngelahang, anggen ngodalin di pura,” terangnya. Karena bumi yang memiliki; kita hanya meminjam, maka terima kasih itu diwujudkan dalam bentuk yadnya, persembahan untuk menghelat upacara dan kelengkapannya.
Akses jalan di area persawahan ini hanya berupa jalan tanah. Pak Mangku bercerita ia kukuh bertahan untuk tidak mengaspal jalan-jalan setapak di sana. Alasannya dengan perbaikan jalan yang lebih modern, ‘peradaban’ baru akan mudah masuk.
Jalan memang belum diaspal. Tetapi di ujung selatan dekat pangkung, sungai kecil tanah seluas 200 are sudah dibeli orang untuk dibikin villa. “Ya, dijual seharga 16 juta per are,” kata Pak Ketut. Tanah di sana menurut Pak Ketut cukup kering, yang ada hanya tanaman pandan, pohon pisang, beberapa jenis kayu-kayuan. “Karena tidak menghasilkan banyak, sama yang punya lalu dijual,” jelasnya.
Area persawahan di kota memang cukup langka. Jika pun ada hanya tinggal sekian are, itupun dengan kepungan bangunan ataupun jalan beraspal. Pak Mangku lalu bercerita, ketika ada lomba subak pemerintah menjadi sangat loyal dalam menyediakan kebutuhan para penggarap sawah. “Kalau mau minta apa saja dikasih,” kata Pak Mangku.
Bali boleh masyur dengan identitas budaya yang kental dalam cara ragam hidup masyarakatnya. Untuk sekedar ‘mengawetkan’ tradisi dibikinlah upaya membuat lomba. Saya tidak memandang sebelah mata soal langkah membuat lomba, bila itu adalah sebentuk upaya preservasi ataupun motivasi.
Orang-orang seperti Pak Ketut Kelih telah ngayah, mengabdikan dirinya jadi petani. Betul memang, karena di masanya apapapa sangat terbatas. Semenjak bisa berjalan, menurut ceritanya ia sudah diajak ke sawah. Lalu mulai agak dewasa ia sudah membantu menggarap sawah. Ia kini hanya punya tanah warisan 30 are. “Menghasilkan dari sawah, cukup makan sehari-hari saja sudah syukur,” katanya.
Subak bertahan di Bali karena mengetengahkan prinsip harmoni dengan aspek-aspek kehidupan; ada beragam upacara dalam rangkaian proses menanam hingga panen, kesadaran tanggung jawab sosial, cara-cara pemasaran, dan seterusnya.
Seperti kata Mas Sriyono, Kenapa pengetahuan tentang Subak tidak diajarkan di sekolah-sekolah? Padahal ada ilmu macam-macam di sana. Ada ekonomi, manajemen, teknologi dan lain-lain. [b]
Sumber foto: Blog Baliwww.
Sebenarnya Subak sudah diajarkan di sekolah sekolah , terutama pada SMP kelas IX, Di SMP SMP Gianyar ada Pelajaran Muatan Lokal plihan yakni OSAI ( Organisasi Sosial Adat Istiadat ) pada semester 1 materinya tentang Tri Hita Karana, Banjar, dan Subak disini memberkan pengenalan tentang pengertian, sejarah, aktivitas, kepengurusan, awig-awig Banjar dan Subak .