I Kadek Astika, 31, nama aslinya. Kadek Dewi, panggilan yang paling disukai dan kerap dipakainya. Di rumahnya, Desa Sibetan, Karangasem, teman-teman dan keluarga hanya memanggilnya Kadek dan mengenalnya sebagai waria, atau bancih dalam Bahasa Bali.
Kadek sudah menunggu selama selama beberapa tahun sebuah karya upacara agama besar di pura terbesar di Sibetan, Pura Pasar Agung ini. Pada Minggu (22/8) lalu, pura yang berada di puncak bukit kecil ini penuh kabut dan sangat dingin.
Ribuan warga harus naik kendaraan sekitar satu jam mengitari jalan kecil yang basah karena berlumpur serta berkelak-kelok sangat tajam itu. Untuk menuju pura, mereka juga harus berjalan mendaki karena kendaraan harus parkir jauh di bawah bukit.
Kadek menjadi asisten Ida Pedanda Istri Karang, seorang pandita perempuan yang memimpin upacara di Bale Paselang bersama suaminya. Kadek membantu memindahkan wadah-wadah sesaji, menghidupkan dupa, dan lainnya.
“Akhirnya saya bisa ngayah (sukarela) ikut membuat banten dan menghias simbol-simbol dewa itu. Ini menaikkan martabat saya sebagai waria,” kata Kadek yang memakai pakaian sembahyang seperti laki-laki, kamen dan udeng. Tapi tetap bermakeup tipis dengan kuku-kuku panjangnya yang lentik dicat jingga glossy.
Bale Paselang, secara fisik adalah sebuah bangunan bale-bale berpilar enam yang berada di pojok dalam pura. Kadek mempunyai tugas utama menghias tiga boneka simbol dewa-dewa yang bermanifestasi ke bumi. Boneka itu perwujudan dewa dengan bentuk laki-laki, perempuan, dan boneka berwujud laki-laki tapi bersolek ala perempuan. Dengan sanggul yang dihias aneka bunga, bergincu, dan bermake-up.
Bagi Kadek, upacara di Bale Paselang Pura Pasar Agung ini seperti awal baru bagi hidupnya. “Saya baru tahu ada simbol seperti waria di upacara ini dua tahun lalu. Saya datang ke rumah pendetanya dan mempelajari banten-bantennya,” katanya dengan sumringah.
Selama beberapa pekan, Kadek kerap datang ke Griya Suci Sibetan dan menawarkan tenaga untuk membantu pembuatan banten. Semangatnya diganjar penghormatan oleh teman-teman serta keluarganya. Pada hari Minggu itu, sepertinya sebagian besar dari ribuan warga yang datang menyapanya dengan senyum.
“Upacara di Bale Paselang ini berarti cinta kasih. Ketika dewa-dewa mulai turun dalam berbagai wujud fisiknya,” ujar Ida Pedanda Istri Karang, salah satu pemimpin doa dalam upacara Bale Paselang yang menjadi bagian dari keseluruhan upacara besar ini. Selama sekitar dua jam, warga menyaksikan simbol-simbol kedatangan roh para dewa karena manusia mengharap dianugerahi kekayaaan hasil bumi yang melimpah.
I Ketut Wiana, penulis artikel-artikel Agama Hindu dan pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat yang juga menyaksikan upacara ini di Sibetan memaknai upacara Bale Paselang lebih universal. “Ini upacara suci yang menunjukkan hubungan manusia dan Tuhan. Ini simbol kewajiban manusia untuk berhubungan harmonis dan setara. Saya melihat nilai-nilai keadilan gender dan penghormatan,” jelasnya.
Misalnya simbol Ardhanarisvara (bentuk hermaprodit dari Siwa) yang memperlihatkan keragaman gender. Salah satu prosesinya adalah “majejiwa” atau dialog ritual antara lain tentang Dewa Smara- dengan saktinya Dewi Ratih, simbol penyatuan jiwa dua manusia. Ditandai sebuah kain putih bergambar Smara-Ratih terpasang di dinding depan Bale Paselang. Juga simbol kekayaan alam, seperti bahan pangan bermakna kemakmuran atau kesuburan.
“Di sini diperlihatkan laki-laki dan perempuan harus saling mengisi dan membutuhkan. Ini kesetaraan gender secara ideal yang dilukiskan oleh para dewa dewi. Sayang kita masih memaknainya sebatas ritual,” tutur Wiana.
Wiana mengatakan upacara bale paselang biasanya dilakukan di pura-pura besar dan saat peringatan ritual besar. Seperti di Pura Pasar Agung Desa Sibetan ini yang baru dilaksanakan lagi sejak 32 tahun terakhir ini.
PHDI dalam websitenya mengulas upacara Bale Paselang sebagai bertemunya Bhakti dan Asih. Artinya bhakti umat manusia yang mempersembahkan bangunan palinggih (pura-pura) dengan tata upacaranya kehadapan Hyang Widhi, lalu Hyang Widhi dengan welas asihnya, menganugerahkan ciptaan mulia seperti kekayaan alam dan lainnya. Disimbolkan sebagai Smara-Ratih itu.
Kadek berharap bisa mendokumentasikan upacara bale paselang ini dan menceritakan maknanya pada rekan-rekan sesama waria. “Sebagian besar waria di Bali bersembunyi dari keluarga makanya sulit bekerja dengan maksimal,” tambah waria yang pernah aktif di Yayasan GAYa Dewata, lembaga advokasi untuk LGBTIQ di Bali ini.
Saat ini, Kadek bekerja paruh waktu di sebuah lembaga perlindungan anak dan perempuan milik pemerintah di Karangasem dan sisanya di salon kecantikan. Ia kerap mendampingi perempuan dengan kasus kekerasan dan menghibur narapidana anak di penjara.
Nah, untuk Kadek Dewi, upacara bale paselang ini menjadi tekad baru bagi dirinya untuk merdeka. “Saya tak meminta tubuh laki-laki karena saya merasa jiwa perempuan. Yang penting saya tidak merugikan orang dan bekerja untuk orang tua,” katanya.
Seorang petani Sibetan, I Ketut Patra menimpali, “Ada siang dan ada malam. Kadek itu sandiakala (senja). Semuanya harus kita jalani setiap hari.” [b]
ini khan Tomoko, sodaranya Saylow???
dia emang centil, tapi baik orangnya ^_^