Teks dan Foto Anton Muhajir
Melihat ikan panggang itu dipamerkan, air liur saya serasa menetes tak tertahankan.
Maka, begitu usai liputan sekitar 2,5 jam kemudian, saya pun mampir ke salah satu warung di sisi jalan masuk Desa Serangan, Denpasar Selatan tersebut. Warung-warung ini menjual menu khas desa di sisi selatan Denpasar ini, ikan panggang.
Terima kasih, ibu-ibu pedagang. Akhirnya doa saya terkabulkan. 🙂
Sejak dulu saya sudah mikir, “Seharusnya desa ini ada warung yang menjual ikan panggang.” Sebab, desa ini desa nelayan. Tapi, tiap kali main ke desa ini saya cuma menemukan ibu-ibu penjual ikan panggang nyuun alias menjunjung panggangan ikan tersebut.
Kalau toh ada warung yang menjual ikan panggang, lokasinya di ujung pantai selatan sana yang untuk masuk mesti melewati petugas PT Bali Turtle Island Development (BTID). Maklum, kawasan pantai itu memang milik perusahaan yang mereklamasi Serangan, yang dulunya pulau kecil terpisah dari daratan Bali tersebut.
Pas saya ke Serangan hari ini, ternyata sudah ada deretan warung di sisi kanan jalan masuk desa ini. Ada belasan warung tenda di jalan setelah jembatan ini. Semuanya memamerkan ikan panggang di bagian depan warungnya.
Saya dan anak istri mampir di salah satu warung untuk makan siang.
Ikan panggang itu ada beberapa jenis, seperti tongkol dan bawal. Ikan bawal panggang besar, ukurannya kurang lebih selebar buku A5 atau tatakan tetikus (mouse pad), harganya lumayan mahal, Rp 50.000. “Lagi susah ikan, Gus. Makanya mahal,” kata Men Karmi, pemilik warung.
Kami pilih ikan tongkol panggang. Besarnya sekitar ukuran lengan orang dewasa. Harganya jauh lebih murah, Rp 17.000. Kami tawar jadi Rp 15.000.
Men Karmi memanggang lagi ikan itu di atas bara api dari sabut kelapa. Dia membelahnya jadi dua dan mengoleskan sambal di kedua sisi. Karena sebelumnya sudah dipanggang dan kini dipanggang lagi, ikan itu jadi terlihat agak gosong.
Toh, meski penampilannya terlihat agak gosong, rasanya tetap gurih. Bagian yang gosong itu hanya di sisi luar dan sedikit. Apalagi ini ikan tongkol. Cuma ada tulang di sisi tengah. Sisanya ya daging montok gurih itu.
Daging itu berbalur sambal merah yang dioleskan ketika di pemanggangan. Teksturnya lembut. Bani, anak kami, pun dengan senang menyantapnya dengan bumbu kecap manis.
Kami menyantapnya dengan nasi putih dan seporsi sayur plecing kangkung. Saking enaknya, kami sampai nambah nasi untuk menghabiskan ikan itu. Apa daya, kami cuma bisa melahap satu belahan. Satu belahan lagi kami bawa pulang. Untuk oleh-oleh kami sendiri. 🙂
Ditambah segelas teh botol dingin dan kripik pisang kami menghabiskan Rp 35.000 untuk makan siang itu. Murah, meriah, enak, dan mengenyangkan, eh, menyenangkan juga sih.
Apalgi kalau ikan tongkol yang di bumbui sambal tomat manis pedas,tidak kalah lezatnya.Teringat akan masakan khas ibu di kampung.
total Rp 31 ribu 🙂
jaan nyangluh
Menggiurkan