Pemandangan ke Pupuan kemarin sungguh menggoda mata dan lidah.
Sebagian petani sedang memulai masa tanam padi. Sebagian lain baru mulai membajak sawah. Hasilnya, sawah yang berundak-undak sangat khas pedesaan Bali membentuk semacam lukisan.
Pematang masih terlihat jelas membentuk garis-garis pemisah antara tiap petak sawah. Hijau pada pematang membuatnya mudah terlihat, kontras dengan bening air pada sawah.
Petani yang sedang membajak sawah dengan traktor atau mencangkul pun membentuk bayangan pada air setinggi mata kaki di sawah. Bagus sekali untuk difoto. Saya lalu berandai-andai. Jika ada petani membajak dengan sapinya, ah, betap lengkapnya pemandangan pagi ini.
Tapi, itu terlalu romantis. Ini sudah tahun 2015. Makin susah menemukan petani membajak sawah menggunakan sapi. Mari nikmati saja yang ada, petani bersama traktornya.
Kontur sawah berundak-undak membentuk terasering membuat sawah jadi terlihat lebih cantik. Pemandangan serupa ada di sepanjang jalan menuju ke Pupuan, Tabanan. Kecamatan di sisi barat Tabanan ini berjarak sekitar 65 km dari Denpasar. Perlu waktu sekitar 2 jam ke sana.
Makin susah menemukan petani membajak sawah menggunakan sapi. Mari nikmati saja yang ada, petani bersama traktornya.
Jalur menuju Pupuan melewati jalur Jawa – Bali yang terkenal padat dan berliku-liku. Setelah melewati Bajra, jika dari arah Denpasar, kita ambil ke kanan. Jalan ini menghubungkan Denpasar dengan Seririt, Buleleng. Ada bus kecil melewatinya sehingga mudah diakses.
Sawah, bukit, kebun, dan rumah-rumah warga ada di sepanjang jalan.
Di sebelah kanan lebih cakep lagi. Sawah berundak-undak berlatar belakang Gunung Batukaru dan bukit-bukit di sekitarnya. Saya serasa melihat lukisan raksasa di perjalanan menuju Pupuan kali ini.
Maka, perjalanan saya ke Pupuan Minggu kemarin lebih terasa nikmatnya.
Tapi, ada yang lebih nikmat lagi kali ini, durian-durian sepanjang jalan. Hari-hari ini lagi musim durian. Dan, Pupuan termasuk daerah penghasil buah berduri dengan aroma menggoda ini.
Karena itu di kanan kiri jalan ada pedagang dadakan dengan tenda plastik semi-permanen menjualnya bersama manggis dan rambutan.
Pohon-pohon durian di Pupuan tumbuh subur di kebun warga berdampingan mesra dengan kopi, rambutan, dan manggis.
Di beberapa tempat, saya lihat ada durian raksasa serupa yang saya temui di Masamba, Sulawesi Selatan pekan lalu. Di Bali, durian besar ini bernama durian kane. Di Masamba sana disebut durian otong.
Pohon-pohon durian di Pupuan tumbuh subur di kebun warga berdampingan mesra dengan kopi, rambutan, dan manggis.
Dalam perjalanan balik ke Denpasar, setelah urusan lain selama sekitar 1 jam di Pupuan, kami pun mampir di salah satu penjual durian. Lokasinya di Desa Belimbing.
Harga durian di sini, tentu saja, lebih murah dibanding di Denpasar. Mereka langsung memanen dari kebun-kebun sendiri. Rp 20 ribu per buah. Ada pula yang hanya Rp 10 ribu. Harga di Denpasar bisa dua kali lipatnya.
Saya maunya sih langsung menikmati legit durian itu sana. Namun, apa daya, penumpang lain di mobil mau cepat-cepat balik ke Denpasar. Jadilah hanya membeli dan membawanya pulang.
Aroma durian pun semerbak menggoda sepanjang 1,5 jam perjalanan pulang ke Denpasar. Saya tak sabar untuk segera tiba di rumah lalu membelah dan menghabiskan semuanya..