Ada yang aneh dengan petugas di pengurusan SIM keliling hari ini.
Si bapak petugas yang berjaga di bagian pendaftaran sekaligus pembayaran itu tiba-tiba mengembalikan uang Rp 50 ribu kepada saya. “Khusus untuk wartawan ada bantuan,” katanya.
Saya heran. Kenapa bisa? Begini ceritanya.
Hari ini saya memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) A. SIM ini sudah mati persis sebulan lalu. Karena baru sempat, hari ini saya baru memperbarui.
Biar lebih mudah dan cepat, saya memilih layanan SIM keliling. Saya telepon ke nomor telepon layanan SIM keliling Poltabes Denpasar di 0361-7942297. Menurut jadwal SIM keliling hari ini ada di depan pom bensin Sempidi, persis di dekat perbatasan Denpasar – Badung.
Sebelumnya saya sudah pernah memperpanjang SIM di layanan SIM keliling dan memang lebih cepat dibandingkan di Markas Poltabes Denpasar. Karena itu saya memilih SIM keliling. Saya pun ke lokasi hari ini di depan pom bensin Sempidi.
Lokasi SIM keliling ini tidak terlalu nyaman. Ramai karena persis di pinggir jalan. Belasan orang yang antre, sebagian tidak dapat tempat duduk sehingga harus berdiri atau duduk lesehan di trotoar. Tapi, tak apalah. Toh, sudah bagus ada layanan SIM keliling yang memudahkan warga.
Tempat perpanjang SIM keliling ini sebuah mobil minivan. Ada tiga petugas: satu orang bagian pendaftaran dan pembayaran, satu bagian arsip, satu lagi bagian memotret dan mendata ulang.
Saya menyerahkan fotokopi KTP dan SIM serta SIM A yang sudah mati ke petugas. Lalu, sekitar 5 menit kemudian, nama saya dipanggil.
“Tanda tangan di sini,” kata bapak petugas. Saya tanda tangan di secarik kertas putih.
“Biayanya seratus tujuh puluh ribu,” lanjut si bapak. Saya pun memberikan uang senilai yang diminta, Rp 170 ribu. Tidak ada informasi untuk apa saja biaya tersebut. Pak polisi tidak menerangkan, tidak ada juga pengumuman.
Ketika duduk bersiap untuk difoto, saya ditanya oleh si mbak petugas bagian foto yang juga memasukkan data pemohon SIM baru berdasarkan data di SIM lama. Salah satu pertanyaan adalah, “Pekerjaan wartawan ya, Pak?”.
“Iya, Mbak,” jawab saya.
“Wartawan apa?”
“Freelance?”
“Apa nama medianya?”
“Tidak ada. Saya tidak kerja tetap di salah satu media. Saya freelance. Saya biasa menulis untuk The Jakarta Post, The Jakarta Globe, dan Forbes.”
Si mbak tidak tanya lagi. Dia memotret. Selesai?
Eh, ternyata belum. “Bisa tunjukkan ID-nya?” tanya si mbak petugas. Maksudnya adalah kartu pers.
Saya pun memberikan kartu anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi wartawan di mana saya ikut. Si bapak petugas juga melihat kartu anggota AJI itu sambil ngajak ngobrol beberapa hal termasuk kebiasaan dia main futsal dengan beberapa wartawan.
Dia lalu meminta saya fotokopi ID tersebut. “Nanti ada bantuan khusus untuk teman wartawan,” katanya.
Saya nurut saja, fotokopi kartu anggota AJI lalu menyerahkan ke dia. Eh, setelah itu dia mengembalikan uang Rp 50.000 kepada saya bersama SIM A yang baru. “Untuk teman wartawan cukup bayar Rp 120.000,” katanya.
“Kok bisa?” tanya saya.
Jawabannya tidak terlalu jelas. Kalau tidak salah dengar sih dia bilang karena tidak perlu biaya pemeriksaan kesehatan. Padahal semua pemohon memang tak ada diperiksa kesehatannya.
Saya terima uang kembalian Rp 50.000 tersebut sambil berpikir, pasti ada yang tidak beres.
“Saya bisa dapat bukti pembayaran seperti kuitansi?” tanya saya ke pak polisi.
“Tidak usahlah. Kayak di kantor saja,” jawabnya.
Saya pun pergi dari sana dengan SIM A yang baru.
Begitu duduk manis di depan komputer, saya pun cari di Google — biaya perpanjangan SIM A. Walah, ternyata, menurut website Satu Layanan, biaya untuk perpanjangan SIM A memang hanya Rp 120.000, bukan Rp 170.000.
Lalu, kenapa polisi petugas layanan SIM keliling itu memberikan harga Rp 170.000 kepada pemohon termasuk saya? Untuk apa biaya tambahan Rp 50.000 tersebut? Tidak jelas. Tidak ada informasi di lokasi tentang berapa biaya sebenarnya.
Sepertinya sepele, hanya Rp 50.000. Tapi, coba kalikan dengan jumlah orang yang mengurus perpanjangan SIM, katakanlah 200 orang per hari. Maka, ada Rp 10 juta per hari. Kalikan 26 hari tiap bulan maka ada Rp 260 juta. Kalikan 12 bulan dalam setahun, berarti ada lebih dari Rp 3 miliar.
Itu duit lebih dari Rp 3 miliar per tahun lari ke mana? Untuk siapa? Gelap. Tidak jelas.
Padahal, semua itu bisa dihindari dengan langkah sederhana. Sediakan informasi yang jelas mengenai alur dan biaya perpanjangan SIM di sana. Berikan pula bukti semua pembayaran. Biar yang bayar juga yakin duit itu akan lari ke negara, bukan kantong penerima saja.
Bukankah kita semua tahu, makin tidak jelas informasi, makin rentan ada korupsi. Makin jelas informasi, makin sedikit peluang melakukan kejahatan sekecil apa pun itu. [b]
Comments 1