Fajar datang menyingsing. Sinarnya menembus seluruh rusuk tubuh.
Hening seketika pecah oleh riuh ombak dan riang tawa. Sang Raga menikmati tiap detiknya namun pikiran malah bergumul dengan sejuta gairah.
Terbayang indahnya Nusa Lembongan di pulau seberang.
Kapal ini sudah serasa kilat yang memecah ombak. Byur.. Hentakan demi hentakan begitu terasa. Ke atas dan ke bawah berlanjut dengan ke kiri dan ke kanan gerak kapal yang menerjang ombak. Rasa mual tidak terelakkan. Ditambah rasa ngeri sepanjang perjalanan karena pengalaman pertama menyaksikan pemandangan yang hanya menampakkan air di mana-mana.
Bahagia rasanya ketika tanah pertiwi mulai terlihat. Kaki pun tak kuasa langsung menapakkan diri. Pasir putih dan indahnya pemandangan menyambut kehadiran saya di Nusa Lembongan. Deretan vila dan restoran menjadi pemandangan pertama yang saya lihat di sini. Terbesit pikiran betapa indah dan makmurnya penduduk di sini.
Perjalanan dimulai dengan memasuki daerah penduduk menggunakan mobil pengangkut penumpang. Semakin jauh masuk ke dalam desa, semakin kontras dengan keadaan yang saya lihat di awal. Jalan yang berlubang memberi sedikit guncangan pada mobil.
Raga ikut terguncang bersama dengan perasan sedih menyaksikan betapa mirisnya keadaan desa ini.
Lembongan seakan berubah fisik. Perbedaan begitu jelas terlihat antara dalam dan luar pulau. Jalanan yang rusak hingga rumah daun kelapa yang masih sederhana menjadi penghias pemandangan di perjalanan saya. Penduduk desa masih berpakain sederhana di tengah banyaknya lalu lalang turis asing di sekitar mereka.
Beberapa menit kemudian, sampailah saya di tempat tujuan awal. Sebuah sekolah dasar di Lembongan. Sekolah yang sederhana dengan siswa-siswa yang lugu dan polos. Senyum manis menyapa kehadiran saya bersama kawan-kawan. Kehadiran kami rasanya menjadikan penasaran mereka bertambah besar.
Kunjungan kami semakin menarik ketika saya melihat dua kumpulan berbeda. Kumpulan pertama berisikan siswa-siswa sekolah dasar yang membentuk lingkaran. Kumpulan lainnya berisikan ibu-ibu berbaju abu-abu. “Strong Woman Strong Nation,” tulisan di belakang baju mereka.
Rasa penasaran saya tidak mampu dibendung. Sambil tersenyum ramah saya menyapa mereka, “Selamat pagi, Bu..”
Perbincangan kami cukup singkat namun begitu berarti. Mereka merupakan kumpulan ibu-ibu rumah tangga yang bekerja di industri kecil pengolah rumput laut. Mereka memiliki tempat pengolah tepat di depan sekolah dasar ini. Maka saya kembali teriring menghampiri usaha mereka. Perkumpulan ini membuat berbagai macam olahan rumput laut seperti Sabun batangan, kerupuk, dodol bahkan selai.
Semua olahan yang mereka buat tidak kalah lezat dengan makanan lainnya. Saya bahkan sempat mencicipi dodol dan kerupuknya. Rasa amis yang terkandung dalam rumput laut bahkan tidak terasa sama sekali.
Manisnya dodol membangkitkan semangat saya meneruskan perjalanan. Tujuan selanjutnya yaitu sebuah sekolah dasar di Nusa Ceningan yang masih merupakan bagian dari Nusa Lembongan. Kami harus menempuh perjalanan dengan melewati sebiuah jembatan kecil yang mengubungkan kedua pulau tersebut.
Mobil yang kami tumpangi hanya mampu mengantarkan sampai di depan jembatan penyeberangan. Dengan cepat saya segera turun dari mobil dan segera mendekat ke jembatan berwana kuning itu. Walau sedikit ragu dan takut, saya pun melewatinya.
Lebarnya jembatan tidak terlalu besar namun kami harus berbagi dengan pengendara motor yang juga melwati jembatan tersebut. Guncangan jelas terasa dan membuat kami harus berhenti setiap kendaraan tersebut lewat.
Bayangan saya Nusa Lembongan adalah pulau indah. Namun keindahannya hanya dirasa setitik tidak di seluruh masyarakat.
Jembatan ini jelas terlihat payahnya menopang semua warga yang melintasinya. Jika dilihat luasnya, jembatan ini lebih difungsikan untuk pejalan kaki. Namun bebannya malah bertambah dengan harus mengakomodasi para pengendara motor.
Tak keran jika semakin panjang saya susuri jembatan ini terlihat kayu-kayu alasnya mulai keropos.
Bertandang ke sebuah sekolah dasar dan melihat lucunya para siswa saya rasa masih belum cukup. Berbincang dengan pengolah rumput laut masih terasa kurang. Saya lengkapi hari kunjungan ke Nusa Lembongan dengan mnghampiri para petani rumput laut. Para petani tersebut terlihat sedang sibuk. Namun mereka masih menerima saya dengan senyum ramahnya.
Walau panasnya sang matahari semakin terik, para petani masih bekerja tak kenal lelah. Di sebuah gubuk tidak jauh dari aktivitas petani itu terdapat seorang ibu dan anaknya yang memilah rumput laut. Dengan penuh sabar mereka mengikat bibit rumput laut di sebuah tali. Memilah bibit yang baik dan membuang bibit yang buruk.
“Kami sedang mengikat bibit untuk dibawa nanti ke laut,” ungkap sang ibu.
Sang anak bernama Komang merupakan gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA. Baginya membantu sang ibu adalah hal yang biasa. Di tengah kesibukannya belajar, ia masih sempat membantu sang ibu.
Komang tidak hanya seorang pelajar. Ia yang merupakan siswa SMK juga harus mengikuti kegiatan training, salah satu kewajiban seorang siswa SMK. Setiap paginya ia membantu sang ibu dan Sore harinya ia harus bekerja di sebuah vila di sana.
Tak hanya Komang, petani rumput laut lain yang bernama ibu Putu juga ikut terlibat di industri pariwisata sebagai pekerja di sebuah bungalow. Menurutnya, semua warga memilki aktivitas yang sama dengannya. Bertani rumput laut dan bekerja di infrastruktur pariwisata Lembongan.
Rumput laut memang komoditas tananaman yang banyak saya temui di lembongan. Rumput laut banyak memilki arti dan fungsi bagi masyarakat luas. Namun hal itu tidak semuanya dirasakan para petani rumput laut ini. Bagi ibu Putu, rumput laut itu amis dan dia sama sekali tidak terlalu suka.
“Kami bahkan tidak pernah memakan rumput laut walaupun kami memanennnya,” ungkapnya.
Rumput laut bagi mereka hanyalah tanaman yang menunjang ekonomi. Nusa Lembongan memang terkenal akan penghasil rumput laut. Namun tidak semua masyarakat memahami fungsi dari rumput laut tersebut. Sebagian besar dari mereka cenderung mengabaikannya.
Sungguh mengherankan hal yang saya temui hari ini. Semua berbeda jauh dari yang saya harapkan. Bayangan saya Nusa Lembongan adalah pulau indah. Namun keindahannya hanya dirasa setitik tidak di seluruh masyarakat. Lebih tepatnya lagi oleh para penghuni di depan pulau yang mengucap selamat datang.
Mereka, warga di pedalaman terisolir dari peradaban. Dengan genggaman kesederhanaan yang sama tanpa menuntut hak keindahan pulau yang lebih banyak dirasa oleh investor. [b]