Oleh Singaraja Literary Festival
Setidaknya 4 karya baru lahir dari Singaraja Literary Festival. Ada 3 karya seni pertunjukan, dan 1 karya musik jazz bernafaskan karakter lokal khas Singaraja.
Seni pertunjukan yang pertama dan merupakan karya tumbuh adalah karya pertunjukan berasal dari geguritan Sebun Bangkung, karya sastra dari Dang Hyang Nirartha yang bercerita tentang cinta kepada Tuhan. Karya ini digarap oleh Gusti Made Aryana, kerap dipanggil Dalang Sembroli bersama 2 seniman lain yaitu Tini Wahyuni dan Ida Parta yang menulis naskah monolognya sendiri dan memainkan alat musik petik “penting”
Masing-masing menuliskan refleksi atas perjalanan hidupnya yang unik. Gusti Made Aryana mengatakan, karya ini barulah awal memasuki filosofi Sebun Bangkung, dan belum dapat dikatakan karya jadi. Gusti mengatakan bahwa karya ini sangat mungkin beradaptasi kembali setelah dilakukan pembacaan ulang dari penonton dan kritikus lain.
Namun sebagai sebuah karya tumbuh, hal ini sangat diapresiasi oleh ahli lontar Sugi Lanus, yang menurutnya pertunjukan ini berhasil karena kreatornya berani mengambil teks berat dan menjadikannya pertunjukan kaya renungan terutama soal esensi diri yang sesungguhnya. Itu disampaikan Sugi seusai menonton karya ini di penutupan Singaraja Literary Festival, 1 Oktober 2023 di halaman Museum Buleleng.
Seni pertunjukan kedua adalah dramatic reading “Mlancaran ka Sasak” karya Wayan Bhadra, pustakawan pertama Gedong Kirtya, yang disutradrai oleh Putu Ardiyasa. Ardi menggarap karya ini dengan sungguh-sungguh, ia memadukan story telling dengan pembacaan pada teks yang ketat, serta memadukannya dengan seni teater yang menonjolkan koreografi kreatif untuk mendukung latar cerita yang dipentaskan.
Putu mampu menghadirkan suasana masa lalu dengan bahasa yang khas dan memadukannya dengan visual koreografi yang menarik dan storytelling yang kuat. Menurut Kadek Sonia Piscayanti, Direktur Festival, karya ini sangat indah dan menarik dikembangkan.
Seni pertunjukan ketiga adalah seni pertunjukan tari kontemporer karya Dek Geh koreografer Buleleng yang mengambil tema aksara dalam tubuh, yang diinterpretasikannya menjadi karya yang penuh kejutan. Diawali dengan gerak yang lambat dilanjutkan dengan gerak dinamis, karya ini menjadi salah satu yang menarik dari sekian tontonan di Singaraja Literary Festival.
Karya awal ini, yang dia pentaskan bersama Wahyudi, seorang aktor muda, kata Dek Geh adalah sebuah pembukaan bagi teks baru yang ingin dia garap lebih jauh yaitu aksara pada tubuh yang terus bergerak mencari rumahnya. Filosofinya adalah tubuh bergerak, aksara juga tumbuh menjadi cerita yang tiada akhirnya. Menurut Dekgeh karya ini akan dia garap lebih serius lagi dan lebih melibatkan banyak orang untuk menerjemahkan gagasannya.
Sementara karya terakhir, adalah karya seni music jazz yang dipersembahkan oleh Indra dan Reza yang bergabung dalam grup Altisimo, sebuah grup musik beraliran jazz di Buleleng. Grup ini menggubah lagu-lagu maestro asal Buleleng Gde Dharna yang melahirkan ratusan lagu yang banyak dikenal secara nasional.
Dari sekian karya Gde Dharna, Indra dan Rezza membawakan lagu “Bhuana Kerta” versi baru dengan aliran jazz yang kental. Lagu ini menjadi sama sekali baru dan berbeda, serta lebih akrab dengan generasi muda. Lagu Gde Dharna yang juga ditampilkan adalah “Anglurah Gusti Panji Sakti” yang mencerminkan kekaguman dan pemujaan kepada sosok pendiri kota Singaraja, I Gusti Anglurah Panji Sakti.
Melihat empat karya yang dilahirkan di Singaraja Literary Festival ini, kiranya festival ini telah berhasil memberi aliran kreativitas kepada kreator asli Buleleng dan menjadikan karya dari teks lama menjadi lebih baru dan memikat. Sesuai namanya Singaraja Literary Festival, festival sastra ini mampu mengubah wajah kota Singaraja menjadi wajah kota sastra yang lebih bergairah dan berwarna.