“…Masyarakat Bali hanyalah serdadu dari panglima sekaligus guru bernama pariwisata ini. Tugas seorang serdadu adalah bertempur melawan musuh yang menyerang wilayah kekuasaan pariwisata yang agung…“
(IB Dharma Palguna, Budaya Kepintaran sampai Budaya Kekerasan Pikiran, 2007: 8)
Bali selalu bangga bisa menjadi tuan rumah berbagai event nasional bahkan internasional. Pujian datang silih berganti. Semuanya (dianggap) senang dan mensyukuri hal tersebut. Pemerintah daerah dan “pusat“ mengerahkan semua daya upaya untuk mendukung dan mensukseskannya. Nama baik Indonesia dan Bali dipertaruhkan. Jika sukses, mereka juga pasti akan mendapatkan pujian dari para bos mereka, promosi jabatan, dan sudah tentu pendapatan yang bertambah. Atau justru malah diperalat oleh bos mereka. Entahlah.
Sisi yang lain, bagi para pendukung event, termasuk masyarakat Bali yang terlibat, selain mendapatkan pengalaman bertemu para pengede (orang-orang “besar“/pejabat), juga sedikit bisa menikmati honor jasa mereka menari kecak atau tarian penyambutan lain untuk tamu undangan. Event tersebut sering disebut dengan karya agung (acara besar dan penting) yang harus disukseskan. Ini yang mungkin disebut dengan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) yaitu sektor pariwisata yang berhubungan dengan berbagai acara dan kegiatan bisnis baik level nasional maupun internasioal.
Berkaitan dengan MICE tersebut, obrolan whatsapp group yang saya ikuti membuat saya menerawang jauh:
“Rame tamu Yan (Wayan) ada acara bos-bos di Nusa Dua?”
“Kanggoang jik, ada lah pemasukan bedik”
“Nah kangoang irage nak Bali amonean dogen“
“Jakti jik, de ruwet-ruwet“
Terjemahan bebasnya kurang lebih seperti ini:
Apakah ramai tamu (wisatawan) sekarang ada acara para bos di Nusa Dua
Disykuri saja, ada sedikit pendapatan
Disyukuri saja, kita sebagai orang Bali hanya sampai “segini saja”.
Benar sekali, jangan dibuat ruwet.
Obrolan virtual itu jelas menggambarkan dimana sebenarnya posisi masyarakat Bali dalam karya agung tersebut. Sampai semaksimal apa kontribusi mereka? Dan yang terpenting adalah representasi sebagai orang Bali dan kebudayaan yang seperti apa ditampilkan dalam event-event nasional dan internasional yang silih berganti dipertunjukkan di Bali?
Rezim Kepatuhan
Berbagai karya agung yang dilaksanakan di Bali dianggap sebagai bentuk pengabdian sekaligus kewajiban masyarakat untuk mendukung program negara yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Inilah yang disebut dengan dharma negara, kesetiaan dan pengabdian masyarakat terhadap negara, selain dharma agama yaitu kewajiban masyarakat kepada agama yang memberikan panduan nilai-nilai kehidupan. Sayangnya negara tidak berada dalam ruang kosong dan naif. Negara terdiri dari struktur dan apparatus-nya yang menjalankan institusi dengan berbagai strategi dan kepentingannya. Kedua filosofi ini terdengar naif untuk merespon kompleksitas relasi-relasi kekuasaan dari negara dan begitu juga agama.
Kepatuhan yang membabi buta terhadap negara, salah satunya karena doktrin dharma negara itulah yang salah satunya menyebabkan masyarakat Bali didiamkan dengan sangat mudah oleh kekuasaan, yang diawali dari rezim otoritarian Orde Baru dan semakin dipercanggih hingga sekarang dengan berbagai variasi. Situasi pendiaman ini semakin dikuatkan dengan trauma jejak tragedi 1965, dimana karena perbedaan afiliasi politik, manusia Bali saling bunuh yang difasilitasi oleh aparat keamanan pada “tahun-tahun yang tak pernah berakhir“ (1965-1966) dalam sejarah politik Bali. Selain itu, ketergantungan terhadap industri pariwisata membuat seluruh imajinasi, daya dan aktivitas masyarakat Bali harus selaras dan sejalan dengan industri pariwisata. Hampir sama sekali tidak ada ruang untuk imajinasi berbeda, alih-alih untuk mengkritik pariwisata. Seluruh energi dan vitalitas orang Bali diarahkan untuk menguatkan pembangunan pariwisata budaya yang terkonsolidasi sejak tahun 1980-an.
Rezim kepatuhan itulah yang melahirkan generasi Bali yang apolitis. Kebanggaan dan pujian yang membuat apapun pemikiran berbeda yang berpotensi untuk mengganggu ketertiban dan stabilitas event nasional harus dibungkam. Citra pariwisata Bali dan tertibnya masyarakat Bali dalam mensukseskan karya agung tersebut tidak boleh tercoreng dengan satu kerikil pun yang membuat para petinggi nasional dan internasional melihatnya. Semunya harus diamankan dengan pendekatan keamanan, termasuk membenturkan sesama masyarakat sipil melalui barisan Ormas (organisasi masyarakat sipil). Kelanjutannya sudah bisa kita perkirakan yaitu ketakutan yang menyebar untuk menyuarakan yang berbeda dari kekuasaan dan barisan penggebuknya.
Generasi Nyangut
Pada momen inilah pembentukan karakteristik manusia Bali yang apolitis dan pragmatis (baca: cari selamat) berlangsung. Hal ini dipadukan dengan rezim teror yang menciptakan ketakutan. Pembentukan ini memiliki sejarah yang panjang di Bali. Pada masa kekuasaan Orde Baru, sangat kuat pembungkaman untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat. Semuanya harus mengikuti arus besar kekuasaan. Pada masa itu kita mengenal ungkapan “jangan melawan arus“, koh ngomong (tidak mau atau segan berbicara karena tidak ada hasilnya), masyarakat cenderung nyangut (mencari selamat) dan mecik manggis (pura-pura menghormat sehingga menarik perhatian atasan). Perilaku seperti itu mencerminkan kondisi masyarakat yang tidak berdaya, tidak memiliki pendirian, hanyut dalam arus kekuasaan (Bagus, 2011: 611-614).
Generasi yang nyangut, mecik manggis, dan cenderung tidak melawan arus (kekuasaan) terus direproduksi, terutama dalam bidang pendidikan tinggi di Bali. Universitas-universitas dibuat terjebak dalam rutinitas birokrasi yang mengejar status internasionalisasi. Perkembangan institusi pendidikan tinggi terus semakin tinggi, karena saking tingginya sehingga lupa untuk menjejak tanah. Selain itu, ruang-ruang berimajinasi di luar aktvitas pariwisata sungguh sangat langka. Oase yang mampu mengembangkan pegetahuan dan analisis kritis bisa dihitung dengan jari di pulau ini. Pada sisi yang lain, institusi pendidikan yang memfasilitasi kebutuhan tenaga kerja pariwisata dalam berbagai level terus menjamur.
Struktur tersebut tentunya membuat ruang berpikir kritis yang menyejarah, dalam arti menganlisis sesuatu yang dianggap “sudah ada begitu saja“ dari zaman dahulu kala, menghadapi tantangan luar biasa. Untuk soal ini ada baiknya merenungkan apa yang dipertanyakan IB Dharma Palguna (2007: 162). Kita membanggakan pencitraan, seperti berbudaya luhur, ramah tamah, religius, berperadaban tinggi. Bila ada pertanyaan, siapa pada mulanya memberi kita citra sehebat itu, dan mengapa begitu, kita sepakat berargumentasi, tidak ada gunanya mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas. Keinginan untuk tidak mempertanyakan itulah yang menjadi persoalan besar Bali hari ini.
Refleksi
Saya sungguh skeptis dengan ungkapan almarhum I Gusti Ngurah Bagus, guru besar antropologi Universitas Udayana dalam salah satu wawancara yang menyatakan bahwa masyarakat Bali tidak total menyerahkan dirinya kepada pariwisata (Pusat Data Analisa Tempo, 1986). Kita memang masih menyaksikan ritual-ritual dan aktivitas sosial budaya dimana kita sebagai orang Bali menjadi pelakunya. Tapi jika kita masuk semakin ke dalam dalam landskap kehidupan kita sebagai orang Bali, kita akan menyaksikan transformasi struktural dengan percepatannya yang berlangsung terus-menerus. Transformasi struktural yang digerakkan oleh panglima pariwisata yang lambat laun akan menyisihkan orang Bali sendiri. Kita memang masih akan tetap menjadi orang Bali sampai kapanpun, tapi kita tidak akan mampu mendaku tanah, kebudayaan, dan kehidupan kita yang telah lama kita serahkan kepada industri pariwisata. Semuanya telah kita gadaikan.
Jika Pak Bagus masih bersama kita hingga hari ini, beliau akan menyaksikan makin hari banyak orang Bali yang kehilangan tanahnya karena diserobot panglima kebudayaan Bali bernama pariwisata atau yang mengatasnamakannya. Pada sisi yang lain, kehidupan menjadi orang Bali dengan berbagai aktivitas agama, adat, sosial budaya memerlukan strategi untuk tetap berlangsung terus demi tampak lestari di hadapan pariwisata dan kekuasaan negara. Berbagai event nasional bahkan internasional akan terus menjejali Bali. Berbagai kebijakan yang menjadikan Bali dan manusia Bali sebagai obyeknya akan terus diciptakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Tentu dengan komando untuk mensukseskan rezim kapital yang diangkut oleh industri pariwisata. Pada akhirnya, kita tidak akan bisa menjadi panglima bagi diri kita sendiri. Kita hanya sekadar menjadi serdadu-serdadu yang sebenarnya tidak memegang kendali pada kehidupan kita.
I Ngurah Suryawan, Antropolog, dosen, dan penulis. Bukunya, Jalan ke Tanah Leluhur: Refleksi dari Bali menuju Papua (akan terbit, 2024).