Pers dulu dibungkam, pers sekarang dibeli.
Selasa lalu, kami mengikuti pemutaran dan diskusi film “Di Balik Frekuensi” yang digelar di The Sanur Space, Sanur. Film dokumenter ini mengangkat sebuah realita kehidupan seorang jurnalis yang karena profesi dan idealismenya kemudian diberhentikan secara sepihak oleh medianya.Pemutaran film ini dihadiri oleh beberapa mahasiswa yang tergabung dalam beberapa organisasi mahasiswa seperti, LPM Akademika, LPM Maestro, LPM Medikom, LPM UNHI, dan BEM PM Unud. Namun tak ketinggalan juga beberapa masyarakat yang mengetahui acara ini melalui media sosial twitter.
Tokoh utama dalam film ini adalah Luviana, wartawan Metro TV, stasiun televisi berita pertama di Indonesia milik taipan media Surya Paloh. Luviana yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini dipecat tempat medianya bekerja karena menuntut kesejahteraan bersama teman-temannya. Luvi terus berjuang, melalui aksi maupun lobi, agar bisa dipekerjakan kembali.
Hingga kini, Luvi masih terus berjuang menuntut haknya.
Film sepanjang sekitar dua jam ini tak hanya merekam bagaimana perjuangan Luviana tapi juga silang sengkarut industri media televisi. Bagaimana sebenarnya jurnalis televisi (dan mungkin sebagian besar media lain di negeri ini) harus membebek pada kemauan bosnya yang juga politisi.
Tunduk
Maka, film ini tak cuma tentang Luviana tapi juga politik media. Bagaimana wartawan TV One memberitakan kasus Lapindo dengan kaca mata positif juga selalu memberikan tempat seluas-luasnya pada Partai Golkar yang dipimpin pemiliknya, Aburizal Bakrie. Bagaimana wartawan Metro TV harus tunduk pada kemauan Surya Paloh, bos Metro TV sekaligus pemimpin Partai Nasdem.
Di Balik Frekuensi menunjukkan melalui hal-hal kecil, misalnya wartawan yang males-malesan ketika harus meliput bosnya, atau pemilihan diksi atau malah framing terhadap sebuah berita. Semua menunjukkan bahwa di balik frekuensi milik publik tersebut, terdapat berbagai kepentingan para pemilik stasiun televisi itu.
Hal ini pun dikatakan Ucu Agustin, penulis dan sutradara film. Menurut Ucu, ide besar dalam film ini adalah menunjukkan kepada masyarakat bahwa kesadaran hak publik mengenai kebenaran berita di media ternyata mengandung unsur kepentingan para pemilik media. “Akibatnya terjadi perburuhan jurnalis, konglomerasi media, dan berita–berita yang dipolitisasi untuk kepentingan pemilik media tersebut”, ujarnya.
Setelah pemutaran film, diadakan diskusi kecil yang melibatkan para penonton dengan para penyelenggara film tersebut seperti, Ursula Tumiwa (Produser), Ucu Agustin (Sutradara), Luviana (Tokoh Film) dengan dimoderatori oleh Asykur Anam dari Pers Mahasiswa Akademika.
“Saya melihat dalam kacamata awam bahwa judul Di Balik Frekuensi ini sudah mewakili masalah aktual peran media sekarang yang memang kebanyakan sudah terintervensi oleh elit–elit politik hingga menyebabkan masyarakat terhegemoni. Semoga dapat cepat disebarluaskan di seluruh Indonesia,” tutur Dewangga yang berasal dari BEM PM Unud menanggapi hal tersebut.
Budi seorang mantan anggota persma dari Aceh mengungkapkan bahwa banyak masalah penyelewengan terhadap media yang serupa terjadi di Aceh. Budi bercerita masalah seperti itu dia alami juga ketika masih menjadi anggota Mapala Loser yang difitnah seorang wartawan TV One mengenai masalah kecelakaan salah satu anggota Mapala UI.
“Media mengklaim bahwa itu merupakan kesalahan Mapala Loser padahal yang sebenarnya adalah sebuah kecelakaan karena medan yang berbahaya,” ungkap Budi.
“Makanya saya berpendapat bahwa ketika media sudah dipegang oleh para elit politik, beritanya pun tidak akan independen,” tambahnya. [b]
siapa yang harus kami percaya ketika media massa disalahgunakan oleh politikus
Di Bali berarti hanya contoh kecil ya?
Contoh kecil tapi parah,berita banyak membodohi masyarakat…bukankah pers untuk mendidik? bukan sebaliknya..