Ubud, pertengahan April di tengah terik matahari. Saya bersama seorang teman menjelajahi Ubud, pusat pariwisata Bali di bagian tengah, dengan layanan bus Trans Metro Dewata. Kami ingin berlibur sebelum kembali ke hiruk pikuk perkuliahan.
Namun, siang itu jalanan macet. Kendaraan roda dua dan empat saling salip-menyalip, berusaha agar cepat sampai di tujuan. Bahkan, kendaraan roda dua sampai naik ke trotoar. Kemacetan paling parah terjadi di Jalan Hanoman, Puri Ubud, dan Monkey Forest. Ketiganya menjadi pusat kegiatan turis di desa internasional ini.
Ubud terkenal sebagai lokasi pariwisata. Keadaan di kecamatan itu selalu ramai, terutama di sepanjang Jalan Raya Ubud dari Ambengan sampai Puri Ubud. Wisatawan seringkali menghabiskan waktu di sana. Kepadatan mobilitas masyarakat, wisatawan, dan kendaraan membuat Ubud mengalami kemacetan sepanjang siang dan malam.
“Cuaca sudah panas, basange milu panes,” keluh Satya, teman saya.
Panas dan macet, paduan sempurna untuk memancing emosi. Jalanan tidak hanya dipenuhi kendaraan bergerak, tetapi juga kendaraan yang parkir. Jalanan Ubud, yang lebarnya hanya sekitar 5,5 meter, terasa semakin sempit karena sisi-sisinya dipenuhi kendaraan yang menumpang parkir.
Namun, kemacetan di Bali tidak hanya terjadi di Ubud.
Menurut data Dinas Perhubungan Provinsi Bali, terjadi kemacetan di beberapa titik, seperti di sekitar Pantai Sanur, Pantai Kuta, Canggu, Tanah Lot, dan Bedugul. Tidak hanya di Bali Selatan, kini kemacetan bahkan merembet ke daerah Pantai Amed, Karangasem, di ujung timur laut Bali. Ruas jalan di Penelokan, Kintamani, Bangli pun turut mengalami kemacetan. Selain itu, kemacetan juga terjadi di Jalan Raya Goa Lawah dan Jalan Raya Pedanan, Klungkung.
Macetnya jalanan ini memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan. Menurut data Kepolisian Daerah Bali pada tahun 2022 terjadi 3.692 kecelakaan di Bali. Jika dirata-ratakan per hari ada 10 kecelakaan. Dengan jumlah tersebut, total kecelakaan di Bali tahun lalu memakan 502 korban jiwa.
Lalu, dari mana sebenarnya permasalahan ini bermula?
I Nyoman Gede Maha Putra, Kepala Jurusan Arsitektur, peneliti arsitektur dan masyarakat urban di Universitas Warmadewa, Denpasar, menganalisis salah satu sumber kemacetan di Bali. Menurutnya, kota yang dikelola dengan baik, dibangun menyesuaikan jalur transportasi publik. Terlebih daerah pariwisata.
Aktivitas masyarakat saat zaman kolonial awalnya tersebar di seluruh penjuru daerah. Kemudian, lahirlah kebijakan politik yang mengharuskan daerah memiliki pusat. Dari sanalah, fasilitas di daerah Bali menumpuk di selatan. Hingga kini, pariwisata Bali yang dulunya menumpuk di Bali selatan kini menyebar.
“Tidak ada daerah Bali yang steril dari pariwisata,” tutur lulusan IHS Institute for Housing and Urban Development Studies ini.
Namun, ternyata penyebaran ini menimbulkan masalah lalu lintas di Bali. Pergerakan penduduk yang berkembang, tidak diikuti oleh perkembangan kapasitas jalan. Selain itu, wisatawan pun mulai menyewa kendaraan pribadi dengan mudah. Dengan begini, kemacetan pun menyebar daerah-daerah lain.
“Pariwisata di Bali saat ini fokus pada kuantitas, mass tourism. Hal ini disebabkan oleh lesunya pariwisata Bali setelah bom Bali 2 dan pandemi,” ujar Putu Agus Yudi Antara, Ketua Tim Pengembangan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata Provinsi Bali.
Jumlah kunjungan turis tertinggi ke Bali adalah pada 2019 sebanyak 16,5 juta orang, terdiri dari wisatawan mancanegara (wisman) 6,3 juta dan wisatawan domestik (wisdom) 10,2 juta. Hal ini menambah jumlah pengguna jalan dan kemacetan. Lebih parah lagi, kualitas wisatawan di jalan raya makin merisaukan seperti pelanggaran lalu lintas dan tidak mengenakan helm. Selama Januari-Mei 2023 saja ada 1100 wisman yang ditindak di jalan. Mereka kerap menyewa kendaraan pribadi.
Transportasi publik wisata hidup segan mati tak mau
Pemerintah provinsi Bali sebenarnya telah menyiapkan transportasi khusus untuk keperluan pariwisata. Hal ini disiapkan demi kemudahan wisatawan asing menjangkau tempat wisata. Terdapat Komotra, Dokar, Kura-Kura Bus, bahkan Trans Metro Dewata dan Trans Sarbagita yang dapat melayani wisatawan.
Menurut keterangan Putu Agus, bus dan travel untuk wisatawan telah dipromosikan oleh perusahaan transportasi masing-masing. Namun, pelaksanaan di lapangan dinilai kurang tertib. Rental mobil dan motor yang menargetkan bule-bule masih ramai di beredar. Mereka menawarkan produk-produknya kepada wisatawan asing dengan mudah.
Menurut Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Bali, perlu diadakan sosialisasi mengenai transportasi publik. Terutama pada wisatawan agar mereka benar-benar paham bahwa terdapat pilihan transportasi publik untuk berwisata di Bali.
Selain kemacetan, turis asing tak jarang mengalami kecelakaan. Sepanjang 2022, Polda Bali mencatat telah terjadi 68 kasus kecelakaan yang dialami bule di Bali. Kecelakaan dominan disebabkan oleh bule yang tidak taat aturan lalu lintas. Tercatat, paling banyak pelanggaran karena tidak memakai helm saat berkendara. Seringkali juga, turis-turis asing ditemukan berpakaian kurang layak saat mengendarai motor. Hal ini tak jarang menjadi pembicaraan publik karena ugal-ugalan.
Jika angka kecelakaan ini terus terjadi tiap tahun dengan kondisi yang sama, maka diproyeksikan jumlahnya berlipat 20 tahun mendatang. Jalan raya bisa jadi jadi ancaman tersendiri.
Tidak hanya turis, transportasi umum juga jarang menjadi opsi pilihan masyarakat Bali. Mereka kebanyakan memilih kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum. Terdapat 4,29 juta jiwa penduduk di Bali berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Provinsi Bali per Juni 2022. Sementara, tercatat ada sejumlah 3.?877.595 kendaraan aktif di tahun 2022. Menurut data dari Badan Pendapatan Daerah tahun 2022, kendaraan di Bali didominasi oleh sepeda motor sejumlah 2.568.322 buah. Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih tertarik untuk menggunakan motor pribadi dalam aktivitas sehari-hari.
Maka, bus Trans Metro Dewata yang kini dioperasikan oleh pemerintah pun terlihat sepi peminat. Hanya bus dengan rute-rute tertentu saja yang cukup ramai penumpangnya. Contohnya, rute daerah wisata seperti Ubud dan Kuta.
Lantas, apa yang membuat bule dan masyarakat lokal ogah menaiki transportasi yang disediakan Pemprov Bali?
Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Pariwisata, pemerintah daerah wajib bekerja sama dengan asosiasi pariwisata. Dalam hal ini, mereka bekerja sama dg GIPI (Gabungan Industri Pariwisata Indonesia). GIPI membawahi berbagai induk usaha pariwisata, termasuk Asita (Asosiasi Travel Agent). Asosiasi ini nantinya akan menawarkan kendaraan yang dapat disewa oleh wisatawan secara legal.
“It’s complicated and the traffic is crazy,” komentar Martin dan Lourdes, wisatawan asing yang tidak menggunakan bus atau travel. Mereka memilih naik taksi untuk berwisata di Bali.
Martin dan Lourdes juga tidak mengetahui pasal adanya transportasi umum di Bali. Baik itu transportasi umum biasa, maupun untuk pariwisata.
Keadaan Bali yang macet ternyata tidak hanya mempengaruhi kendaraan pribadi. Kendaraan umum yang disediakan pemerintah juga ikut terjebak macet. Tidak ada jalur khusus bus atau transportasi umum. Sementara itu, masyarakat seringkali terburu-buru untuk mengejar waktu.
“Transportasi umum terjebak macet, jadi sama aja kaya naik kendaraan pribadi,” ujar Agung, salah satu warga Bali yang rutin menggunakan Trans Metro Dewata.
Ia menceritakan pengalamannya menaiki Trans Metro Dewata sejak Januari 2023. Menurutnya, masyarakat enggan menaiki bus karena malah terjebak macet. Apalagi, kadang proses transit menurutnya menyusahkan akibat sulit menyebrang. Selain itu, kondisi trotoar tidak terasa nyaman untuk jalan kaki dari halte.
Wahyu, seorang pelajar yang tinggal di Sukawati, Gianyar juga turut berkomentar. Ia mengaku tidak suka menaiki kendaraan umum karena jalanan di Bali yang kecil.
“Jalanan di Bali yang kurang mendukung. Bali penuh dengan jalan kecil dan gang yang kurang memungkinkan untuk dilewati angkutan umum. Halte terdekat juga kadang jauh dari tempat umum seperti sekolah, dan lain-lain,” katanya.
Biang kerok
Jalanan di Bali memang terkenal sempit. Bahkan, hal ini seringkali menjadi biang kerok kemacetan dan kecelakaan di Bali, terutama di Nusa Penida. Menurut ahli urban planning I Nyoman Gede Maha Putra, hal ini karena fasilitas tradisional di Bali memang tidak didesain untuk kendaraan. Jalan umum di Bali kemudian terpaksa diperlebar karena aktivitas pariwisata. Bahkan kerap mengorbankan trotoar. Sementara itu, jalanan menuju tempat wisata yang terpencil belum berkembang hingga saat ini.
Pada dasarnya, jalan terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan kelas dan kewenangan. Berdasarkan kewenangan, terdapat jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Jalan nasional menjadi kewenangan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Jawa Timur Bali. Pusat kerja dan pengawasan jalan nasional Provinsi Bali berkantor di Kuta. Selain itu, terdapat jalan provinsi yang menjadi kewenangan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman Provinsi Bali. Terakhir, ada jalan kabupaten yang menjadi kewenangan Dinas PU di masing-masing kabupaten.
Lebar jalan di Bali tergolong dinamis dan seringkali berubah karena pekerjaan pelebaran jalan yang dilakukan oleh masing-masing instansi. Untuk jalan provinsi di Bali, lebar jalan di Bali kebanyakan masih berukuran 5,5 meter. Jalan provinsi biasanya berfungsi untuk menghubungkan ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten/kota.
Jalan yang sempit ini diperparah dengan pengalihan fungsi jalan menjadi parkir kendaraan pribadi. Masyarakat, termasuk turis, seringkali memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan. Bahkan di Ubud, terdapat barisan kendaraan yang parkir di bawah plang dilarang parkir. Tak hanya itu, tempat pemberhentian bus Trans Metro Dewata di dekat Puri Ubud akhirnya disalahgunakan sebagai lahan parkir kendaraan pribadi. Tempat pemberhentian bus di sana dipenuhi parkir kendaraan sehingga penumpang yang hendak turun dari bus pun kesulitan.
Kelihatannya, memang belum tersedia halte yang layak untuk pemberhentian bus Trans Metro Dewata. Tempat pemberhentian bus hanya ditandai oleh tulisan dan garis putih di atas aspal. Selain itu juga terdapat plang sebagai tanda. Di halte Banjar Babakan Sukawati, tempat ini beralih fungsi sebagai lahan parkir dan tempat berdagang. Penyalahgunaan ini menghambat perjalanan bus, sehingga arus lalu lintas di sekitarnya juga terganggu. Kondisi seperti ini sering terjadi dan menjadi penyebab kemacetan di Bali.
Hal yang sama terjadi pada halte Trans Sarbagita. Ditemukan beberapa halte yang tidak terawat. Ada yang berlubang, hingga terkena coretan seniman jalanan. Bahkan, ada halte yang ditumbuhi tanaman. Hingga kini, terdapat halte-halte yang akhirnya tak terpakai karena tidak dilewati oleh bus.
Permasalahan ini nampak sulit terurai. Pemerintah telah berusaha menyediakan fasilitas, tetapi terkadang masyarakat tidak dapat menggunakannya dengan baik. Pengelolaannya pun belum cukup matang dan konsisten.
I Nyoman Sunarya, Kepala Bidang Angkutan Jalan di Dinas Perhubungan Provinsi Bali, menyatakan bahwa pemerintah telah melaksanakan sosialisasi transportasi umum. Sosialisasi telah dilakukan di berbagai media. Seperti aplikasi Teman Bus, serta Instagram @transmetrodewata yang menyediakan informasi terkait halte, rute, hingga pembayaran bus.
Sementara itu, Pemprov Bali kini tengah menargetkan penggunaan 140 ribu motor listrik di Bali pada tahun 2026. Menurut keterangan Nyoman Sunarya, penambahan ini dilakukan demi mengurangi polusi udara. Yang menjadi pertanyaan, apakah solusi ini efektif untuk menangani masalah lalu lintas di Bali?
“Kebijakan yang mendorong kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi selalu menyebabkan peningkatan jumlah kendaraan di jalan. Dan itu akan meningkatkan kemacetan,” ingat Nyoman Gede.
Kendaraan listrik memang bertujuan untuk mengurangi polusi. Namun, subsidi paling banyak terdapat di kendaraan pribadi, khususnya motor. Sehingga penambahan kendaraan listrik ini dapat menambah masalah kemacetan di Bali.
Menurut Maha Putra, apabila hendak mengurangi kemacetan, upaya yang harus dilakukan adalah mengurangi jumlah kendaraan di jalan. “50 pengguna kendaraan pribadi bisa dimasukkan ke dalam hanya 1 bus tingkat, misalnya. Maka satu bus itu akan mengurangi 49 kendaraan,” jelasnya.
“Selain pemberian insentif, harus ada disinsentif juga. Harus ada pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan diiringi dengan penyediaan kendaraan publik. Antara pembatasan dan penyediaan, harus ditemukan titik seimbangnya,” tambahnya.
Hal ini sebaiknya dimulai dari lingkungan paling kecil seperti banjar. Untuk mengoptimalkan pelayanan transportasi publik, harus disediakan fasilitas pejalan kaki yang layak pula.
https://storymaps.arcgis.com/stories/93ecffa0019d42f2b55bf7a1277cfa01
Wisata tapi macet
Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Perkembangan Wilayah di Masyarakat Transportasi Indonesia juga menyatakan hal sama. Terdapat istilah Transportation Demand Management, yakni tata cara mengelola kebutuhan transportasi. Di dalamnya, ada push and pull strategy.
Menurut Djoko, “pull” dalam isu ini adalah tindakan pemerintah untuk menyediakan fasilitas transportasi umum. Tindakan-tindakannya dapat berupa meningkatkan kenyamanan, mudah didapatkan, waktu yang singkat, dan harga yang murah. Selain itu, ketersediaan halte dan angkutan jarak pendek seperti sepeda gratis dan jalurnya perlu diperhatikan.
Sementara itu, istilah “pull” dapat dilakukan dengan larangan penggunaan sepeda motor. Kebijakan ini pernah dilakukan saat APEC (2018) dan G20 (2022) yang berlangsung di Bali. Djoko berkata, kebijakan ini menyebabkan lalu lintas menjadi lebih rapi dan seharusnya dilanjutkan.
“Saya khawatir, Bali itu kan daerah pariwisata. Di manapun di dunia ini kalau daerah pariwisata, akses transportasinya bagus,” katanya. Ia mengaku khawatir jika di masa depan wisatawan tak mau berkunjung ke Bali lagi karena aksesnya yang sulit dan jalanan macet.
Padahal menurutnya, Bali memiliki potensi dan peluang optimasi kendaraan umum yang tinggi. Namun, belum terbentuk ekosistem masyarakat yang mau menggunakan kendaraan umum. Djoko menilai, hal seperti ini terjadi karena dukungan pemerintah daerah pada kendaraan umum masih minim. Padahal, pemerintah bisa menyiasati masalah ini dengan turut menggunakan kendaraan umum sebagai contoh bagi masyarakat. Apabila pemerintah Bali tidak kunjung menunjukkan keseriusannya, Trans Metro Dewata mungkin akan ditarik oleh pemerintah pusat.
“Masyarakat perlu mendesak kepala daerah. Karena kalau sampai ditarik, malu,” tegasnya.
Meskipun terlambat berkembang, tetapi pelayanan transportasi publik kadang merespon keluhan penggunanya. Menurut Sarasati, pengguna Trans Metro Dewata, waktu tunggu bus kini semakin singkat. Selain itu, jumlah armada juga semakin banyak. Seiring berkembangnya teknologi, masyarakat juga menjadi lebih mudah untuk mengakses informasi mengenai jadwal dan rute bus lewat aplikasi. Apalagi, kini terbit akun media sosial Trans Metro Dewata di Instagram. Akun ini dapat mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi mengenai transportasi tersebut.
Dalam Master Plan Transportasi Bali: Menuju Era Baru Transportasi Bali 2023, terdapat tiga sasaran utama. Di antaranya adalah: transportasi untuk semua, transportasi untuk alam yang lestari, dan transportasi yang berbudaya. Di dalam master plan tersebut, pengembangan angkutan umum Trans Sarbagita menjadi salah satu cara untuk mewujudkan transportasi untuk alam yang lestari. Hal ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Maha Putra menanggapi kebijakan pemerintah dalam upaya pengurangan kendaraan pribadi. Menurutnya, penyebab utama masalah lalu lintas di Bali adalah jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan ketersediaan jalan. Masalah ini dapat dipecahkan apabila ada penambahan jalan. Namun sayangnya, solusi ini tidak akan banyak gunanya jika jumlah kendaraan terus bertambah.
“Sejauh ini belum terlihat ada upaya dari pemerintah untuk membatasi jumlah kendaraan yang boleh beredar di jalanan,” tuturnya.
Djoko Setijowarno juga turut mengomentari. Menurutnya, master plan yang disusun pada tahun 2018 itu belum dilaksanakan dengan baik. “Itu baru jargon,” katanya.
Ia juga menceritakan langkah-langkah pengurangan jumlah kendaraan di beberapa negara. Alih-alih menambah jalan, mereka biasanya menaikkan tarif parkir di tengah kota, membatasi kendaraan pribadi di jalan tertentu, menyediakan fasilitas park and ride di pinggir kota, membatasi tahun kendaraan yang boleh beroperasi, dan lainnya. Sementara itu, pencegahan masalah di Bali masih berfokus pada penambahan jumlah jalan.
“Dalam 20 tahun ke depan, jika kendaraan yang beredar tidak dibatasi, kita kemungkinan akan terus membutuhkan jalan baru atau kita akan menghadapi kemacetan akut,” lanjutnya.
=====
Kebiasaan Berkendara di Bali
Saya sering naik sepeda motor melintasi Jalan Hayam Wuruk-Katrangan di Denpasar. Di ruas Jalan Hayam Wuruk menuju Katrangan, terdapat beton pembatas jalan. Benda tersebut menjadi penanda, bahwa pengendara tidak boleh putar balik di sana. Namun, kenyataannya, para pengendara yang datang dari Jalan Hayam Wuruk justru menerobos pembatas dengan melakukan putar balik.
Lalu, jalanan menjadi macet.
Kalau di daerah wisata, kemacetan sering terjadi di gang kecil. Saat itu saya sedang menyusuri kawasan Canggu. Untuk menuju tempat wisata, orang-orang biasanya melewati shortcut agar cepat sampai di tujuan, contohnya salah satu jalan kecil di Canggu. Ketika saya melewatinya, tampak dua mobil menuju arah yang berlawanan. Sementara, jalan kecil itu hanya muat untuk satu mobil.
Kedua pengemudi nampak berusaha memecahkan masalah. Namun, para pengendara motor merasa tidak sabaran sehingga mereka berusaha mencari celah untuk menyelip. Keadaan pun jadi semakin menegangkan. Bahkan, pengendara motor (bule) di belakang salah satu mobil hampir tertabrak.
Kendaraan di Bali semakin padat, hal ini seharusnya menggerakkan kebijakan transportasi publik atau manajemen tata ruang. Masyarakat juga tidak bisa disalahkan karena akses, fasilitas, dan sosialisasi belum mumpuni. Masyarakat masih terlalu malas untuk keluar dari zona nyamannya. Wajar saja, kendaraan umum yang seharusnya mempermudah perjalanan, justru jadi sering jadi penghambat.
Padahal naik kendaraan umum itu menyenangkan. Penumpang bisa menghemat energi karena tidak harus menyupir kendaraan. Selain itu, bisa berolah raga karena harus jalan kaki dari halte ke tempat tujuan, atau sebaliknya.
Namun, nyatanya akses dan fasilitas transportasi publik masih belum maksimal. Dulu ketika saya masih sering menggunakan Bus Trans Metro Dewata, saya harus berangkat minimal 1 jam 30 menit sebelum waktu janjian. Saat itu masih ada perbaikan jalan yang memakan waktu panjang dan menyebabkan macet.
Sayang sekali.
Pemerintah pun belum bisa bertindak dengan tegas. Pemerintah belum membatasi kendaraan pribadi ataupun memberikan contoh bagi masyarakat untuk naik kendaraan umum. Master plan yang dirancang sejak 2018 belum terlihat perkembangannya. Trans Sarbagita yang katanya akan dioptimasi, justru kini tak melintasi beberapa halte yang tersedia.
Lalu… bagaimana ya, nasib lalu lintas Bali 20 tahun ke depan?
Tim liputan mendalam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2023: Penulis: Luh Muni Wiraswari, Fotografer & Videografer: Ni Putu Satya Sephiarini.
I am happy that I detected this blog, precisely the right info that I was searching for! .
Yang sangat benar, transportasi umum contohnya bis, harus adalah fokus #1 untuk Bali dan di Indonesia secara umum. Motor listrik, seperti sudah diurai oleh Jakarta Post, tidak akan menjadi bagus untuk Indonesia ketika sumber listrik tidak lestari. Sekarang, ketersediaan jalan bis sangat kekurangan di Bali dan ada sedekit rute saja ada. Saya memang tidak bisa naik bis untuk berbelanja di pasar atau swalayan, atau pergi tempat nongkrong. Rute yang tersedia, enggak ada gunaan.
Menurut saya, di dasar, masalanya ini tidak dari pariwisata tapi masalhnya infrastruktur Indonesia. Rupanya jalanan di Bali sama saja dengan Surabaya, bahkan Ambon, dan alhumdulilah belum sama Jakarta.