Kartun dan media menjadi dua hal yang sulit dipisahkan.
Media dapat merepresentasikan isu teraktual melalui kartun editorial (political cartoon). Sebuah gambar yang menjadi tajuk sebuah isu hangat dan bahan pembicaraan khalayak.
Bukan berarti selamanya akan berjalan lancar tanpa ada pihak yang mengecam bahkan mengancam. Jagad kartun editorial dikejutkan oleh kabar perihal tidak akan terbitnya kartun politik di The New York Times. Masalah ini terjadi sejak dimuatnya sebuah kartun politik pada 25 April 2019 karya Antonio Moreira Antunes dari Portugal yang menimbulkan reaksi khususnya menyangkut isu antisemit.
Nasib serupa juga dialami kartunis Michael de Adder, seorang kartunis lepas dari Kanada. Ia harus kehilangan pekerjaan setelah menggambar kartun tentang acuhnya Amerika dalam hal ini Presiden Donald Trump terhadap tragedi kemanusiaan para pencari suaka yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik.
Kartun dapat menjadi sarana untuk merepresentasikan berbagai fenomena, situasi gambar yang kontektual dan semuanya kembali kepada proses kreatif dari kartunis sendiri. Proses kreatif seorang kartunis editorial bukan hanya sekadar menggambar apa adanya, namun mampu mewacanakan apa adanya menjadi ada apanya.
Mengutip pernyataan dari kartunis sekaligus pakar ilmu humor senior, Darminto M Sudarmo (Odios), bahwa kartunis -editorial- yang baik harus mampu menjadi ‘anjing penjaga’ (watch dog atau guard dog) dan jika seorang kartunis tidak mengetahui hal itu, lebih baik tidak usah menjadi atau mengaku sebagai kartunis. Esensi gambar yang dibuat merupakan kritik sosial yang membangun dengan cara yang humoris.
Tersenyum dan Merenung
Humor adalah modal dasar orang dapat tersenyum bahkan tertawa lepas. Misi yang diemban oleh kartunis bisa dikatakan cukup berat dan termasuk dalam kerja cerdas. Berproses di belakang meja gambar, corat coret tidak sampai lima menit setelah perburuan ide selama lima jam bahkan lima hari. Menangkap beragam ide, meramu menjadi gambar yang dapat menjelaskan sebuah fenomena secara padat dan cermat.
Maria Plaza (2006) menjelaskan bahwa humor lahir dari ketimpangan di antara dua atau lebih komponen dari obyek, peristiwa, ide, dan harapan sosial. Pada dasarnya humor memiliki fungsi ekspresi dan ajakan. Sebagai ekpresi humor dapat menjadi media pembelajaran dan kritik sosial, sedangkan sebagai ajakan humor menjadi sarana penyampaian pesan moral.
Humor pada kartun editorial secara visual sarat dengan bahasa kritik bahkan cenderung memancing polemik dari pihak yang direpresentasikannya.
Sejarah mencatat beberapa kartunis telah membuat karya dianggap kontroversi. Misalnya pada tahun 2005 surat kabar Jyllands-Posten menayangkan kartun Nabi Muhammad yang menimbulkan protes dari umat Islam hampir di seluruh penjuru dunia. Kartun editorial tentang ISIS di majalah Charllie Hebdo hingga berujung pada penyerangan brutal yang memakan 12 korban jiwa pada tahun 2015. Kriminalisasi kartunis terjadi di Turki pada kartunis Musa Kart dan Malaysia menimpa kartunis Zunar.
Di tanah air The Jakarta Post pernah dilaporkan ke kepolisian atas laporan sebuah ormas lantaran memuat kartun yang bercerita tentang kebrutalan ISIS pada 3 Juli 2014. Nasib serupa juga dialami oleh majalah Tempo setelah memuat kartun yang dianggap menghina ‘sang imam besar’ pada 26 Februari 2018.
Demikian juga kontroversi kartunal terkait hubungan bilateral ‘panas’ dan saling berbalas kartun sempat mewarnai ketegangan antara Indonesia dengan Australia.
Literasi Kartunal
Karya kartun adalah sebuah produk budaya. Merujuk pada Pierre Bourdieu (2012) karya seni adalah obyek yang eksis lantaran keyakinan kolektif mengenai dan mengakuinya sebagai sebuah karya seni. Kartun editorial merupakan produk visual yang mencipta makna yang secara kontekstual menjadi alat eksplorasi yang selaras dengan suara dewan redaksi. Dapat pula berkisah untuk membangun pemahaman tentang situasi sosial budaya politik dan ekonomi lokal maupun global.
Kartun karya Antonio Moreira Antunes dan Michael de Adder merupakan produk visual yang berupaya mengangkat isu tentang sepak terjang Amerika Serikat pasca era Barack Obama. Kekuatan humor visual bersifat relatif dan terkadang menimbulkan polemik, itulah konsekuensi yang harus diterima.
Risiko kartunis editorial menyebabkan keberangan pada beberapa pihak karena dianggap menyinggung kelompok atau golongan tertentu. Ancaman, intimidasi sampai penyerangan tidak hanya pada kartunisnya namun kantor redaksi media yang menaungi. Charllie Hebdo, The Jakarta Post dan Tempo dapat menjadi contohnya.
Menurut saya, terdapat dua risiko ketika sebuah kartun dianggap memicu polemik dan dinilai kontroversi. Risiko kelembagaan seperti dialami Antonio Michael de Adder dengan tidak ditayangkan rublik kartun politik di The New York Times. Risiko personal sebagaimana ditanggung oleh Michael de Adder karena harus kehilangan lahan berkaryanya di semua surat kabar utama di provinsi New Brunswick, Kanada.
Humor tercipta dari keisengan (unuseless) sebagai ciri kreasi yang kerap menegasikan sesuatu yang telah bersifat baku dan menjadi sesuatu yang bersifat mengejutkan. Humor yang satir bukan sekadar manifestasi dari sindiran yang nyinyir, namun humor yang cerdas dan wawas diri. Dalam menjaga marwah humor yang mencerdaskan perlu diterapkan humor yang humanis.
Kartun menjadi media mengembangkan sikap tenggang rasa, saling mencintai sesama dan tidak semena-mena terhadap orang lain. Untuk itu menjadi seorang kartunis tidak hanya membutuhkan kepiawaian teknik visualisasi ide semata, namun kecerdasan dan kepekaan sosial perlu diperhatikan.
Kerja cerdas seorang kartunis tentunya membutuhkan variasi literasi kuat, wawasan luas dan kepekaan sosial tinggi. Literasi penerima humor perlu selaras dengan daya literasi pembuat humor. Agar tidak terjadi salah persepsi karena perbedaan penafsiran. Bagaimana dengan kartunis editorial dan awak media di negara kita? [b]