Oleh Anton Muhajir
Putu Setiawan, wartawan SCTV di Bali mengangkat dua jarinya ketika film usai. Meski tidak mengatakan secara lisan, dari ekspresi wajah dan dua jempol yang diangkatnya, Wawan menyatakan film yang baru usai ditontonnya itu bagus.
Yusuf Rey Noldy, aktivis penanggulangan AIDS di Bali pun berkata agak berteriak pada saya, “Filmnya bagus.” Wajah-wajah penonton terlihat senang usai film itu diputar Sabtu malam, sekitar pukul 19.30 Wita itu. Kami baru saja nonton bareng film Shattered Glass.
Film produksi Lions Gates Film pada 2005 ini menceritakan wartawan muda, ganteng, dan pintar Stephen Glass yang membuat berita-berita imajiner ketika masih bekerja untuk majalah New Republic. Majalah yang terbit pertama kali pada 1914 ini dikenal sebagai majalah politik terkemuka di Amerika Serikat. Bahkan ada ada ungkapan New Republic sebagai The Only Air Force One Magazine, untuk merujuknya sebagai majalah yang dibaca pengambil keputusan penting petinggi negeri adidaya tersebut.
Shattered Glass, yang dibuat berdasarkan artikel HG Bissinger itu memulai cerita dengan kalimat menohok jurnalisme. “Banyak sikap sok pamer dalam jurnalisme. Banyak orang sombong dan brengsek. Mereka selalu menjual, selalu bekerja, selalu berusaha membuat dirinya lebih hebat dari sebenarnya..”
Well, itulah kondisi jurnalisme kita. Dia tidak sesuci yang dibayangkan banyak orang. Bahwa banyak wartawan bekerja di bawah tekanan waktu, beban pekerjaan, minimnya kesejahteraan, hingga pilihan politis medianya bekerja. Wartawan tidak bekerja di ruang hampa. Maka, apa yang mereka hasilkan pun lahir dari beragam tekanan. Mereka tidak menghasilkan sesuatu yang apa adanya, tapi sesuatu yang sudah dibuat sedemikian rupa.
Ini bukan sesuatu yang salah. Hanya, tidak semua orang sadar bahwa kebenaran media massa hanyalah kebenaran rekaan, kebenaran yang diciptakan. Tidak semua media memang, namun kadang-kadang media juga melahirkan kebohongan. Shattered Glass mengulas kisah nyata yang dialami Glass, tentang bagaimana tulisan wartawan juga bisa merupakan hal yang imajiner, bukan berdasarkan fakta.
Pada 1998, Stephen Glass, wartawan termuda di New Republic membuat berita imajiner alias berita bohong. Tidak tanggung-tanggung, 27 dari 45 artikel yang ditulisnya adalah artikel palsu. Berita yang ditulis itu tidak berdasarkan fakta tapi berdasarkan imajinasi. Berita itu beragam tema. Mulai cerita pertemuan anggota muda parlemen yang diisi narkoba, bir, dan perempuan hingga kisah hacker muda yang mengacaukan perusahaan software terbesar di Amerika.
Artikel terakhir, yang berjudul Hack Heaven, itulah yang membongkar kebohongan Glass selama ini. Semua terungkap oleh media lain, Forbes, yang lebih banyak mengulas tentang ekonomi dan teknologi.
Berangkat dari fakta bahwa media pun bisa berbohong itulah Sloka Institute, lembaga pengembangan media, jurnalisme, dan informasi membuat kegiatan Nonton Bareng Film Jurnalisme. Menurut saya, film termasuk salah satu alat efektif untuk menyampaikan pesan. Maka, saya dan teman-teman di Sloka Institute pun memilih film sebagai alat pendidikan media bagi publik.
Meski Nonton Bareng kali ini yang pertama, ternyata banyak juga peminantya. Ada sekitar 30 orang yang datang dan ikut nonton lesehan di Sloka Institute di Renon Denpasar. Latar belakang penonton beragam. Ada wartawan, aktivis pers mahasiswa, aktivis pers sekolah, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), siswa, dan guru. Hari Puspita, redaktur koran lokal Radar Bali bahkan datang bersama istri dan dua anaknya. Namun sebagian penonton ada yang pulang ketika film belum usai, termasuk Pipit karena anaknya minta pulang.
Sayangnya sih masih banyak catatan pada Nonton Bareng kali ini. Misalnya tempat yang terlalu sempit untuk nonton bareng. Ruangan sekitar 5×5 meter persegi itu tidak cukup memuat semua penonton. Sebenarnya mungkin cukup. Tapi hampir semua menonton film sambil bersandar di dinding. Jadinya terlihat penuh. Sempitnya ruangan juga jadi masalah karena banyak penonton yang merokok. Jadi, selama menonton film berdurasi hampir dua jam itu, asap mengepul di antara puluhan penonton yang juga mendapat kue singkong keju gratis plus air mineral.
Namun masalah paling penting selain telatnya peralatan LCD dan layar yang pinjam dari Komunitas Taman 65 dan Yayasan Mitra Bali, juga karena tidak ada diskusi usai film. Sebagian besar penonton langsung kabur ketika film usai. Mungkin karena tidak ada makan malam. ? Padahal pasti menarik kalau ada diskusi meski sedikit tentang film tersebut atau kondisi jurnalisme yang relavan dengan tema film.
Sebab, kondisi tidak jauh beda pun terjadi di Indonesia. Cerita terbaru di Indonesia pernah dialami harian Jawa Pos pada November 2006 lalu. Ketika itu, wartawan mereka Rizal Husein pun pernah membuat berita fikitf bahwa dia wawancara dengan istri tersangka bom Bali Azhari. Saat itu Azhari baru saja tewas ditembak polisi di Batu Malang. Pada minggu yang sama, Jawa Pos memuat laporan ekskulsif wawancara dengan istri Azhari di Malaysia. Konon, wartawan mewawancarainya via sambungan internasional.
Kebohongan itu terungkap ketika Trans TV liputan ke rumah Azhari di Malaysia dan mendapat kenyataan bahwa istri Azhari tidak bisa berbicara normal akibat sakit. Lha kalau tidak bisa berbicara normal, bagaimana mungkin bisa diwawancarai lewat telepon?
Cek kali cek. Wartawan Jawa Pos yang pernah membuat laporan langsung dari Irak usai diserbu Amerika Serikat pada 2003 itu –dan berita itu kemungkinan juga palsu- memang tidak pernah wawancara istri Azhari. Berita itu palsu. Jawa Pos lalu membuat pernyataan maaf sebagimana pernah dilakukan New Republic.
Jadi, kita memang harus berhati-hati mengonsumsi media. Sebab, selalu ada kemungkinan bahwa apa yang disampaikannya adalah omong kosong semata. [b]
Wartawan juga sering menayangkan berita yang tidak di kofirmasi kepada pihak kedua atau ketiga yang disebut oleh narasumber…. Apakah ini benar?? Karena kadang2 juga narasumber mengeluarkan kata-kata yang bertujuan untuk mendapatkan kepentingan pribadinya dengan merugikan pihak-pihak lain. Pada saat berita sudah muncul di media massa akhirnya terjadilah komplain dari pihak kedua atau ketiga…. biasanya komplain ini dijembatani oleh media massa dengan memberikan hak jawab. Namun hak jawab biasanya berupa kolom kecil yang jarang dibaca oleh masyarakat. So.. tetap semangat para wartawan dan jadilah wartawan yang baik dan benar!!!
Salam,
wahyu
MANUSIA LANGIT
Wartawan, pramuwarta, jurnalis. Memang ada banyak sebutan tentang sebuah profesi intelektual dalam mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita secara bertanggung-jawab.
Wartawan sebuah status sosial yang memiliki sisi angker, menakutkan dan horor. Betapa tidak, Napoleon Bonaparte menulis dirinya lebih takut dengan kekuatan pena wartawan daripada senjata musuh.
Wartawan juga adalah sebuh profesi yang dekat dengan ekspansi kekuasaan. Presiden AS Eissenhower menulis dengan perasaan agung, “Dengan 27 prajurit saja, saya bisa mengalahkan dunia.” Tentu yang dimaksud dengan 27 prajurit tidak lain adalah jumlah abjad A-Z. Rangkaian abjad membentuk kata, merakit kalimat dan menyebarkan berita demi berita dalam parade harian, mingguan dan bulanan. Beragam ulasan soal dimensi kehidupan dipotret dalam pengamatan wartawan.
Dalam persimpangan ini, kita harus tegas mengatakan bahwa wartawan adalah manusia langit yang mengusung berbagai kegelisahan melihat kehidupan di bumi yang amburadul.
Wartawan dalam balutan idealismenya terus konsisten menyampaikan kebenaran faktual bukan kebenaran yang didikte berdasarkan pemetaan materi liputan versi korlip di ruang redaksi.
Tapi wartawan adalah manusia bumi dalam segala kerapuhannya. Di sini kita bisa bercerita dengan gusar bahwa profesi wartawan adalah pilihan untuk menjalahi hidup serba pas-pasan. Benarkah demikian? Inilah prototipe sekaligus stereotip yang sukses dibangun oleh wartawan itu sendiri. Sehingga ada ungkapan bahwa boleh bangga menjadi wartawan Tempo, tapi Goenawan Moehamad yang kaya-raya. Senang menjadi wartawan KOMPAS, tapi pundi-pundi Yacob Oetama terus bertambah. Gembira menjadi pemburu berita di Balipost, tapi kocek ABG Satria Naradha terus menebal. Benarkah demikian?
Di tikungan kesadaran ini, saatnya para praktisi pers harus berani berkata tegas, “TIDAK!” Wartawan adalah manusia bumi, punya anak dan isteri, punya biaya hidup dan seterus sama seperti orang lain, butuh makan dan minum, papan dan busana.
Sudah seberapa kompah para wartawan Indonesia yang tersebar di berbagai organisasi pers dan media KOMPAK dalam satu suara, satu visi dan misi “MENEKAN’ para pemilik media/investor bahwa wartawan adalah sebuah profesi bukan sebuah pekerjaan orang upahan. Sayang, wartawan kini terpecah belah: ada wartawan langit yang anti amplop, ada wartawan bumi yang berburu jumpa pers untuk mengoleksi amplop-release. Juga ada wartawan merpati, yang sebentar terbang ke langit idealisme lalu kembali mencari makan di bumi. Bagaimana rumusan konsep kesejahteraan dan posisi profesi wartawan di BUMI INDONESIA, sepenuhnya ada di tangan praktisi pers. Selama berjuang rekan-rekan wartawan!!!
Salam Hormat
kontak person: hermen_aku@yahoo.com