Menutupi kesalahan demi pencitraan? Sudah tidak zamannya lagi!
Merebaknya kasus siswa SD dipaksa duduk lesehan oleh pihak sekolah membuat pejabat Kota Denpasar kalang kabut. Pernyataan mereka di beberapa media terkesan tidak sinkron.
Bahkan lebih parah ada akademisi yang turut berkomentar dan terkesan komentarnya hanya untuk menutupi kenyataan dengan menyampaikan kenyataan lain.
“Ini bukan kesalahan pemerintah Kota Denpasar, ataupun Kepala Sekolah maupun para guru didik atau pengajar,” tegas Prof Rumawan Salain dikutip dari kabarnusa.com 2 Oktober 2014.
Diakuinya, justru langkah proaktif yang dilakukan pihak sekolah, yakni Kepala Sekolah dan para guru di SDN 3 Sesetan, Denpasar patut diapresiasi positif. Menurutnya itu merupakan sebuah semangat profesionalisme dalam menunjukan jati dirinya sebagai panutan terdepan untuk mencetak karakter bangsa berbasis kearifan lokal, demi pengabdian publik yang tulus.
Sayangnya, saya sangat yakin Pak Rumawan tidak tahu duduk permasalahan sebenarnya kenapa hal itu terjadi. Ini bukan semangat profesionalisme tetapi sifat kemaruk oknum pendidik yang rela mengorbankan muridnya demi kepentingan mereka.
Sebagai perbandingan SD 8 Dauh Puri yang cukup favorit menyikapi penerapan kurikulum 2013 dengan tetap menggunakan pola lama hanya jam pulangnya yang diperpanjang. Begitu pula SD 9 di Denpasar Selatan. Mereka tidak memaksakan kelas satu dan dua masuk pagi. Tetap seperti sebelumnya ruang kelas satu dipakai bersama-sama oleh dengan murid kelas 2.
Kalau di SD 3, kata kepala sekolah, guru tidak mau masuk sore sendirian. Dari perkiraan komite agar jadwal pengayaan atau les sore tetap bisa dilangsungkan untuk anak kelas satu dan dua. Karena kalau kelasnya tetap digabung maka lesnya tidak bisa dilakukan lagi. Berarti ada uang yang hilang setiap bulannya.
Akademisi IB Jelantik berkomentar, ”Jangan sedikit-sedikit sekolah mengobral persoalan ke media sosial, karena bisa salah tafsir. Selain juga dimanfaatkan sebagai komoditas politik. Mari kita bersama membangun Kota Denpasar dengan hati tulus.” (kabarnusa.com)
Menjadi tidak penting ketika ada dugaan bahwa kejadian tereksposenya siswa SD di Denpasar duduk lesehan menggunakan ruang kelas yang tidak layak dijadikan komoditas politik oleh beberapa kalangan.
Justru menarik dicermati ungkapan kejengkelan Mangku Pastika, Gubernur Bali yang datang ke lokasi. “Ini adalah hal yang sangat memalukan,” ungkapnya. Tentu agar tidak terulang lagi peristiwa-peristiwa memalukan seperti ini. Jika muncul kembali maka jajaran birokrasi yang membawahi pendidikan harus sungguh-sungguh dalam menjalankan aturan dan bekerja sesuai tupoksinya.
Sama dengan langkah cepat Wali Kota Denpasar, Rai D Mantrawijaya. Begitu tahu ada kejadian ini, dia langsung menghimpun informasi dari jajarannya. Dari Kepala sekolah hingga Kepala Dinas Dikpora. Dari Kaling hingga Camat. Setelah mengetahui duduk persoalannya langsung memberikan respon dan petunjuk mengatasi persoalan yang terjadi.
Jadi apa yang dicibirkan Dirjen Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Prof Dr Ir Ahmad Jazidie M.Eng, tidak berlalu begitu saja. Ini hanya sebagai salah satu contoh. Beliau mengatakan sekolah tidak boleh menjual buku LKS. Sanksinya jelas dari peringatan hingga pemberhentian kepala sekolah yang melanggar.
Pelanggaran hal-hal seperti ini seharusnya tidak terjadi bila dinas bekerja dengan baik dan benar. Karena seperti yang terjadi, masih banyak sekolah SD di Denpasar yang menjual LKS dari penerbit.
Seperti kata Beliau ketika didesak oleh awak media bahwa masih banyak pelanggaran yang terjadi dan lolos dari pantauan Disdikpora, Jazidie mengatakan seharusnya dinas bekerja dan memantau itu dengan baik. “Yang saya tahu mereka bekerja,” ujarnya tertawa sinis sambil menegaskan bahwa adalah tanggung jawab daerah untuk memberhentikan kepala sekolah yang nakal perihal kasus LKS. (Tribun Bali, 22 September 2014)
Padahal di Bali sendiri, Mangku Pastika ketika pertama kali menjabat jadi Gubernur Bali pernah mengeluarkan surat edaran gubernur tentang sekolah gratis sebagai penerapan wajar 9 tahun. Tetapi sekolah-sekolah negeri tetap saja memiliki cara-cara untuk meminta uang kepada orang tua siswa. Tidak pernah ada teguran apalagi sanksi yang lebih keras.
Ketika itu SD Negeri 3 Sesetan juga yang membuat masih maraknya sumbangan wajib dan penjualan buku tulis oleh pihak sekolah muncul ke media. Kasusnya juga ramai seperti kasus SD lesehan tetapi berlalu begitu saja. Tak lama kembali terdengar praktik-praktik curang yang dilakukan oknum pendidik entah dengan mengatas namakan komite ataupun kesepakatan orang tua siswa.
Dinas, mungkin hanya berkata, atur saja selama tidak menimbulkan masalah.
Bukankah pemerintah melalui dinas bisa berkata tegas, tidak boleh dan jangan! Kenapa pemerintah harus berani tegas pada lembaga pendidikan ini, di lembaga inilah kita berharap besar untuk terbentuknya generasi-generasi yang cerdas jujur dan bermoral. Lalu apa yang bisa diharapkan kalau guru yang harus digugu dan ditiru malah menunjukan hal sebaliknya.
Apa memang kita berharap lebih banyak lagi generasi seperti Nazarudin yang dilahirkan oleh sekolah-sekolah kita?
SD Negeri dan SMP Negeri sudah sewajarnya gratis.
SD Negeri dan SMP Negeri adalah perpanjangan pemerintah untuk mewujudkan program wajar 9 tahun. Sekolah negeri menjadi pilihan bagi warga Negara yang kehidupan ekonominya berada pada garis pas-pasan bahkan kurang. Sekolah negeri tentu tetap memerlukan biaya operasional. Itulah yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya dengan mengalokasikan anggaran di atas 20 persen.
Kenapa sekolah negeri bisa gratis? Sederhana sekali jawabannya karena sekolah ini tidak mencari untung. Gurunya digaji pemerintah. Gedungnya direhab oleh pemerintah. Bahkan buku dan bahan ajar serta operasional lainnya dibayarkan lewat BOS dan BOS pendamping. Apakah cukup, sudah pasti kalau pemerintah yang menyusun hitung-hitungannya pasti cukup.
Kalau tidak cukup, layak untuk dipertanyakan kemampuannya dalam menyusun anggaran! Tentu dimaklumi cukup dalam definisi ini adalah cukup memenuhi standar minimal.
Pemerintah pun lebih mudah melakukan kontrol terhadap jajarannya termasuk para guru.
Ingatlah, guru negeri dan pegawai di Dinas Pendidikan adalah pegawai negeri yang melamar untuk bekerja pada bidang itu. Kalau kemudian mengeluh terhadap segala keterbatasan yang muncul, bukankah pemerintah bisa meminta mereka mengundurkan diri? Karena setiap tahun ratusan orang antre untuk melamar!!!
Terus kalau orang tua ingin standar sekolah tinggi, maka di sinilah peran swasta diberikan. Mereka yang menginginkan sekolah bagus dengan kualitas yang wah tentu bisa memilih sekolah-sekolah swasta yang memiliki ruang lebih luas dalam menyusun anggarannya melalui peran langsung orang tua siswa.
Di sini wajar saja berlaku ada kualitas ada harga.
Sesungguhnya, harapan besar akan keberhasilan sebuah negera terlatak pada kemampuan Negara itu mewujudkan disiplin, loyalitas dan moralitas tinggi pada anak bangsanya. Lembaga untuk mewujudkan itu adalah sebuah lembaga yang dikenal dengan nama sekolah. Bila sekolah dijadikan pelengkap proyek, anggarannya dipermainkan, guru-gurunya masih diterima berdasarkan koneksi dan harga tawar, kepala sekolah dipilih berdasarkan syarat administrasi semata yang terkadang masih bisa diatur, bukan pada kecakapan leadership dan kreatifitas dalam memajukan sekolah dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Masyarakat sebagai pengguna sekolah juga harus mulai sadar, biarkan sekolah menjadi sebuah lembaga ideal. Di mana hiruk pikuk degradasi moralitas tidak dimasukan ke lembaga ini. Jangan menyuap guru untuk sebuah nilai. Jangan membeli sekolah demi sebuah bangku. Terimalah kemampuan anak-anak seperti adanya. Ajarkanlah mereka sportivitas. Tanamkan mereka kejujuran dan moralitas.
Kita semua, di Bali percaya karma baik yang kita tanam maka baiklah hasil yang kita peroleh begitu pula sebaliknya. Revolusi mental dimulai dengan merestorasi dunia pendidikan. [b]