Om swastiastu semeton BaleBengong.
Tulisan ini untuk menanggapi tulisan tentang kasta di BaleBengong. Yip yip, tulisan itu. Tulisan yang berangkat dari ilustrasi bagaimana seorang dari Jawa menginap di rumah Brahmana bernama Gus Eka.
Sekalian juga saya berbagi pandangan tentang kasta di Bali.
Menurut saya, daripada memberi pemahaman tentang bagaimana kehidupan keluarga Brahmana di Bali, tulisan itu hanya menduga-duga. Dia menuduh orang tua temannya, tanpa (usaha) wawancara orang tua temannya. Si penulis dengan enteng menyimpulkan orang tua temannya menganggap orang Jawa memiliki kasta lebih rendah daripada serendahnya kasta paling rendah di Bali.
Di sana disebutkan dalihnya. Dia melihat orang tua temannya tercengang melihat anaknya menyerumput kopi sisa temannya. Namun, apakah dengan dasar itu saja bisa langsung bisa memberikan kesimpulan seperti itu? Kesimpulan yang berbau rasial pula.
Sungguh tak adil bagi saya. Bahkan bisa menimbulkan dampak kurang sedap. Misalnya bagaimana jika pedagang bakso langganan bapaknya Gus Eka yang dari Jawa membaca artikel di BaleBengong itu?
Dan, tentang nasehat mencari pasangan hidup orang tua Gus Eka kepada anaknya. Ini bisa saja berangkat dari banyak kemungkinan. Misalnya mungkin orang tua Gus Eka merasakan bagaimana menjadi seorang Brahmana di Bali memiliki tanggung jawab lebih berat dalam tatanan masyarakat primordial di Bali. Karena itu beliau takut kalau istri Gus Eka dari luar akan menjadi sangat terbebani dan tidak tahan dalam perjalanan.
Secara sepihak juga mereka berpikir kalau Gus Eka menikahi sesama orang Brahmana maka akan lebih gampang menyesuaikan.
Kebetulan saya juga pernah tahu contoh kasus bagaimana seorang teman Brahmana menikahi orang yang lahir di luar Bali. Ketika menikah, dalam perjalanan si istri tidak kuat dengan tanggung jawab menjadi orang Brahmana. Dia terus mendesak tinggal pisah dengan orang tua meskipun sang suami secara finansial belum siap hidup jauh dari orang tua. Dia kemudian frustasi.
Mungkin orang tua Gus Eka juga pernah tahu pengalaman keluarganya seperti teman saya itu.
Kalau dinilai secara objektif, pandangan orang tua Gus Eka memang terasa tidak adil. Tapi bukankah itu memang sering terjadi tidak hanya dalam keluarga Brahmana di Bali? Kecintaan orang tua pada anaknya sering memang menimbulkan kekhawatiran yang bermuara pada ketidakadilan pandangan mereka kepada calon atau bakal calon pasanngan anaknya?
Saya rasa ini tidak saja berlaku pada perkara kasta. Misalnya orang tua yang berjualan banten (sesajen) ingin punya menantu anak pedagang bunga langganannya di pasar dan bersikap tidak adil pada pacar anaknya yang seorang agen multi level kosmetik.
Ketidakadilan pandangan semacam itu biasanya berakhir ketika si anak dan pasangan bisa membuktikan. Misalnya teman saya perempuan muslim menikah dengan Brahmana dan mengubah status agamanya di KTP menjadi Hindu. Dia perlahan mampu menjalankan kehidupan dengan baik sebagai perempuan Brahmana. Sampai saat ini dia diterima dengan baik oleh keluarga besar suaminya. Walaupun tentu ada dinamika, tapi semua berjalan dengan indah. Setidaknya menurut cerita dia ke saya.
Kusut
Sejarah dan definisi kasta di Bali masih sering diperdebatkan dan belum menemukan titik temu yang bisa diterima semua kalangan hingga kini. Namun, menurut saya, kasta sebagai konsep warisan leluhur Bali yang masih cukup eksis saat ini pastinya melalui perjalanan dan dinamika dengan banyak kaitan. Ibarat perjalanan benang jarit yang dipakai bermain layang-layang seharian oleh anak-anak TK. Kusut dan mungkin juga ada bagian yang terputus-putus.
Untuk belajar sejarah di Nusantara apalagi konsep identitas golongan semacam kasta sangatlah sulit. Sebab di Nusantara ini dari dahulu sangat lemah dalam hal pengarsipan sejarah. Dan sejarah biasanya akan dibuat oleh penguasa satu zaman yang didesain untuk meningkatkan derajat golongan sang penguasa itu. Seringkali untuk kepentingan itu, maka penguasa satu era harus mengubur sejarah sebelumnya. Dengan demikian sejarah tidak berlanjut bahkan berbelok.
Sejarah baru berkembang dalam masyarakat menjadi antitesis sejarah sebelumnya. Itu maksud kenapa sejarah bagaimana konsep kasta terbentuk seperti benang putus dan kusut. Ketika sejarah kasta diperdebatkan dalam orientasi pengakuan tingkat identitas maka kasta akan dilihat sebagai sebuah aturan vertikal. Masing-masing lalu membawa acuan dasar babad dari golongan sendiri lalu kukuh dengan kesimpulan golongannya harusnya lebih tinggi dan golongannya memang lebih tinggi.
Tidak saya pungkiri banyak juga kaum intelektual Bali yang memberi pengetahuan apa dan bagaimana itu kasta dengan lebih bijak dan masuk akal. Namun, tapi tetap belum bisa diterima semua kalangan.
Sebagai orang lahir, tumbuh kembang, dan bersentuhan langsung dengan dinamika kasta di Bali, saya tidak terlalu ambil pusing serunyam apa pun sejarah kasta di Bali. Saya hanya melihat kasta sebagai sebuah aturan main dengan segala kaitan masyarakat di mana saya merupakan bagian di dalamnya.
Seperti sebuah aturan sekolah ketika saya masih seorang siswa di sekolah tersebut. Saya akan menjalani sebisanya. Saya akan bertanya jika tidak mengerti. Kadang membuat pemahaman sendiri jika jawaban yang saya dapat kurang bisa diterima logika. Saya akan lawan jika ada keharusan yang menurut saya tidak wajar. Saya akan bermain-main jika saya bosan. Tentu semua itu saya nikmati sebagai bagian dari perjalanan.
Terlepas dari apapun itu sebenarnya definisi kasta, saya merasa keberadaan kasta tidak perlu dimusnahkan dari kehidupan adat manusia Bali. Tidak perlu lagi terlalu digugat, tapi bagus jika dibahas sebagai sebuah ilmu. Bahkan saya merasa keberadaan kasta di Bali penting untuk sebuah seni dalam menjalankan kehidupan dan unsur-unsur budaya di Bali.
Misalnya dengan adanya kasta, generasi kita bisa tahu tentang kekayaan bahasa Bali. Dengan kasta, ada peta pembagian tanggung jawab dan hak seimbang dalam upacara atau kegiatan adat di Bali. Dengan adanya kasta juga, pakem-pakem berkesenian di Bali terbentuk. Tak jarang kasta juga bisa jadi sumber lelucon dalam pementasan kesenian tersebut.
Tentang Rasa
Saya tidak pungkiri masalah akibat kasta dalam masyarakat Bali itu ada. Tapi saya rasa bukan karena esensi kasta itu sendiri melainkan lebih karena manusianya. Sebab, menurut saya, penerapan kasta dalam masyarakat ialah tentang rasa. Setahu saya tidak ada paksaan maupun hukum tertulis untuk kita harus mengakui keberadaan kasta di Bali,.
Dalam perkara kasta mungkin lirik lagu “de ngaden awak bisa, depang anak ngadanin” itu masih relevan. Sebab dalam masyarakat Bali penetapan identitas kasta sekarang ini berlaku sistem keturunan laki-laki (purusha). Tidak ada gunanya kita mengaku-ngaku dalam masyarakat berkasta ini atau itu kalau tidak di akui masyarakat, walaupun dalam kasus tertentu mungkin lirik lagu itu tidak lagi relevan dalam kehidupan kita.
Masalah kasta biasanya menimpa orang yang terlalu kaku memahaminya. Atau mereka ingin menggunakan kasta sebagai simbol identitas dan tingi rendah derajat manusia. Pemahamnya tentang “kehormatan” karena ingin dihormati bukan menghormati.
Banyak ada yang bersikeras menaikkan kasta dan mengubah nama anaknya menjadi kasta yang dianggap lebih tinggi. Mungkin dengan dasar kemampuan ekonomi dan “haus kehormatan”. Atau dengan dalih babad atau garis sejarah keluarga kemudian membuat tatanan upacara lebih besar dari yang biasanya.
Lalu, apa masyarakat lantas mengakui? Mungkin terlihat iya. Tapi tentang rasa dalam hati masing-masing individu siapa yang bisa tahu. Jika terlalu muak, paling mereka hanya mencibir di belakang.
Dalam kasus lain pernah juga saya mendengar curhatan seorang ibu teman, di mana jika dilihat dari nama dan pengetahuan saya, dia berkasta Kesatria. Dia bercerita kalau dulu keluarganya punya banyak warisan tanah. Seharusnya dia sekarang kaya raya. Tapi kakek suaminya dulu menjual habis tanahnya demi memenuhi ego di depan para pengikutnya. Kini, ketika warisan itu telah habis, tidak ada lagi keturunan pengikut kakek suaminya yang ingat atau sekadar hormat. Yang tersisa hanya tanggung jawab di (puri) rumahnya yang lebih besar dari keluarga lain di masyarakatnya.
Bagaimana dengan masalah kelas sosial vertikal akibat kasta di Bali? Misalnya kasta Kesatria bisa bersikap sewenang-wenang pada Sudra. Saya rasa hari ini tidak begitu ada masalah seperti itu sepanjang bisa saling menghormati. Mereka yang lebih dihormati di masyarakat akan lebih berat juga membawa tanggung jawab statusnya di masyarakat. Kehormatan dalam hal kasta di Bali bukan bagimana satu kasta harus lebih dihormati, tapi bagimana mereka menghormati yang lain.
Kalau ada yang gila hormat karena kasta, hanya akan menjadi lelucon.
Kelas Ekonomi
Di sisi lain saya juga banyak menemukan teman berkasta Kesatria atau Brahmana enggan diperilakukan lebih istimewa dengan teman lain yang Sudra. Bagi saya, dalam pergaulan keseharian orang berkasta apapun sering menjadi sama. Tapi hati saya akan merasa lebih teduh ketika ke rumahnya, di depan orang tuanya, lebih memberikan tempat sewajarnya pada keberadaan kastanya. Misalnya menggunakan bahasa halus sebisa saya.
Sebab, kembali lagi ini ialah tentang rasa, di mana saya merasa terhormat ketika bisa menghormati.
Masyarakat Bali dalam realitas kehidupan sehari-hari saya rasa tidak ada alasan untuk tidak profesional dengan alasan kasta. Misalnya banyak kita temukan orang berkasta Kesatria di Bali menjadi pekerja orang berkasta Sudra. Tentu dalam kasus ini mau tidak mau si Kesatria akan menghormati si Sudra sebagai bos dalam koridor kerja yang disepakati.
Si Sudra yang memiliki “rasa” kasta di Bali juga mungkin akan tetap menghormati si Brahmana tanpa menganggu mekanisme kerja. Misalnya dalam berkomunikasi dengan pekerjanya yang Brahmana, si Sudra masih menggunakan bahasa Bali ‘halus”. Tapi kalau si Sudra tidak memiliki rasa tentang kebaradaan kasta di Bali, tidak aturannya juga dia harus menggunakan bahsa halus.
Jadi, kesewenang-wenangan kelas sosial di Bali cenderung bukan lagi karena faktor kasta, tapi lebih karena angka-angka kesejahteraan ekonomi dan kaitan-kaitannya dengan kekuasaan modal kapital di Bali yang semakin tak terkontrol. Status ekonomi menciptakan sekat-sekat dan kelas dalam manusia di Bali yang semakin kehilangan ruang kedaulatan.
Lihat saja bagaimana perusahan perusahan kapital memperlakukan kaum pekerja bawah di Bali yang katanya pulau surga. Bandingkan standar upah minum regional (UMR) di Bali dengan ibu kota, misalnya. Hari raya yang baik untuk berkumpul dengan sanak keluarga harus dilalui dengan mengeluh tapi tetap bekerja melayani penikmat penikmat surga dari luar. Bagaimana modal-modal kapital menjadikan petani-petani Bali hanya objek tontonan dalam iklan pariwisata sementara banyak dari mereka masih menjerit dalam hidup sehari-hari. Bagaimana tempat-tempat mewah di Bali yang hanya bisa dinikmati kaum pelancong berduit.
Belum lagi sekat-sekat kesenjangan dalam strata kelas kualitas pendidikan kaum miskin dan kaya. Banyak tempat pendidikan industri pariwisata berkualitas berjejer dengan harga WAH. Akibatnya, petani yang ingin mengubah nasib anaknya tidak jarang harus menjual tanah untuk menyekolahkan anak di perguruan tinggi pariwisata yang mahal. Tanah leluhurnya yang terjual sering berubah menjadi hotel yang wah.
Ketika anaknya sudah menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi tersebut, dia harus training di hotel-hotel mewah itu. Belajar di sana seperti bekerja tanpa dibayar. Tidak jarang, untuk mendapatkan posisi training itupun harus melalui seleksi.
Belum lagi bagaimana sekat kelas manusia dalam dunia pariwisata di Bali bersikeras ingin diciptakan, menguruk teluk beratus-ratus hektar, berencana membangun belasan pulau baru dengan kawasan elite luar biasa indahnya. Tentu hanya mereka yang berduit tinggi bisa masuk menikmati. Sementara itu wisatawan berduit pas-pasan dan warga lokal dengan gaji standar UMR hanya akan menikmati pantai dengan abrasi, sampah dan limbah, serta tentu jalanan yang macet.
Tidak kecuali apapun kasta kita saat ini, menurut saya tanpa adanya kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial dan kedaulatan pada masyarakat, masyarakat Bali hanya akan menjadi penonton. Tidak melihat apa-apa, terhalang sekat tembok kokoh modal kapital.
Seperti seorang anak sekolah dasar yang tidak mampu memiliki gadget untuk main Clash of Clan, sementara teman-temannya selalu fokus pada gadget masing-masing menunggu waktu WAR, dan sesekali bercerita tentang kehebatan CLAN-nya.. [b]