Ikatan Alumni Mahasiswa Universitas Udayana (Ikayana) mengkampanyekan hak waris perempuan Bali dalam seminar yang dilaksanakan Jumat (5/8) di Denpasar. Sejumlah ahli hukum adat dan agama sepakat soal pengakuan hak waris menurut hukum adat Bali untuk perempuan.
“Kesepakatan ini harus dibukukan sehingga mudah disebarluaskan dan dibaca oleh pihak-pihak yang berkepentingan,” kata Prof Dr Wayan P. Windia, ahli hukum adat Bali. Ia menyebut rujukan Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) pada 2010 yang bisa menjadi rujukan penyelesaian perkara soal waris menurut hukum adat Bali.
“Hakim dan pihak bersengketa disarankan mengutamakan keputusan MUDP dari pada rujukan lain yang sebelumnya berlaku,” tambahnya. Keputusan baru ini menurut Windia lebih memberikan keadilan pada perempuan karena memberikan kepastian tentang kedudukan istri dan anak terhadap warisan saat berumahtangga dan jika bercerai.
“Pewarisan juga menurut hukum adat Bali tak hanya membagi harta warisan tapi mengandung arti pelesatarian dan pengurusan kewajiban pewaris,” jelas Wiana. Pihak perempuan yang berhak atas warisan adalah yang menikah dengan status ninggal kedaton terbatas, perempuan yang melangsungkan pernikahan biasa (bukan pindah agama), laki-laki yang nyentana, dan anak angkat.
Mereka berhak atas satu bagian warisan dibanding laki-laki yang mendapat dua bagian. Selain itu suami istri dan anak-anak baik laki atau perempuan juga disebut punya hak yang sama untuk menjamin harta bersama yang didapat selama perkawinan. Sementara anak yang ninggal kedaton penuh atau menikah lalu pindah agama, atas persetujuan orang tuanya bisa diberikan bekal.
Demikian juga jika dalam kasus perceraian, disepakati pihak laki atau perempuan dapat kembali ke rumah remajanya dengan hak dan kewajiban yang sama. Keduanya berhak atas pembagian harta bersama dengan prinsip bagi rata. Anak bisa diasuh pihak ibu tanpa memutuskan ubungan hukum dan kekeluargaan dari pihak ayah.
“Aturan ini lebih baik dibanding aturan pewariasan lain seperti Paswara 1900 pada zaman colonial dan awig-awig desa pekraman lainnya yang tak mengatur secara jelas hal ini,” kata Windia.
Gede Indria, Ketua Panitia seminar mengatakan penetapan hak waris perempuan Bali dalam hukum formal dan awig-awig sangat mendesak karena kasus perceraian masih mendominasi. “Kasus perceraian banyak disidang tapi perempuan Bali sulit mendapat hak waris karena belum ada yang mengadvokasi keputusan majelis desa pekraman itu di pengadilan,” kata pengacara yang baru saja memenangkan kasus soal status pernikahan Pada Gelahang pada sepasang suami istri di Denpasar ini.
Pada Gelahang memungkinkan kedua pihak punya hak dan kewajiban yang sama di keluarga laki dan perempuan.
Hal ini juga didukung Hakim Tinggi Makassar Ida Bagus Putu Madeg. Menurutnya haki-hakim banyak tak punya pengetahuan soal hukum adat, sehingga putusan pengadilan kerap tak memperhatikan soal keadilan bagi perempuan di Bali.
Ia mencontohkan dari hampir 600 kasus gugatan pidata di Pengadilan Negeri Denpasar, sekitar 240 kasus per tahunnya adalah tentang perceraian. “Penting ada advokasi hukum formal putusan adat karena yurisprudensi yang ada saat ini adalah perkawinan biasa yang lebih patriarkhi,” katanya.
Ketut Wiana, pengurus Parusadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat juga mendukung konsep memuliakan perempuan dalam hukum waris ini karena sejumlah filosofi pandangan Hindu yang menghormati kedudukan perempuan. “Perempuan tak dihormati dewa-dewa murka dan yadnya pun gagal,” katanya mengutip isi kitab Manawa Dharmasastra.
“Adat Bali masih kuat menjalankan budaya patriarkhi. Sementara menempatan perempuan pada kedudukan yang tak sesuai dengan perbuatannya maka perjalanan hidup tak sesuai dengan dharma,” tambah Wiana. Ia tak perlu merekonstruksi kembali isi-isi sloka tapi hanya menggali ayat-ayat penghormatan Hindu pada perempuan yang banyak tersebar di sejulah kitab suci.
ini isu yang berkembang akibat kesetaraan gender yang dibawa dari luar bali. sayang sekali saya tidak ikut seminarnya, tetapi ini perubahan yang sangat fundamental jika memang kelanjutannya dapat merubah hukum waris bali… pesan saya : jika wanita ingin mendapat harta warisan, maka ia harus tetap mesanggah, medadia, medesa, dan melakukan hutang pitra yadnya kepada leluhurnya… bisakah dan siapkah wanita untuk itu?? jika tidak siap dan akhirnya gagal… mari kita sama-sama bertanggungjawab atas apa yang akan terjadi (jika hasilnya negatif)
saya sangat setuju dan salut pada tetua2 bali yang peduli dg perempuan (khususnya permpuan bali) sampai2 mereka (baik laki/perempuan) mau angkat bicara mengenai hak2 perempuan bali, mungkin tetua2 tsb (bu Suryani, Pak Windia, P Wiana) sadar betul bagaimana MENGHARGAI perempuan.
menurut saya kesetaraan gender yg mereka wacanakan bukan diadopsi dari luar bali, karena di bali-pun dari jaman dahulu “perempuan” mendapat posisi yg sama dg laki2.
masalah hak waris (menurut cerita dulu) jaman raja2, seorang raja tdk tanggung2 memberikan warisan berupa kerajaaan kepada “PUTRINYA” jadi kalaupun permasalahan hak waris perempuan diangakt ke permukaan skrng ini, itu bukan hal yg menghancurkan hukum2 warisan yg sdh ada karena yg namanya warisan, kan bukan hanya sawah, ladang, harta benda, tetapi spt yg anda sampaikan sanggah, meyadnya, mengurus orang tua, menyama braya, dll itu juga warisan sosial….. jadi klo anda menyadari hal tersebut, dukungannya gak boleh setengah2 atau memberikan argumen seolah-olah memberikan aturan2 kepada perempuan. Lalu.. bagaimana dg laki2 yg tdk mau melaksanakan spt yg anda sampaikan (kewajiban2nya) apa mereka layak mndapat warisan???? karena mereka laki-laki????
saya juga setuju dengan pendapat mbak astrid dan bapak Prof.Dr Wayan P.Windia yang ternyata begitu besar dukungan dan perhatiannya thd hak-hak perempuan bali.Selama ini perempuan bali mempunyai kewajiban dan tg jawab yg besar dalam menjalankan adat istiadat,wanita bali adalah seorang pekerja keras apalagi bila ia tlh menikah.bahkan wanita bali seolah olah terlihat lebih giat,cerdas &aktif jika dibandingkan kaum prianya.Sudah sepantasnya hak perempuan bali diperjuangkan.Apalagi di dlm Agama Hindu yang jelas-jelas begitu menghargai perempuan sesuai dgn kewajibannya.Saya yakin suatu saat nanti,tentu hal ini akan terealisasi.karena wanita bali kini sdh lebih cerdas dan tahu akan hak-haknya.
mantap, suatu keputusan yang bijaksana !, sudah selayaknya wanita bali mendapat penghargaan !
Bagi sy,boleh2 aja soal kesamaan hak dlm hal warisan antara perempuan dgn laki2..tp yang trpenting bagi sy initinya adalh,bagi mereka yang meninggalkan agama atau pindah agama entah dia laki2 ataupun prempuan selayaknya tidak mnddapatkan warisan.,,jgn mnuntut gak ktika mnjalankan kwajiban sbg sentana aja dilalaikan..kita hrs berani tegas…contoh kecil apabila dia pindah agama otomatis dia tdk akan lg mlaksanankan kwajibannya utk mlaksanakan upc pitra yadnya utk roh leluhurnya,,,