“Say no to child labor/that’s what people say/brothers and sisters, look around you/ giant corporations act as people/occupy the world, they’re so smooth/ amuse your brains and your hearts/ drowning in the ocean of ignorance/losing power to see reality/child Labor/born from injustice/ child labor/killing our future/lets stand up, regardless of who you are/act together/liberate our children/for freedom, justice and posterity.”
Itulah lirik yang dinyanyikan Gunawarma “Kupit” berjudul Child Labor dalam album “Viva Fair Trade”. Album ini diproduksi Mitra Bali Fair Trade dan band Nosstress. Ada lima lagu dalam mini album yang dirilis memperingati hari World Fair Trade Day 2015 di Bali.
Bisa membayangkan bagaimana lirik verbal itu dinyanyikan Kupit? Silakan memburu CD anyar ini di Taman Baca Kesiman Jalan Sedap Malam, Denpasar.
Lagu lainnya berjudul Social Solidarity, Reformation, dan Viva Fair Trade. Walau dalam balutan kampanye fair trade, lagu-lagu itu tentang kondisi sosial dan ekonomi keseharian warga. Khususnya di Bali.
Ketut Agung Alit, pendiri Mitra Bali, menulis semua lirik lagu ini. Misalnya lagu Social Solidarity tentang solidaritas sosial yang makin menipis di Bali. “Banyak yang terlalu capek mengurus upacara sampai lupa memikirkan sekitarnya,” ujar pria tengah baya ini.
Reformation tentang suara kesetaraan perempuan dan laki-laki. “Perempuan tak menikah salah, setelah tua dibilang bisa ngeleak agar tak dapat warisan. Melahirkan anak, mengurus ternak, suami kalah tajen dimarah. Serba salah jadi perempuan,” katanya mencontohkan tantangan sejumlah perempuan di Bali.
Kesetaraan ini menjadi salah satu prinsip dari 10 nilai fair trade yang harus dijalankan. Salah satu tagline yang dikumandangkan gerakan fair trade, strong women strong nation.
Perhatian pada perempuan juga nampak di video dokumenter para pengerajin yang dibuat Mitra Bali. Ada Sugiani, pengerajin perak. Mengikuti implementasi fair trade membuatnya harus peduli pada sanitasi tempat kerja dan belajar keuangan. Tiap pengerajin didorong mengerti bagaimana produknya dijual.
“Saya mendapat bantuan peralatan kerja, toilet. Kemampuan kami diangkat dan terus dipromosikan. Kami dituntut 10 prinsip fairtrade dan mencoba mengembangkan,” kata Sugiani yang bekerja bersama suaminya, Slamet.
Selamet yang awalnya spesialisasi pengerajin kayu kini fokus bantu istrinya di produksi perak. “Dulu keadaan saya morat marit. Punya banyak utang, tak bisa memperbaiki rumah. Upah tak layak. Dituntut bekerja lebih professional, disaranan buat pembukuan,” katanya.
Kerajinan handmade berbasis kayu dan silver memang menjadi perhatian karena mendorong usaha pengerajin kecil dan menengah. Mereka bisa berproduksi dari rumah.
Nosstress, band trio akustik dari Bali ini mengaransemen lirik menjadi lebih lirih. Seperti berkisah, menembang. Mengubah lirik keras dan verbal a ala Gung Alit ini menjadi lemuh (lembut) merasuk ke sanubari. Memperkenalkan isu fair trade lebih dekat dengan gaya santai tapi bernas dari ketiga anak muda ini.
Mudah ditebak siapa yang mengaransemen jika sudah pernah menyimak dua album Nosstress.
Nyoman Angga, gitar dan vokal mengatakan proses membuat lagu ini dijalani dengan bahagia. “Kami membagi lirik ke semua personil, mereka bebas mengaransemen, lalu diperlihatkan hasilnya dan diperbaiki bersama,” jelasnya.
Mereka mengaku senang terlibat karena bisnis musik juga memerlukan konsep fair trade. Misalnya proses kreatif, upah yang layak, mengoptimalkan talent lokal, isu lokal, dan lainnya.
Agung Alit menjelaskan fair trade tak memakai patokan upah minimum regional (UMR), namun standar living wedges. Satu produk menggunakan aturan gaji layak. Misalnya satu keluarga dihitung 4 orang, dihitung kebutuhan kalori per hari berapa seperti beli beras. Lalu diricek dengan produktivitas.
“Bayar sesuai living wedges tak bisa jadi pekerja malas. Kerena itu harganya sekitar 15-20% lebih mahal harga pasar,” jelasnya.
Di Indonesia, menurut Federasi Fair Trade Indonesia baru 7 usaha yang tersertifikasi dan terdaftar secara global di World Fair Trade Organization (WFTO). Di Bali hanya ada dua, Mitra Bali dan Arumdalu Mekar. Keduanya bergerak di bidang kerajinan.
Untuk konteks Bali, menurut Agung Alit gerakan dan prinsip ini sangat penting untuk mencegah eksploitasi free trade. Misalnya ada control pada bahan baku yang dipakai apakah dari kayu legal, ramah lingkungan, memastikan kesejahteraan pekerja, perlindungan anak sebagai buruh, kesetaraan perempuan, dan lainnya. [b]