Membahas Bali biasanya semua orang fokus kepada pariwisata, pantai dan perempuan-perempuan cantiknya. Bingung saya, kenapa setiap bertemu mereka yang ingin ke Bali atau baru saja mendarat di Bali, mereka selalu membahas dua hal itu saja.
Tak tahu mereka. Bali sering mondar-mandir di televisi dengan sajian budaya, alam raya yang penuh barisan teras-teras sawah dan upacara-upacara adat yang banyak mengandung makna bagi kehidupan. Salah satu upacara yang sebentar lagi akan dilaksanakan adalah Nyepi yang diawali dengan Melasti.
Upacara ini selalu saya nantikan setiap tahun. Kalau ditanya kenapa, saya akan menjawab tidak tahu. Entahlah. Suka aja. Hah?
Agar tidak fatal maka sebelum saya lanjut bercerita, saya lampirkan sebaris makna dan tujuan dari Melasti. Saya temukan ini di Wikipedia berbahasa Indonesia dan beberapa situs budaya.
Melasti : Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau. Karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Makna lain dari Melasti: Ritual membersihkan “pratima” dan benda yang disakralkan ke laut. Kegiatan ini diwariskan secara turun temurun di agama Hindu. Umat yang melakukan prosesi melasti tersebut membawa sesaji dan peralatan suci (arca atau pratima), sembari diiringi dengan musik gamelan bleganjur atau alunan musik tradisional khas umat Hindu.
Prosesi melasti di Agama Hindu adalah kegiatan menyucikan pratima menjelang hari raya Nyepi sebagai pergantian tahun saka. Dalam prosesi melasti tersebut, dilangsungkan doa bersama di pinggir pantai. Di depan umat Hindu yang berdoa, berjejer aneka ragam sesaji yang ada di jepana.
Di dalam jepana itu ada telur, aneka ragam buah-buahan untuk dilarung ke laut, secara bersama-sama. Sesaji dilarung ke laut itu sebagai bentuk tolak bala dan syukur agar dunia ini semakin lestari.
Diarak ke pantai atau danau dengah berjalan kaki, bukan konvoi dan sejenisnya yang sering dilakukan orang-orang bermotor besar atau anak-ank racing gagal move on.
Dahulu sekali, saat kepekaan saya belum bekerja dengan baik, saya sering kepikiran ketika Nyepi hampir tiba. Gelap, tak ada cahaya. Persediaan makanan harus banyak sebab tak ada satu pun manusia beraktivitas termasuk ibu-ibu pemilik warung di sekitar lingkungan kos-kosan. Paranoid gila-gilaan lah, seolah-olah Nyepi akan berlangsung satu minggu.
Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2012. Saya sudah hidup di Denpasar selama tujuh tahun. Malam itu dengan tenaga dan pikiran yang masih tersisa kurang lebih 30 persen untuk melanjutkan perjalanan ke Gereja sebab ada latihan tablo (Drama Kisah Sengsara Yesus) untuk Paskah. Lesu saya menantikan angkutan umum di tempat ngetem-nya yang biasa. Saya memang tidak bisa berkendara, roda dua maupun empat.
Namun, hampir tiga puluh menit saya menanti, tidak ada satupun angkot yang parkir di situ. Sementara hujan perlahan turun. Tiba-tiba dari arah kanan jalan yaitu dari arah pantai pelabuhan nelayan Benoa, muncul rombongan orang-orang berpakaian putih-putih.
Para wanita berkebaya putih dan ber-kamben putih mengusung gebogan dan alat-alat persembahyangan sementara para lelaki pun sama dengan udeng dan kemeja putih juga kamben berwarna senada. Beberapa lelaki berjalan cepat sembari memegang payung yang menangkup arca dan pratima.
Kondisi saat itu, rintik hujan mulai bervolume besar, mungkin apabila diumpamakan dengan kecepatan speedometer mencapai 40 KM/Jam. Akan tetapi, dengan jarak tempuh sejauh itu menuju Pura Utama sebagai tujuan terakhir dari perjalanan, sambil memikul gebogan, alat persembahyangan dan lain-lain, sembari menghaturkan pujian atau yang lebih dikenal me-kidung, juga memikul alat musik berat seperti Gong beserta perangkatnya, rombongan ini tetap bersemangat dan antusias.
Tak tampak lelah sama sekali. Satu kalimat yang terlintas di pikiran saya saat itu, “Kalau saya dilahirkan menjadi orang Bali, apakah saya mampu untuk melakukan ini?”
Daripada menunggu lama angkot yang tidak muncul juga, saya memutuskan berjalan beriringan dengan rombongan ini. Tepat di samping para kaum lelaki yang memainkan gamelan bleganjur ditingkahi kidung. Suasana saat itu begitu syahdu-mistis meskipun semua berlangsung di jalanan yang cukup ramai, perempatan ke arah Pelabuhan Benoa.
Saya kemudian teringat Prosesi Semana Santa di Larantuka, Flores yang pernah saya ikuti baru sekali dalam seumur hidup saya. Yang sering juga terjadi pada bulansama ketika Hari Raya Nyepi diperingati. Sudah lumrah terjadi bahwa Hari Raya Paskah selalu terjadi tepat beberapa minggu setelah Nyepi berlangsung.
Tidak banyak yang menyadari ini, semua di dunia ini memiliki citra dan maknanya masing-masing. Alangkah baiknya jika kita mampu menikmati semua keberagaman ini.
Pada tahun 2016, kali ini Nyepi jatuh tepat pada 9 Maret, di mana pada hari yang sama Gerhana Matahari yang hanya terjadi 350 tahun sekali akan melintasi 11 provinsi di Indonesia. Tidak termasuk Bali.
Namun, apakah lagi-lagi kita akan menyikapi ini sebagai sebuah kebetulan saja? Para Pendahulu pasti tidak serampangan menetapkan tanggal untuk sebuah perayaan spiritual seperti Nyepi. Hari khusus memulai tahun baru dengan melakukan “Catur Brata” Penyepian: amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu dapat melaksanakan tapa, brata, yoga dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari ketiadaan,suci dan bersih.
Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.
Kadang banyak hal yang sulit dipahami tapi cukup dinikmati saja. Begitulah yang saya rasakan saat saya menyaksikan KEHIDUPAN DI BALI. Banyak hal yang menimbulkan pertanyaan dan pernyataan baru. Menariknya saya tidak mau terburu-buru mencari tahu karena sepertinya semua punya kesempatannya sendiri untuk menjadi hal terdepan di pikiran saya.
Untuk dipikirkan, diperdalam kemudian disimpan dengan baik sebagai HARTA yang mesti dibagikan kepada penerus-penerus hidup ini di kemudian hari.
Bagi teman-teman saya yang sebentar lagi akan melaksanakan Ibadah Nyepi beserta rangkaiannya, saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadahnya. Semoga seluruh semesta diberkati dan berbahagia. [b]