Saya terpaksa terjun di kakao sejak tahun 2016.
Itupun secara profesional dan dalam waktu singkat. Waktu itu, kebetulan saya terlibat dalam penelitian energi baru terbarukan, tentang biogas. Proyek ini multidisiplin dan lintas geografis antarbenua. Donornya European Union (EU) Horizon 2020 dalam sebuah konsorsium bernama Green Growth and Win-win Strategies for Sustainability and Climate Action (GreenWIN).
Namanya juga proyek penelitian, kegiatannya selalu dipenuhi eksperimen. Salah satunya mengenai integrasi pertanian berkelanjutan dengan menambahkan satu nilai berupa adopsi fungsi bioenergi dalam tingkat rumah tangga kelompok tani. Berdasarkan hasil uji kompetensi dan studi kelayakan, sampailah saya pada suatu eksperimen menggunakan limbah perkebunan kakao sebagai bahan baku biogas.
Saya ingat sekali. Saat itu pertama kali saya ke Jembrana, berjarak sekitar 100 km dari Denpasar, bersama empat orang dalam satu tim. Ada Marco, insinyur asal Italia; Cyprien yang juga insinyur dari Prancis; dan Arti, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang saat itu baru lulus master di Wageningen, Belanda. Orang-orang pintar semua mereka itu.
Saya sendiri mendapat peran penting dalam tim ini, menyetir mobil selama perjalanan dari basecamp kami di Canggu, hingga sampai di Desa Nusasari, Melaya, Jembrana. Tak lupa juga, yang dipakai pada saat itu adalah mobil pribadi saya. Penting sekali bukan, peran saya? 🙂
Kami berangkat setelah mendapat mandat yang sudah disetujui Direktur Yayasan Kalimajari, pendamping program Kakao Lestari di Jembrana, I Gusti Agung Ayu Widiastuti. Beliau bilang, integrasi ini akan cocok sekali dengan misi yang ingin dicapai petani kakao di Jembrana. Memperkuat ketangguhan petani melalui potensi yang dimiliki dan mendapatkan satu substansi praktik pertanian ramah lingkungan.
Harapannya, petani memperoleh nilai ekonomis lebih tinggi untuk produk biji kakao mereka karena telah menerapkan suatu hal yang meningkatkan rantai nilai.
Kami berangkat membawa peralatan instalasi biogas. Mobil saya yang kecil, diupayakan untuk “mampu” menampung semua properti yang dibutuhkan.
Kami saja sudah berempat, bagian bagasi belakang penuh dengan peralatan pertukangan. Bahan baku biodigester berupa PVC berukuran 2 meter sudah terikat di atap mobil. Ditambah dua buah pipa sepanjang satu meter dengan diameter sebesar 30 cm harus. Ujung-ujungnya kami letakkan di antara tempat duduk masing-masing penumpang. Posisinya melintang dari belakang hingga depan mobil.
Jadilah kami duduk bersebelah-sebelahan, tetapi tidak dapat saling memandang, karena terhalang oleh besarnya pipa itu. Begitulah keadaannya sepanjang tiga jam perjalanan.
Menarik sekali menceritakan pengalaman tak terlupakan. Tapi bukan itu inti cerita ini. Di atas hanyalah prolog tentang bagaimana saya pertama kali berurusan dengan petani kakao. Sebatas profesional dan ikatan kerja, tak sedikit pun terbesit akan ada ikatan emosional setelahnya.
Namun, hari ini saya merasa beda.
Begitu Saja Terjadi
Semenjak saat proyek itu, saya meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan sekolah. Belajar di negeri nun jauh di Eropa bagian Utara sana. Fokus materi pilihan saya adalah pembangunan berkelanjutan. Saya memilih sains karena percaya, pendekatan itulah yang akan mengubah negeri kaya raya ini, menjadi lebih adil dan bijaksana dalam mengelola hasil alamnya.
Setidaknya, itulah yang ada di pikiran saya sebagai manusia yang cukup tahu. Bahwa alam ini tidak dapat menyediakan semua yang kita inginkan dalam tingkat keserakahan.
Kemudian saya pulang.
Entah apa lagi yang membuat saya kembali ke kakao, di Jembrana. Alurnya begitu saja terjadi. Jika saya ceritakan di sini, akan panjang sekali.
Namun, begitulah. Aktivitas saya di Yayasan Kalimajari yang semula hanya untuk memenuhi kredit akademik sebagai standar kelulusan pascasarjana, menjadi lebih kompleks karena sekarang saya terlibat langsung dalam proyek bertajuk Sustainability action and advocacy in Kakao (SUBAK). Proyek ini didanai langsung oleh UTZ, lembaga sertifikasi yang mempunyai basis kerja di Belanda.
Semenjak saat itu hingga tahun 2018 ini, saya menjadi sering sekali ke Jembrana. Menjadi lebih banyak berinteraksi dengan para petani kakao. Baik petani ahli, petani generik, petani muda, petani wanita, hingga petani pemula yang baru mau menjadi petani saking tertariknya dengan visi dan misi program Kakao Lestari di Jembrana ini.
Namun, perjalanan ini menjadi lebih menarik. Terlebih ketika saya terlibat dalam pelatihan membuat The Most Significant Changes (MSC) atau perubahan paling penting. Ini adalah suatu metode pendekatan terkait monitoring dan evaluasi program. Pesertanya kawan-kawan petani yang diberi pelatihan untuk menceritakan perubahan signifikan dalam kehidupannya sebelum dan selama berlangsungnya program Kakao Lestari hingga saat ini.
Pelatihan yang diberikan berupa metode penulisan cerita singkat, dilengkapi beberapa cara pelaporan secara visual melalui gambar-gambar kegiatan dengan topik fermentasi, organisasi, administrasi, budi daya dan pemasaran.
Kegiatan berlangsung menarik, hingga tiba saatnya peer review pada Kamis, 23 Agustus 2018 lalu. Partisipan diminta mengevaluasi tulisan peserta lain secara berpasang-pasangan. Salah satu pasangan selesai sebelum batas waktu yang diberikan. Kami pun memiliki waktu lebih untuk bercerita secara personal kesana kemari. Topiknya tidak jauh-jauh dari perkakaoan.
“Sepuluh tahun yang lalu, kakao menjawab doa saya,” ujarnya.
Jawaban singkat yang menarik untuk melahirkan beberapa pertanyaan lanjutan. Padahal, saya cuma membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan sederhana. “Adi jeg bise kadung tresne jak kakao, Pak?” (Kok bisa jadi telanjur cinta dengan kakao, Pak?)
Konflik Keluarga
Jawaban singkat I Gede Eka Aryasa, petani kakao dari Desa Penyaringan, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, itulah yang menjadi sumber inspirasi tulisan ini.
Bapak berusia 38 tahun, yang biasa dipanggil Guru Eka ini, memulai ceritanya bahwa ia sudah senang berkebun sedari kecil. Lebih tepatnya sejak umur sekitar dua tahun. Dia tak begitu ingat. Sejak itu, ia kerap membantu ayahnya bekerja di kebun, setiap hari, setiap saat, kapan pun setiap ada waktu.
Bagi dia dan keluarganya, menjadi petani adalah mata pencaharian turun temurun. Ibarat sebuah dinasti. Kebun yang dimiliki ayahnya cukup luas, berisi beragam macam tanaman buah-buahan dan hasil alam lainnya. Kebanggaan sebagai petani pada saat itu, luar biasa dianutnya.
Namun, beberapa tahun lalu terjadi konflik keluarga yang membuatnya dibenci dan membenci ayah kandungnya sendiri. Orang yang justru pertama kali memperkenalkannya pada kakao.
Ayahnya yang dulu mempunyai kebiasaan berjudi. Tabiat kurang baik ini membawa dampak ke kehidupan keluarga kecilnya. Ayahnya kerap pulang ke rumah dalam keadaan marah dan merusak perabot di sekitarnya. Tak ayal lagi, orang tuanya pun bercerai.
Kemudian ayahnya menikah lagi. Bakal ibu tiri Guru Eka adalah wanita muda sepantaran dirinya. Situasi ini membuatnya berjanji pada diri sendiri. “Sedetik pun, saya tidak akan pernah berjudi. Apapun jenis permainan judinya. Tidak akan pernah,” ujarnya.
Perpisahan orang tua membuatnya memilih untuk tinggal bersama ibu kandungnya. Keputusan yang membuat sang ayah makin membencinya. “Mungkin sampai sekarang bapak masih benci sama saya,” dia menambahkan dengan lirih.
Semenjak tinggal bersama ibunya, ia membantu sang ibu berjualan ke pasar di Denpasar. Membawa hasil bumi dari kebun orang-orang di sekitar kampungnya.
Iya benar, hasil bumi yang dijual berasal dari kebun orang lain, bukan kebunnya sendiri. Hal itu karena semenjak ayahnya menikah lagi, ia tidak pernah kembali ke kebunnya. Hubungan yang rumit dengan ayahnya membuat Guru Eka menganggap bahwa ia tak pernah memiliki kebun.
“Bukan kebun saya. Kebun bapak itu. Sing juari,” katanya.
Ia juga menyebutkan, terakhir kali ke kebun adalah ketika melihat ayahnya sedang bertengkar dengan ibunya. Di saat sama, ia melihat bibit tanaman kakao yang katanya bibit unggul turun temurun, Lindak namanya. Masih jelas di ingatannya, andai saja ayah dan ibunya tak bertengkar, hari itu sang ayah berencana mengajaknya untuk menanam bibit tersebut di kebunnya.
Setiap hari ke pasar, ia banyak bercakap dengan sang ibu, sehingga ia semakin akrab dengan ibunya. Ibunya seringkali mengatakan bahwa ia berhak atas sebagian kebun yang dimiliki ayahnya, karena ia merupakan anak laki-laki. Di Bali, anak laki-laki memiliki hak prerogatif atas materi yang menjadi barang bukti harta gono gini.
Tak Ingin Ribut
Guru Eka tidak meragukan bahwa ia sangat menyayangi ibunya, tapi obrolan mengenai ambil alih kebun ini membuatnya jengah. Ia hanya berpikiran bahwa ayahnya masih hidup, dan ia tidak ingin meributkan permasalahan mengenai warisan atau sebagainya. Baginya dibenci oleh ayahnya sendiri saja sudah cukup menyakitkan. Tak usahlah lagi membawa masalah duniawi untuk memperuncing keadaan.
Namun, sang ibu berdalih bahwa ini adalah wujud tanggung jawab sang ayah, dan ia sebagai anak laki-laki harus memperjuangkannya.
“SRAKKKK!”
Guru Eka menirukan bunyi ketika ia memukul buah-buahan dan semua hasil bumi di belakang mobil pikapnya. Refleks karena kesal dengan ibu yang terus menerus memaksanya untuk mengambil alih kebun ayahnya. Ia pun bertengkar dengan ibunya di pasar, di depan para pelanggan mereka. Ia bosan, jengah dan juga marah.
Semenjak pertengkarannya itu, ia memutuskan pindah ke Denpasar. Merantau seorang diri dan menjadi anak kos agar tidak lagi bersama ibunya. Ia rela bekerja apapun yang ia bisa kerjakan asalkan halal untuk bisa bertahan hidup.
Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama, ibunya menyusul ke tempat tinggalnya. Rupanya sang ibu merindukan dirinya, dan memintanya untuk kembali pulang dan tinggal bersamanya. Sekali lagi, kasih sayang terhadap ibu dan mengingat pengorbanan ibunya selama ini, ia pun luluh. Pulanglah ia untuk kembali berjuang bersama sang ibu.
Tak dinyana, ternyata ayahnya mengetahui perihal permasalahannya dengan sang ibu. Di saat yang sama, sang ayah beserta keluarga barunya berniat mengikuti program transmigrasi ke Sulawesi.
Ayahnya menawarkan rumahnya untuk ia tinggali. “Nyak sing nongos di jumah ne? Men ye sing nyak, kal juang ke nyen gen kal meli.” Begitu ia menirukan penawaran ayahnya saat itu. Artinya, kurang lebih sang ayah menawarkan dirinya untuk tinggal di rumah dulu. Jika ia tidak berkenan, maka rumah itu akan dijual saja ke siapapun yang ingin membeli.
Guru Eka sempat menimbang-nimbang, tetapi akhirnya ia memutuskan menerima tawaran itu. Pertimbangannya adalah lagi-lagi sang ibu. Ia tidak ingin menjadi beban bagi sang ibu, terutama ketika ia ingin memulai hidup baru dengan menikahi si bibik, istrinya hingga saat ini.
Jadilah ia tinggal di rumah ayahnya dengan keluarga kecilnya. Semenjak ayahnya hijrah ke Sulawesi, ia tahu bahwa kebun milik sang ayah di sewakan ke orang lain. Tapi ia memilih tidak pernah membahas hal tersebut. “Malu,” ujarnya.
Beberapa sanak keluarga yang kerap mengunjunginya selalu berbicara hal sama dengan sang ibu, bahwa kebun itu miliknya juga. Bahkan ada kerabatnya yang mulai membanding-bandingkan tingkat ekonominya dengan kerabat lain. Andai saja ia memiliki kebun itu, tentu ia bisa hidup lebih baik untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari beserta anak dan istri. Tapi ia tetap bersikukuh.
“Biarlah,” katanya.
Jual Cincin Kawin
Singkat cerita, masa sewa kebun milik ayahnya berakhir. Kemudian ia mendengar dari salah satu pamannya, bahwa sang ayah akan menjual kebun tersebut. Pamannya menanyakan apakah ia mempunyai tabungan untuk membeli, karena pamannya yakin bahwa kebun itu adalah sesuatu yang harus dimilikinya. Umpamanya, kebun itu adalah jodohnya.
Namun, sayang sekali, ia tidak memiliki tabungan. Gaya hidup sederhana yang terpaksa ia jalani bersama istrinya sudah cukup menyusahkan. Bagaimana mungkin ia membeli kebun? Namun, rupanya tekad sang paman sangat kuat. Guru Ekapun mulai merasakan bahwa kebun tersebut juga menginginkan ia sebagai pemilik berikutnya.
Jadilah Guru Eka menjual satu-satunya harta yang ia miliki, cincin perkawinannya. Uang hasil penjualan cincin, ditambah sedikit pinjaman dari tetangga ia gunakan sebagai uang muka. Sisanya ia berjanji untuk mencicil dengan berbagai cara.
Sebenarnya agak aneh. Guru Eka memilih membeli kebun ayahnya sendiri, yang sebenarnya bisa ia dapatkan dengan gratis kalau saja ia mau mengurus tetek bengeknya. Namun, ia yakin, inilah jalan terbaik. Kebun seluas 5 hektar itu sangat produktif. Setengah lahannya ditanami kakao, setengahnya lagi banyak tanaman hasil bumi lainnya seperti manggis, mangga, pisang, pala, cengkeh, kopi, vanili juga jati.
Dua bulan pertama semenjak resmi memiliki kebun tersebut, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya membayar orang untuk mengurus kebun, karena ia sendiri sudah hampir lupa caranya berkebun. “Jeg bes sai medagang, kanti engsap tiang berkebun,” ujarnya lantas tertawa.
Dia bilang terlalu sering berdagang, sampai lupa saya berkebun.
Selama dua bulan ia memperhatikan cara orang-orang tersebut merawat dan mengurus kebun. Proses menanam hingga memanen. Juga bagaimana memperkirakan tingkat produktivitas dari setiap jenis tanaman di kebun ia perhatikan dengan sangat baik. Ia ingat sekali, zaman itu kebun kakaonya mampu menghasilkan 500 kilogram biji kakao kering yang dipanen setiap 15 hari sekali.
Bahagia sekali ia dapat kembali menjadi petani.
Merosot Tajam
Selama beberapa tahun, kakao menjadi sumber utama pemasukan ekonominya. Namun, di tahun 2000an, terjadi serangan penyakit. Hampir semua tanaman kakao di kebunnya menjadi gundul dan mati akibat vascular streak dieback (VSD). Kondisi ini menyebabkan hasil panennya merosot tajam menjadi hanya 70 kilogram setiap masa panen.
Ia menjadi sedih, terpuruk dan bahkan merasa gagal. Sumber penghidupan yang ia andalkan untuk memperbaiki kualitas hidup keluarganya kini menghilang. Ia marah kepada semua pohon-pohon kakao yang dimilikinya. Ia mulai menendangi, memukuli dan memaki. Murni ia lakukan untuk meluapkan kekesalannya.
Pada suatu hari di tahun 2006, ia memutuskan untuk menebang saja semua pohon kakao yang ia miliki. Tujuannya untuk mengganti dengan bibit tanaman lain seperti jati, setidaknya itu lebih aman untuk investasi, pikirnya waktu itu. Ia pun pergi untuk membeli sebanyak 2.000 bibit jati yang rencananya akan ia tanam sesegera mungkin.
Sekembalinya mencari bibit jati, ia mampir ke kebun untuk melihat-lihat. “Mungkin untuk terakhir kali sebelum semua pohon kakao saya tebang esok hari,” begitu ujarnya menirukan pikirannya waktu itu.
Ketika berjalan-jalan, barulah ia melihat ada empat pohon kakao yang tetap berbuah meskipun pohon kakao lain meranggas hampir mati. Ia menjadi bingung, tetapi di saat bersamaan ia merasa mempunyai harapan untuk tetap mempertahankan kebun kakao miliknya. Terlebih ketika ia juga menyadari, keempat pohon itu adalah pohon dengan jenis klon Lindak yang ditanam ayahnya secara turun temurun. Jenis klon sama dengan bibit yang ia lihat dulu sewaktu terakhir kali ke kebun bersama ayahnya.
Ia pun berlari, mencari sang istri untuk menceritakan apa yang terjadi. Di saat itu dia melihat pelinggih (tempat menghaturkan sesaji Tuhan bagi umat Hindu) di tengah kebun.
Tanpa pikir panjang, ia segera bersimpuh. Mengambil sejumput bunga yang di situ. Kemudian mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, menutup mata dan berdoa kepada Tuhan yang ia percayai. Terucap di bibirnya waktu itu, “Ida Sang Hyang Widi Wasa, tunjukkan jalan. Jika kakao adalah hidup saya, tunjukkan jalannya. Tunjukkan jalan. Sekali lagi, tunjukkan jalan.”
Manfaat Lebih Tinggi
Guru Eka bertahan dengan kebun kakaonya. Sedikit demi sedikit ia berhasil memulihkan pohon kakao yang terserang penyakit. Hal yang ia lakukan adalah belajar, belajar, dan belajar. Ia mencari ilmu dari mana saja, melalui kawan petani yang lebih dahulu berhasil, melalui pelatihan-pelatihan yang didapatkan dari penyuluh, termasuk juga melalui Internet.
Jalannya memang tak mudah, bahkan tidak akan pernah mudah. Namun, ia telanjur percaya bahwa kakao akan menjadi bagian dari hidupnya, selamanya. Di tahun 2016, pertemuannya dengan Koperasi Kerta Samaya Samaniya (Koperasi KSS) dan juga Yayasan Kalimajari selaku pendamping program Kakao Lestari menjadi jawaban dari doanya sepuluh tahun lalu. Biji kakao yang selama ini diolah secara asalan, melalui pendampingan program Kakao Lestari kemudian diproses secara fermentasi.
Begitulah cara memproduksi biji kakao berkualitas, sehingga petani mendapat manfaat ekonomi lebih tinggi untuk hasil kebun kakaonya. Secara angka, biji yang awalnya terjual hanya Rp 17.000 per kg, tetapi setelah dilakukan fermentasi, biji kakao tersebut dibeli oleh koperasi KSS seharga Rp 42.000 per kg.
Ia luar biasa senang sekali.
Seringkali ia mengikuti pelatihan-pelatihan yang difasilitasi Koperasi KSS dan Kalimajari, baik dari sektor hulu di kebun hingga menyasar sektor hilir di pemasaran. Kalimajari dan Koperasi KSS tidak hanya memberikan pelatihan untuk meningkatkan kualitas biji kakao fermentasi, tapi juga mengembangkan kapasitas petani menjadi lebih berdaya guna melalui manajemen organisasi serta sertifikasi UTZ dan organik.
Tidak hanya itu, pelatihan MSC ini pun menjadi salah satu upaya meningkatkan kapasitas petani terkait jurnalisme dan fotografi. Pendampingan pelatihan dilakukan Anton Muhajir, jurnalis lepas di Bali, yang dipilih karena kredibilitas dan konsistensinya menyuarakan perubahan-perubahan di kalangan masyarakat sipil.
Tujuan pelatihan MSC ini adalah agar petani mampu menceritakan perubahan yang telah terjadi pada kehidupan mereka baik secara individu maupun kelompok. Pengalaman yang diceritakan harapannya akan mewakili suara-suara mengenai perjuangan petani di lapangan. Untuk memotivasi siapa saja yang terlibat dalam pengembangan kakao berkelanjutan di Jembrana, maupun di Indonesia secara keseluruhan.
Kegiatan ini juga dapat dijadikan sebagai pembuktian bahwa program Kakao Lestari di Jembrana selama hampir delapan tahun berproses, telah melahirkan perubahan-perubahan signifikan bagi petani kakao di Jembrana. Perubahan secara personal maupun profesional di kalangan petani terkait praktik pertanian ramah lingkungan dan pasar berkelanjutan baik di tingkat lokal hingga internasional.
Wow. Luar biasa sekali ya?
Saya bahkan tidak pernah meminta saya bisa bertemu dengan kawan-kawan petani yang selalu punya cerita. Tapi begitulah hidup mencipta. Apa saja bisa terjadi bahkan satu hal yang tidak pernah kau pikirkan. Di luar kesukaan saya terhadap cokelat, sekarang saya jadi tahu, bahwa perjuangan petani kakao di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Pastinya, itu semua tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak. Pemangku kepentingan harus bergandengan tangan, tidak memandang bulu asalkan satu napas dalam memperjuangkan hak-hak petani di lapangan.
Ah, semoga saja. [b]
Comments 1