Oleh Ni Komang Erviani
Walau masa liburan sekolah sudah berakhir sejak dua minggu lalu, Kadek Ridoi Rahayu belum sempat menyentuh bangkunya di kelas tiga SMAN 1 Gianyar. Ia baru akan menempati bangku barunya itu, pertengahan Agustus mendatang. Banyaknya aktivitas di luar sekolah, membuat Doi, panggilan akrab gadis kelahiran 29 Agustus 1990 itu, tak sempat masuk kelas. “Sebulan ini, saya harus ikut latihan paskibra setiap hari. Sudah minta dispensasi dari sekolah,” katanya.
Doi tergabung dalam pasukan pengibar bendera pada peringatan Hari Kemerdekaan RI di tingkat Kabupaten Gianyar, Bali 17 Agustus nanti. Ini bukan kali pertama Doi absen dari sekolahnya. Sejak duduk di bangku SD, aktivitas-aktivitas di luar pelajaran sekolah seringkali membuat Doi absen sekolah.
Melihat penampilannya, Doi memang tak terlihat istimewa. Pakaian sederhana dengan rambut kepangnya, memberi kesan biasa. Tapi seabrek kegiatan mulianya di luar sekolah, membuatnya jadi istimewa. Tak heran bila pada peringatan Hari Anak Nasional lalu, ia dinobatkan sebagai Pemimpin Muda Indonesia versi UNICEF dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Doi adalah satu dari tiga anak Indonesia penerima gelar istimewa itu, langsung dari Menteri Pemberdayaan Perempuan Mutia Hatta. Dua anak Indonesia lain dengan gelar itu adalah Asep Ramdani dari Bandung dan Joko Sukamto dari Boyolali, Jawa Tengah.
Gelar Pemimpin Muda Indonesia 2007, tidak diraih cuma-cuma oleh putri kedua dari pasangan guru Wayan Ubud dan Ni Made Wesnawati itu. Aktivitasnya yang luar biasa dengan komitmen pemasyarakatan hak anak, menjadi modal utama raihan gelar tersebut. Ada banyak catatan kegiatan pemasyarakatan hak anak, yang dipertimbangkan juri dalam proses seleksi.
Aktivitas luar sekolah Doi yang fokus pada pemasyarakatan hak anak, dimulai pada 2005 lalu. Ketika itu, Doi dinobatkan sebagai duta anak nasional oleh Komnas Perlindungan Anak. Ia menjadi satu dari sepuluh duta anak nasional 2005, sekaligus delegasi pertama Bali. Banyak kegiatan anak yang mulai akrab buat Doi sejak itu. Mulai dari bakti sosial, hingga berbagai sosialisasi hak anak ke sekolah-sekolah di Bali.
Lepas dari tugas wajibnya sebagai duta anak nasional, Doi tidak begitu saja pergi meninggalkan aktivitasnya dengan teman sebaya dan anak-anak lainnya. Pada 2006, Doi dipercaya memimpin Gerakan Siswa Hindu Indonesia. Hingga sekarang, dia masih sebagai Ketua organisasi pemuda keagamaan dengan skup nasional itu. Dalam kapasitas ini, Doi seringkali mengikuti kegiatan bakti sosial berupa kunjungan ke anak-anak dan siswa Hindu di luar Bali. Ada juga aktivitas bulanan yang paling disukai Doi, yakni membagi makanan dan obat gratis kepada para pekerja anak di area Pasar Badung, pasar tradisional terbesar di Bali.
Akhir 2006 lalu, embel-embel ketua kembali didapatnya dari Forum Anak Daerah Bali. Forum yang dibentuk oleh Lembaga Perlindungan Anak Daerah Bali itu, menjadi forum anak pertama di Bali yang berupaya memperjuangkan hak-hak anak itu sendiri. Sedikitnya, ada 25 anak yang aktif dalam forum tersebut.
Ada banyak kegiatan, kembali bersentuhan dengan anak-anak, yang makin memperkaya aktivitas Doi. Audiensi kepada para pejabat, jadi salah satu agenda awal. “Forum ini kan merupakan organisasi baru yang fokus pada anak. Jadi masih butuh pengakuan,” Doi beralasan tentang audiensi kepada pejabat.
Aktivitas Forum Anak Bali tak terbatas pada upaya pengakuan para pejabat. Memperingati Hari Anak Nasional Juli lalu, Doi dan rekannya di forum anak mengunjungi anak-anak di lembaga pemasyarakatan (Lapas) anak di Kabupaten Karangasem, Bali. “Di situ, intinya kami sosialisasi masalah anak,” terang perempuan yang meraih banyak prestasi di bidang pendidikan dan budaya ini.
Ada satu kesan yang hingga kini tak bisa dilupakan Doi terkait kunjungannya ke Lapas Anak. Ketika tahu kalau 18 anak di lapas anak itu tersangkut beragam kasus, seperti pembunuhan dan pencurian, Doi sempat was was. “Awalnya takut juga. Tapi cuma 5-10 menit. Sesudah itu, gabung deh semua. Ternyata mereka tidak ada bedanya dengan anak-anak biasa,” cerita Doi. Suasana lantas mencair. Anak-anak lapas dan anggota forum kemudian bermain bersama, dari lomba makan kerupuk sampai main kelereng. “Di sana, kami juga buat pohon harapan, berupa kain putih sepanjang 10 meter. Di sana, anak-anak lapas menulis harapan mereka,” terang Doi.
Aktivitas lain yang tak kalah berkesan bagi Doi, adalah ketika 19 Juli lalu, ia dan Forum Anak Bali melakukan kunjungan ke Desa Muntigunung, Karangasem Bali. Desa Muntigunung dikenal sebagai desa yang menjadi sumber gelandangan dan pengemis (gepeng) di Bali. Tak sedikit anak-anak asal Desa Muntigunung yang kini mengadu nasib sebagai pengemis di Kota Denpasar dan sekitarnya.
Di Muntigunung, Forum Anak Bali bertemu dengan sekitar 600 anak-anak. “Di sana Doi dan forum tekankan agar mereka tidak turun ke jalan,” ujarnya. Mereka juga memberi bantuan buku pelajaran, pakaian layak pakai, dan bantuan lain yang dikumpulkan secara sukarela di antara anggota forum. “Ya, seadanya aja,” jelas Doi. Yang mengharukan Doi, ketika salah seorang anak menanyakan aktivitasnya sebagai duta anak. “Ada anak yang nanya, kak, gimana caranya agar bisa aktif jadi duta anak? Itu mengharukan sekali,” tambahnya.
Di desa kecil itu pula, Doi mendapat kesan mendalam ketika bertemu dengan salah seorang aktivis anak yang sempat menghadiri Kongres Anak Nasional. Sang teman yang bernama Wayan Sutriani itu, adalah bekas gepeng yang kemudian memutuskan untuk mengenyam pendidikan. “Dia juga motivator untuk anak-anak di Muntigunung,” cerita Doi. Sayang, beberapa hari setelah pertemuan itu, Sutriani dikabarkan meninggal karena kecelakaan. “Saya benar-benar kaget. Tapi saya kagum dengan prestasinya memotivasi anak-anak Muntigunung untuk sekolah,” kenang Doi.
Beragam prestasi di bidang pelestarian budaya, juga telah dikantongi Doi, bahkan sejak duduk di bangku SD. Ketika SD, Doi meraih juara lomba membaca cepat tingkat provinsi. Ketika SMP, ia meraih juara lomba pidato berbahasa Bali. Di sekolahnya, SMP 1 Sukawati Gianyar, ia memimpin sejumlah ekstrakurikuler. Mulai dari Ketua Karya Ilmiah Remaja (KIR), Ketua Palang Merah Remaja (PMR), hingga Ketua OSIS. Di SMA, prestasinya tak surut. Setidaknya, ia telah meraih juara 1 Lomba Utsawa Dharma Gita (mimbar agama Hindu) pada Pesta Kesenian Bali 2006, juara 2 lomba cerpen pada Pesta Kesenian Bali 2007, juara 3 lomba baca puisi Bali modern pada Pesta Kesenian Bali.
Tak puas dengan itu, ia pun masih memegang posisi ketua untuk sejumlah ekstrakurikuler yang diikutinya, yakni teater, cricket, dan Keselamatan Reproduksi Remaja (KRR). Di bidang karya ilmiah remaja, ia pun mencoba meraih prestasi dengan mengikuti lomba karya ilmiah yang digelar Universitas Udayana, 2006 lalu. Hasilnya memang tak cukup memuaskan bagi Doi. Ia hanya meraih posisi 30 besar. Namun penelitian yang dilakukan terkait tingkat pengetahuan remaja desa dengan kesehatan reproduksi di Desa Beng Kabupaten Gianyar, memberinya pengalaman betapa remaja kita tak cukup mengerti tentang kesehatan reproduksinya.
Keaktifan Doi memang patut diacungi jempol. Di manapun ada kompetisi, ia selalu berusaha untuk berpartisipasi. Maka, seleksi olimpiade biologi 2007 lalu pun ia ikuti. Meski tak lolos, Doi mengaku telah mendapat pengalaman luar biasa. Terakhir, Juli lalu, ia juga mengikuti seleksi siswa teladan tingkat Provinsi Bali. “Hasilnya belum diumumkan. Tapi kalaupun nggak lolos, nggak masalah,” jawabnya enteng.
Banyaknya aktivitas Doi, menuntutnya untuk selalu fit. Maka, kesehatan harus dijaga. “Kalau sakit, gak bisa ngapa-ngapain,” terang Doi yang juga mengaku tak sempat pacaran gara-gara seabrek aktivitasnya. Meski begitu, ia tetap berusaha selalu mengikuti pelajaran sekolahnya dengan baik. “Pinter-pinternya Doi atur skala prioritas,” terangnya. Meski banyak meninggalkan mata pelajaran di kelas, Doi mengaku selalu mengikuti perkembangan pelajaran di sekolah melalui teman-temannya. Pelajaran di kelas pun dibayar dengan pelajaran di rumah bersama kedua orang tuanya yang juga guru.
Meski telah meraih seabrek prestasi, Doi mengaku tak menyangka kalau ia kemudian dinobatkan menjadi salah satu Pemimpin Muda Indonesia 2007. Pasalnya, ia harus bersaing dengan anak-anak lain yang mencapai ratusan orang. Doi ingat betul, ketika proses seleksi wawancara dilakukan para juri di Jakarta via telepon kepada anak yang masuk 10 besar. Doi yang menerima telepon dari kantor Lembaga Perlindungan Anak Bali, awalnya menjawab lancar semua pertanyaan juri yang terdiri dari kalangan pemerhati anak, LSM, dan pers.
Pertanyaannya seputar kegiatan yang telah dilakukan, kendala, kesuksesan, tanggapan masyarakat, hasil kegiatan, dan harapan kedepan untuk anak. Namun ada satu pertanyaan yang sempat membuat Doi kalang kabut. “Ditanya, kalau ketemu presiden dan diberi waktu untuk ngomong satu kalimat, apa yang akan kamu katakan? Saya sampai beberapa menit diam. Lalu yang terpintas di pikiran saya, perjuangkan hak anak!” cerita Doi bersemangat. Wawancara via telepon selama 30 menit itu pun, berakhir sukses. Namun, tetap saja Doi tak terbayang kalau dia akan lolos seleksi.
“Sempat nggak percaya. Saya pikir, padahal pengalaman saya nggak begitu mendalam. Bagi saya, ini keajaiban, anugerah Tuhan. Juga, karena ini pertama kalinya Bali kirim perwakilan. Ada perasan bangga sebagai orang Bali,” terangnya. Doi lalu mencoba mencari hikmah dari penghargaan itu. Ia kini mulai menyadari bahwa apa yang dilakukannya sudah memberi makna tersendiri dalam memasyarakatkan hak anak. “Karena masih banyak masyarakat yang belum sadar pentingnya hak anak. Dengan kasus kekerasan, paedofilia, diskriminasi, banyak yang belum sadar,” keluh Doi.
Doi menyoroti banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang menjadi cermin minimnya kesadaran masyarakat akan hak anak. Ia mencontohkan kasus kematian anak akibat perkelahian dengan teman kelasnya di Denpasar Bali beberapa waktu lalu. “Saya menyayangkan media massa. Seharusnya media tidak begitu saja memampang gambar anak yang diduga jadi pelaku. Dia memang tersangka, tapi dia anak-anak. Kalau belum apa-apa dia sudah dicap preman kecil, pembunuh, gimana nanti masa depannya,” ujar Doi kesal.
Hal penting yang penting dilakukan pemerintah, menurutnya, adalah mengatur penayangan TV. “TV sangat rentan untuk anak. Tindakan kekerasan masih ada di TV kita. Walau dibungkus dengan kartun-kartun lucu, tetap ada kekerasan,” Doi mengingatkan. Dia pun menyoroti dampak negatif play station yang terkesan dibiarkan oleh para orang tua. “Play station membuat anak mengesampingkan budaya daerahnya sendiri. Play Station juga merusak penglihatan, merusak pikiran anak-anak. Smack down misalnya, juga banyak di Play Station. Harusnya orang tua lebih mengajarkan permainan budaya positif yang bisa lestarikan budaya,” tegasnya.
Dari mimbar anak yang digelar di Denpasar beberapa waktu lalu, jelas Doi, sudah dibuat rekomendasi anak bagi pemasyarakatan hak anak. Dalam rekomendasi itu, anak-anak Bali menyatakan harapan-harapannya agar tidak ada anak-anak yang diperlakukan secara tidak wajar. Dua poin penting dalam rekomendasi yang bakal dikirim ke Gubernur Bali dan DPRD Bali itu, yakni penghapusan diskriminasi terhadap anak dan tuntutan hak pendidikan bagi anak-anak.
Doi tak pernah ingin lepas dari dunia anak-anak, meski usianya kini sudah menginjak 17 tahun. Kelak, Doi berharap bisa membangun sebuah panti asuhan bagi anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya. Satu angan mengejutkan yang diungkap Doi, bahwa ia kelak ingin menjadi menteri anak. “Kementerian anak sangat penting. Biar lebih fokus. Kalau Kementerian Pemberdayaan Perempuan kan nggak cuma urus anak-anak, tetapi juga urus macam-macam, dari masalah perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Belum fokus,” terang Doi. Namun, kalaupun cita-cita menjadi Menteri Anak kelak tak kesampaian, ia berharap bisa melayani anak-anak dengan menjadi dokter anak. [b]
Doi mang kerennnn