Beragam acara di Malam Anugerah Jurnalisme Warga 2017.
BaleBengong memberikan Anugerah Jurnalisme Warga 2017 kepada karya yang menceritakan harmoni antara warga Tionghoa dengan budaya Bali. Karya Julio Saputra, mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Ganesha, menceritakan tentang pengalamannya saat upacara kematian neneknya di Baturiti, Tabanan, Bali.
Dalam karya yang terbit di Tatkala.co, media jurnalisme warga berbasis di Singaraja, Bali pada 30 Oktober 2017, itu Julio Saputra menuliskan secara personal dan naratif tentang warga etnis Tionghoa dan Bali yang saling ngayah saat upacara kematian di Baturiti. Bagi Julio, ngayah bersama saat upacara kematian itu mencerminkan sikap toleransi dan kerukunan yang tinggi. Mereka saling terbuka, menghormati, dan membantu satu sama lain.
Guyubnya etnis Bali dan Tionghoa di Baturiti hanya salah satu contoh. Masih banyak wujud toleransi dan kerukunan antar-etnis Tionghoa dan Bali di Baturiti. “Hubungan harmonis itu menjadi warisan yang harus dijaga untuk tetap meraih kesejahteraan, kebahagiaan antarumat yang berlandaskan keluhuran budi dan hati,” tulis Julio di artikel tersebut.
Artikel berjudul Di Baturiti, Nenek ke Surga, Diantar Rasa “Bareng Ngayah” Warga Bali dan Keturunan Tionghoa itu pun mendapatkan nilai tertinggi dari dua juri yaitu Luh De Suriyani (jurnalis lepas dan admin BaleBengong) dan Adnyana Ole, editor Tatkala.co, dibandingkan karya-karya lain dari media jaringan lain yang terlibat.
Selain kepada karya tulis, penghargaan juga diberikan kepada karya dalam format foto untuk Made Argawa berjudul Indonesia Berbhinneka, Indonesia yang Ceria dan ilustrasi untuk Gede Jayadi Pramana Kusuma yang menyampaikan kekhawatirannya terhadap hilangnya rumput laut di Nusa Penida, Klungkung.
Menurut kedua juri, karya-karya tersebut mencerminkan suara-suara warga yang menyampaikan keberagaman tidak hanya identitas tetapi juga hal-hal lain seperti mata pencaharian.
Berbeda dengan konsep tahun lalu sekaligus sebagai kegiatan pertama, Anugerah Jurnalisme Warga tahun ini dilaksanakan bersama dengan media-media jurnalisme warga dan komunitas lain di Indonesia. Mereka adalah Lingkar Papua (Papua), Kampung Media (Nusa Tenggara Barat), Kabar Desa (Jawa Tengah), Plimbi (Bandung), Kilas Jambi (Jambi), Tatkala (Bali), Nyegara Gunung (Bali), Nusa Penida Media (Klungkung), Sudut Ruang (Bengkulu), Peladang Kata (Kalimantan Barat), dan Noong (Bandung).
Adapun tema Anugerah Jurnalisme Warga 2017 adalah Bhinneka Tunggal Media, merayakan keberagaman melalui media jurnalisme warga.
Karya-karya peserta Anugerah Jurnalisme Warga 2017 dimuat terlebih dulu di 12 media yang berpartisipasi untuk kemudian dipilih satu karya terbaik dari empat kategori yaitu tulisan, foto, ilustrasi, dan video. Sayangnya, tahun ini tidak ada satu pun karya video yang ikut dalam Anugerah Jurnalisme Warga.
Mengenai karya yang mendapatkan penghargaan tahun ini, menurut juri, karena mereka bisa menceritakan hal-hal sederhana dari kaca mata mereka sebagai warga. “Warga di sini bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan. Mereka bisa bercerita tentang apa saja yang mereka lihat, dengar, dan pikirkan,” kata Adnyana Ole, salah satu juri.
“Ada beberapa karya yang bagus. Persaingannya ketat. Namun, pemenang tahun ini ini bisa melihat dengan kacamatanya sendiri sebagai warga, bukan sebagai orang luar. Itulah kekuatan jurnalisme warga,” Luh De Suriyani, juri lain, menambahkan.
Panitia Anugerah Jurnalisme Warga memberikan penghargaan kepada para pemenang pada Minggu (5/11) di Taman Baca Kesiman Denpasar. Penghargaan diberikan dalam rangkaian Malam Anugerah Jurnalisme Warga 2017.
Tidak hanya mengumumkan para penerima Anugerah Jurnalisme Warga 2017, malam apresiasi juga diisi dengan kegiatan lain yaitu permainan, makan bersama ala Bali atau megibung, diskusi tentang keberagaman ekspresi dan melindungi privasi, serta pentas musik.
Dalam diskusi bertema Merayakan Keberagaman Ekspresi dan Melindungi Privasi, hadir pembicara pembaca lontar dan budayawan Bali Sugi Lanus; pegiat komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) Sofia Dinata; dan aktivis ICT Watch Dewi Widyaningrum.
Menurut Sugi Lanus, beberapa lontar kuno Bali menunjukkan bahwa Bali sejak dulu sudah terbuka pada keberagaman identitas, terutama agama. “Dalam tradisi Bali, perbedaan selalu diterima dengan baik bukan untuk dipertentangkan,” kata Sugi.
Sofia Dinata menceritakan masih besarnya tantangan yang dihadapi oleh kelompok LGBT dalam mengekspresikan suara-suara mereka, meskipun di Bali pada umumnya relatif lebih bebas. “Masih banyak masyarakat yang salah paham kepada kelompok LGBT sehingga kurang bisa menerima kami,” ujarnya. Hal tersebut juga terjadi dalam akses terhadap informasi maupun ekspresi mereka di dunia maya.
Adapun Dewi Widyaningrum menekankan pentingnya warganet untuk melindungi privasi ketika beraktivitas di dunia maya dengan tidak membagi hal-hal amat pribadi, seperti alamat rumah, nomor telepon, dan semacamnya karena rentan disalahgunakan orang lain. “Jangan sampai kita oversharing yang justru akan merugikan kita sendiri,” imbuhnya.
Malam Anugerah Jurnalisme Warga ditutup oleh penampilan band trio Bali Nosstress yang sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para warganet melalui tagar #TanyaNosstress. Band yang aktif dalam kegiatan aktivisme sosial ini baru mengeluarkan album baru “Ini Bukan Nosstress.”
Sebelum mereka juga ada Teater Kalangan dengan pertunjukan apik yang mengkritik perilaku pengguna Internet yang tidak bisa memfilter informasi sampai lupa diri. Para seniman muda ini melibatkan penonton dalam pengadegan banjir informasi, distraksi atau gangguan ketika kecanduan gadget, dan perubahan perilaku warganet. [b]
Selamat ulang tahun bale bengong, mantap jiwa dah acara anugrah jurnalisme warga 5 november kemarin.