Oleh Ketut Sutawijaya
Peran-peran dan definisi tentang radio komunitas sebenarnya bisa ditempatkan dalam ranah tradisi jurnalistik. Saat ini dikenal istilah Jurnalisme Warga (Citizen Journalism). Beberapa prinsip tentang partisipasi, transparansi, dan masyarakat bukan lagi ditempatkan sebagai konsumen melainkan sebagai produsen adalah hal yang sama yang dapat ditemui dalam radio komunitas dengan jurnalisme warga.
Walaupun istilah jurnalisme warga meledak ketika perkembangan internet juga mengalami ledakan dan munculnya teknologi-teknologi baru yang memungkinkan terjadinya partisipasi, misalnya dengan ditemukannya teknologi dalam web 2.0 (Kolodzy, 2006: 219).
Perbedaan yang ditemui ketika membandingkan jurnalisme warga yang berkembang sekarang dengan radio komunitas yang ada, khususnya di Indonesia, hanya terletak pada pemilihan terhadap teknologi yang digunakan, antara teknologi radio dengan teknologi internet. Akan tetapi memiliki kesamaan dalam hal prinsip dan ide-ide dasar antara radio komunitas dengan jurnalsime warga yang banyak diperdebatan sekarang dan memiliki hubungan dengan perkembangan internet.
Untuk itu, akan lebih maksimal jika diantara dua teknologi tersebut diintegrasikan atau dikonvergensikan menjadi sebuah kekuatan utuh untuk lebih menyuarakan suara masyarakat lokal (Nasir, 2007). Untuk itu, ada baiknya jika kita terlebih dahulu menilik sejenak tentang definisi dan perkembangan jurnalisme warga.
Jurnalisme warga muncul dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang berpilin secara rumit, antara fenomena-fenomena menyurutnnya kepercayaan pada pada pers atau media mainstream, ketidakpuasan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah namun tidak memiliki corong untuk bersuara, dan antara kemujuan teknologi komunikasi dan informasi yang semuanya hampir terjadi dalam waktu yang bersamaan.
Ada juga yang mengatakan bahwa kelahiran jurnalisme warga erat kaitannya dengan lahirnya media-media independen. Misalnya pada tahun 1999 para aktivis lingkungan mendirikan IMC (Indpendent media centre) yang bertujuan untuk memprotes konferensi WTO yang dilaksanakan di Seattle, Amerika Serikat. IMC ini memiliki misi untuk menarik perhatian media-media internasional. IMC adalah gerakan media alternatif, dan secara mengejutkan sejak saat itu, gerakan indie-media berkembang ke berbagai pelosok dunia (Dewi, 2008: 20).
Ada kekecewaan terhadap jurnalisme tradisional/umum saat ini, seperti diungkapkan dalam latar kelahiran jurnalisme warga. Walaupun kelahiran jurnalisme layaknya kelahiran demokrasi juga, namun dalam prakteknya tidak secara total kita bisa berharap banyak tentang peran-peran jurnalisme yang ideal. Ini karena, di sisi lainnya, jurnalisme juga adalah bisnis, dan tidak jarang kita menemui kalimat “freedom of the press belongs to those who own one”, sehingga menyebabkan realita yang menjadi konsen lembaga bisnis bersangkutan akan diliput secara maksimal, sedangkan realita sosial yang seharusnya menjadi perhatian tidak diliput samasekali (Kolodzy, 2006: 219).
Jurnalisme warga adalah jurnalisme yang sederhana, atau bukan serumit yang dikembangkan oleh para jurnalis profesional. Namun bukan berarti jurnalisme warga tidak memiliki keakuratan dalam pemberitaan, justru jurnalisme memiliki kekuatan yang tidak akan pernah dimiliki oleh model jurnalisme tradisional/umum. Jurnalisme warga memulai dari sesuatu yang tidak direncanakan. Berbeda halnya dengan jurnalisme tradisional yang memulai perencanaan dan bersifat deliberatif serta top-down.
Pada kenyataannya, jurnalisme warga hanyalah berupa pemikiran-pemikiran komunal yang mencoba mengkritisi dari kegagalan media maisntream selama ini. Asumsi yang menyatakan bahwa media-media besar saat ini tidak lagi berfungsi sebagai penyedia informasi untuk ruang-ruang publik menyebabkan jurnalisme warga berusaha untuk mengambil alih peran-peran yang dimiliki media massa besar. Peran-peran tersebut dalam hal pengumpulan dan menampilkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan-kepentingan publik.
Yang paling penting, berita-berita yang dihasilkan merupakan tanggung jawab dari individu-individu kontributornya sehingga ide-ide yang dihasilkan lebih bervariasi, idependen, dan sebagai sebuah agregasi lebih akurat dibanding yang diberikan oleh media-media besar dan komersial. Keterlibatan banyak individu-individu ini merupakan refleksi langsung dari kebutuhan dan perhatian mereka masing-masing, atau sangat mungkin sebagai sebuah agregasi dapat mewakili dan merefleksikan langsung kepentingan orang banyak. Hal ini lah yang tidak mungkin dimiliki oleh media tradisional/umum (Barlow, 2007: 180)
Jurnalisme warga memiliki prinsip-prinsip yang secara umum sama antara komunitas-komunitas pengembangnya. Berikut ini adalah satu prinsip yang dikembangkan oleh Project for Excellence in Journalism (PEJ), sebuah komunitas pengembang jurnalisme warga, yaitu (Barlow, 2007: 181):
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah untuk kebenaran
2. Loyalitas pertama ditujukan pada warga
3. Inti dari disiplin jurnalisme warga adalah verifikasi
4. Setiap partisipan harus menjaga kemandirian
5. Berita yang diproduksi untuk memonitor kekuasaan secara mandiri
6. Harus menyediakan forum untuk publik, berdebat, berdiskusi, dan berkompromi
7. Harus ada yang diperjuangkan
8. Harus tetap menjaga setiap berita komprehensip dan proporsional
9. Setiap partisipan harus bertindak berdasarkan hati nurani
Prinsip-prinsip jurnalisme warga ini sangat berbeda dengan prinsip yang dikembangkan oleh para jurnalis profesional. Para jurnalis profesional diminta untuk menjaga jarak dengan para narasumbernya sehingga diasumsikan dapat menghasilkan sesuatu yang obyektif. Apa yang sedang dilakukan oleh jurnalisme warga adalah mengahapus jarak tersebut dengan mengambil alih jurnalisme dari profesionalitas dan mengembalikannya pada masyarakat, namun tetap menggunakan standar-standar dan kode etik.
Semua hal ini mungkin dilakukan karena jurnalisme warga tidak berdiri di bersebarangan dengan kehidupan masyarakat, melainkan secara langsung menyatu atau karena jurnalisme warga adalah masyarakat itu sendiri. Apa yang terjadi pada jurnalisme warga, yang merupakan penggabungan antara lembaga pers dengan masyarakat, akan memunculkan berita-berita dari perspektif dan kepentingan masyarakat (Barlow, 2007: 181).
Jurnalisme warga dikenal sebagai publik atau partispatori jurnalisme, yang merupakan tindakan dari masyarakat atau warga untuk ikut bermain aktif dalam perannya di proses pengumpulan, pelaporan, analisa, dan mendesiminasi berita dan informasi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan dalam We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information, oleh Shayne Bowman dan Chris Willis. Mereka mengatakan, “The intent of this participation is to provide independent, reliable, accurate, wide-ranging and relevant information that a democracy requires” (maksud dan tujuan dari partisipasi ini adalah untuk menyediakan informasi-informasi yang independen, reliabel, akurat, dan relevan yang sangat dibutuhkan oleh demokrasi).
Jurnalisme warga memiliki arti yang berbeda dengan civic journalism yang dilakukan atau dipraktekan oleh para jurnalis profesional. Citizen journalism adalah betuk yang spesifik dari media warga/masyarakat yang berarti pembaca sekaligus pembuat berita (Bowman dan Willis, 2003: 10).
Dalam Online Journalism Review article, J. D. Lasica, mengklasifikasikan media untuk jurnalisme warga ke dalam beberapa bentuk ini, yaitu:
1. Partisipasi audien, seperti halnya komentar yang dilampirkan ke dalam berita, personal blog, foto dan video, atau berita-berita lokal yang ditulis oleh warga dari sebuah komunitas.
2. Website berita dan informasi independen, seperti dalam majalah di Amerika Cosumer Reports, webiste Drudge Report
3. Situs berita partisipatif seperti dalam webiste ohmynews
4. Situs media kolaborasi, seperti dalam web Slashdot dan Kuro5hin yang merupakan situs diskusi kolaborasi.
5. Berbagai jenis dari media kecil seperti mailing list, email newsletters.
6. Situs Personal broadcasting, seperti video broadcast dalam KenRadio.
Prinsip dan ide dasar dari jurnalisme warga yang dipadukan dengan perekembangan teknologi sekarang dimana setiap orang yang memilki komputer dan internet atau yang mempunyai akses terhadap teknologi tersebut berarti juga memilki media persnya sendiri. Perkembangan teknologi dalam bentuk website berperan amat besar dalam mengubah bentuk informasi yang selama ini berupa keterwakilan menjadi informasi yang dapat melibatkan semua orang secara individual maupun kolektif (Kolodzy, 2006: 219).
Model pewartaan oleh warga semacam ini berarti semakin mendapat sambutan ketika internet berkembang terus berkembang. Berbagai layanan seperti webblog, chat room, mailing list, bahkan layanan video seperti Youtube, memungkinkan siapa saja menjadi perwarta.
Salah satu contoh jurnalisme warga yang fenomenal di dunia adalah situs Oh My News. Berkantor pusat di Seoul, Korea Selatan. Situs ini terbit pertama pada 22 Februari 2000 dengan motto “Setiap warga adalah seorang reporter”. Kemunculan Oh My News juga dilatarbelakangi pemilihan presiden Korea Selatan. Hingga kini, Oh My News telah memiliki 60 ribu reporter di seluruh dunia. 80% berasal dari citizen journalism dan hanya 40 orang berasal dari wartawan tradisional (Wikipedia: Citizen Journalism).
a powerful global conversation has begun.. through the internet, people are discovering and inventing the new ways to share the relevant knowledge with blinding speed. As a direct result, markets are getting smarter—smarter and faster than most companies. Journalism is also conversation (Gillmor, 2006: 301).
Citizen journalism is just getting started, but it could be a common place in a short time. Thanks to the exponential advancement of new web technologies. Web logs, or blogs, grew just from handful in 1999 to more than four million by the end of 2004, a period of just five years. Technorati.com, which is considered the expert on tracking the blogosphere, or the blog arena, estimated in mid-2005 that a blog was being created every 7,4 seconds. That is the equivalent of 12.000 new blogs a day (Kolodzy, 2006: 220).
Kemunculan jurnalisme warga yang oleh beberapa ahli menyebutkan bahwa sebagai respon kekecewaan terhadap media umum atau tradisonal bukan berarti kemudian dengan serta merta dapat menggantikan peran media umum/tradisonal. Kemunculan jurnalisme partisipatif ini, dalam bentuk blog atau apapun bentuk pelaporan yang web-based, bertujuan untuk melengkapi dan memberikan suplemen dan tidak harus menggantikan peran-peran media tradisional atau pada umumnya.
Tidak semua media mainstream kehilangan hubungan dengan pembaca atau audiennya, dan tidak semua jurnalisme warga mewakili sebuah penyerangan pada bentuk-bentuk jurnalisme yang tradisional atau mainstream. Ini hanya merupakan keterwakilan dari sebuah peringatan dari apa yang dikatakan oleh Jay Rosen sebagai “Big Journalism”, di mana media telah kehilangan hubungan dan kontak dengan audiennya yang seharusnya diwakili dan dilayani.
Ini artinya jurnalisme partisipatif memberikan peluang pada media-media untuk berhubungan kembali dengan para audiennya dan meremajakan kembali apa yang menjadi tujuannya, yaitu pada sektor pelayanan pada kepentingan publik. Atau bisa juga terjadinya kerja-kerja kolaborasi antara warga biasa dengan reporter profesional dan para ahli, bukan menggantikan. Setiap orang berhak melakukan penambahan, editing, memberikan komentar, dan sebagainya.
Hal ini misalnya terjadi di Wikipedia. Atau dapat diartikan bahwa jurnalisme partisipatif ini sebagai “a citizen or citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and informations” (Kolodzy, 2006: 220).
Mark Tremayne dalam bukunya Blogging, Citizenship, and the Future of Media merangkum isu antara media-media tradisional dibandingkan dengan jurnalisme warga. Jelas sekali bahwa masing-masing individu, bloger, tidak akan begitu saja menggantikan organisasi media yang berskala besar, namun mereka bisa memiliki dampak yang signifikan pada level berita lokal yang sifatnya mikro. Dan organisasi berita atau pers sangat mungkin untuk meminta para jurnalis warga untuk membuat konten yang akan dimuat di medianya (Tremayne, 2007: 1).
Di Indonesia dalam perkembangan dan perkenalan dengan ide dan prinsip dasar jurnalisme warga lebih banyak melalui radio. Ini karena sebagian besar penduduk Indonesia untuk saat ini lebih mengenal radio dibandingkan internet. Model pelaporan Radio Elshinta, salah satu contoh, oleh pendengarnya melalui telepon mendapat respon yang cukup bagus. Sembari menunggu kemacetan lalu lintas, warga saling bertukar informasi mengenai situasi lalu lintas di sekitarnya. Dari situlah variasi berita mulai berkembang makin meluas, dari berita lokal hingga berita nasional seperti tsunami.
Kelahiran radio komunitas di berbagai pelosok daerah juga makin menguatkan posisi jurnalisme oleh warga. Selain itu, ketika pengguna internet semakin meluas, warga semakin menemukan saluran untuk menyalurkan pendapatnya. Tak heran jika lantas bermunculan blog atau web yang menerapkan model jurnalisme warga. Diantaranya www.panyingkul.com, wikimu.com, kabarindonesia, dan lain sebagainya (Dewi, 2008: 21).
Perkembangan jurnalisme warga tidak kemudian secara langsung menyelesaikan krisis yang terjadi pada jurnalisme tradisional atau umum. Perkembangan jurnalisme warga yang sangat cepat ini kemudian memunculkan pertanyaan, kritik, dan tantangan bagi diri mereka sendiri.
Kritik paling utama menyangkut persoalan etika, akurasi, kredibilitas, atau pertanggungjawaban. Kritik ini tidak hanya muncul dari “lawan” jurnalisme warga, melainkan juga dari internal para jurnalis warga itu sendiri. Salah satu sebabnya adalah, pertama dalam soal etika, kebebasan tidak selalu diikuti oleh tanggungjawab.
Kedua dalam soal skill, tidak semua jurnalis warga memilki kemampuan jurnalitik. Walaupun perdebatannya bisa diperpanjang bahwa para jurnalis warga tidak memerlukan skill layakanya para profesional, namun minimal para jurnalis warga ini harus memiliki dan mematuhi kode etik dan perilaku yang sepantasnya (Dewi, 2008: 21).
Kritikan pedas seperti ini perlu dimaknai bukan sebagai penjegal keberlanjutan jurnalisme warga. Melainkan sebagai pecut untuk mengarahkan para jurnalis warga untuk tetap berada dalam rel dan menjadi semakin terarah. Informasi atau berita yang dibuat harus bertangungjawab dan dilandaskan pada data yang proporsional, dan bukan gosip.
Kemudian, diperlukan upaya-upaya mengolah informas-informasi tersebut, misalnya mengubah informasi yang awalnya bersifat personal menjadi informasi yang dapat dikonsumsi oleh umum. Upaya pengolahan informasi ini juga merupakan langkah untuk mengontrol substansi informasi yang diproduksi, apakah telah sesuai dengan prinsip dari jurnalisme warga atau belum (Dewi, 2008: 21).
mbak..
mao nanyak buku yang pengarangnya dewi tt jurnalis warga itu judulnya apa yah?
mohon bantuan nya
kbtulan saya skripsi tentang jurnalis warga
salam…
kebetulan sy juga mau skripsi tentang jurnalisme warga,,
buat admin, sy mo ikutan nanya, buku tentang jurnalisme warga yg ditulis dewi itu buku apa?
buat sisca, kalo boleh sy mau sharing, kirim imel ke ndoro_ndro@yahoo.com yah…
thanks…