AJI Denpasar mendapat laporan dari beberapa anggota dan jurnalis yang meliput PWF pada Selasa siang, 21 Mei 2024, di Hotel Oranjje, di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, tempat digelarnya event tersebut. Selain panitia, pembicara, dan peserta PWF, jurnalis dilarang masuk ke Hotel Oranjje.
Sempat terjadi debat antara jurnalis dengan sejumlah oknum warga yang tidak jelas ini. Belum jelas apakah mereka dari ormas yang sehari sebelumnya melakukan intimidasi dan kekerasan di lokasi yang sama atau dari intelijen.
Mereka menutup wajah menggunakan kaca mata dan masker, dan menutup kepala menggunakan jaket bertudung.
Ketika oknum yang melarang liputan ditanya berasal dari mana juga tidak menjawab, apa alasan pelarangannya mereka juga tidak menjawab. Akan tetapi, Satpol PP bebas keluar masuk. Sehingga ada dugaan mereka bagian dari negara atau kekuasaan.
Laporan lainnya, ada peretasan terhadap akun WhatsApp beberapa jurnalis. Juga hilangnya sinyal di sekitar Hotel Oranjje yang diduga dipasangi jammer atau pengacak sinyal.
Peristiwa-peristiwa tersebut sudah termasuk bertentangan dengan kemerdekaan pers yang dijamin sepenuhnya oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 28 huruf F UUD 1945 menjamin sepenuhnya hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Kemudian pada Pasal 4 ayat (3) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Lebih lanjut pada Pasal 6 huruf a UU Pers menegaskan bahwa peranan pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Maka, melarang pers melakukan kerja jurnalistik atau peliputan telah melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Pers yang menetapkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Dan yang dimaksud dengan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Lebih lajut, terdapat ancaman pidana bagi yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan peliputan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1).
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Atas pelarangan liputan yang terjadi di PWF di Hotel Oranjje tersebut AJI Denpasar menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak pemerintah Joko Widodo dan seluruh aparatur negara termasuk Polri dan Gubernur Bali, serta masyarakat untuk menghormati dan turut menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, berpikir, dan berpendapat, serta kemerdekaan pers.
2. Mendesak pemerintah Joko Widodo dan aparatur negara termasuk Polri dan Gubernur Bali, serta masyarakat untuk tidak menghalangi kerja-kerja jurnalistik dalam melakukan peliputan atau mencari informasi.
3. Mendesak pemerintah Joko Widodo dan seluruh aparatur negara termasuk Polri dan Gubernur Bali, serta masyarakat, menghentikan intimidasi terhadap jurnalis.
4. Mendesak Dewan Pers dan Komnas HAM RI mengusut penghalangan jurnalis dalam meliput acara PWF di Hotel Oranjje, Denpasar.
5. Mendesak Polri, dalam hal ini Polda Bali, mengusut penghalangan jurnalis dalam meliput acara PWF di Hotel Oranjje, Denpasar.
IJTI Bali Sesalkan Larangan Peliputan Acara PWF
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Bali menyesalkan larangan peliputan acara People’s Water Forum (PWF) di Hotel Orange Jl. Hayam Wuruk Denapsar Selasa (21/05/2024). Larangan itu dikeluhkan sejumlah jurnalis televisi yang dilarang oleh sekelompok orang.
Jurnalis tvOne, Alfani Sukri menurutkan, pada hari pertama gelaran PWF terjadi ketegangan antara sekelompok orang dengan panitia penyelenggara. Tapi larangan liputan oleh sekelompok orang dengan alasan menjaga budaya Bali.
“Sejak awal digelarnya PWF di Hotel Orange Hayam Wuruk kita awalnya boleh masuk. nah hari kedua kemarin, semua peserta yg akan hadir itu gak boleh masuk. Termasuk semua wartawan yang ingin meliput kegiatan di dalam dengan alasan gak jelas. Mereka yang menghalangi itu gak jelas. Dasar mereka menjaga budaya dan keamanan Bali. Takut demo dan sebagainya. Lah trus kita para wartawan ini apa, kog sampe ikut di larang,” tutur Alfani.
Alfani juga menyayangkan sikap polisi sebagai aparat keamanan, yang harusnya mengamankan kegiatan masyarakat.
“Yang kita sayangkan, memang peran polisi di mana. Kog bisa ormas yg ngamanin. Nah yang paling sedih itu, pernyataan menteri PUPR bahwa PWF gak mengganggu dan diperbolehkan. Eh dianggap wartawan ngarang ngarang,” sesalnya.
Ketua IJTI Bali, Ananda Bagus Satria menyesalkan larangan peliputan PWF. Dalam Pasal 4 ayat 3 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan, pers mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Oleh karena itu, semestinya para jurnalis tidak dihalangi dalam melakukan tugas jurnalistik.
“IJTI Bali menerima laporan pengaduan dari anggota bahwa sejumlah jurnalis televisi juga jurnalis lainnya dilarang meliput acara PWF. Padahal jurnalis diundang oleh panitia. Karena itu, pihak lain tidak berhak menghalangi kerja jurnalis, termasuk semua peristiwa yang terjadi di lokasi. Ini bentuk ancaman bagi kemerdekaan pers di Indonesia,” tegasnya.