Saya membuka pintu. Dadong masuk membawa sekeranjang buah dan kue. Ada apel, pir, pisang, jeruk, dan rambutan. Kuenya ada begina semacam kerupuk, jaja uli, tape ketan, dan krupuk melinjo.
Sekitar 15 menit sebelumnya, Gede, Bu Wayan, dan Made membawa kue dan buah yang sama. Buah dan kue di meja makan kami semakin penuh ketika Bu Mega juga membawa roti ke rumah malam itu.
Rumah kami di gang kecil pinggiran Denpasar utara. Sepanjang sekitar 50 meter gang itu tinggal aneka rupa keluarga dan berbeda agama.
Di ujung gang, persis di pinggir sungai, Bu Jeani dan Pak Anton tinggal bersama tiga anak mereka Jeani, William, dan Andrew. Pasangan ini beda agama. Bu Jeani muslim asli Padang. Pak Anton Katolik asli Timor Timur, yang kemudian jadi Timor Leste, dan kini warga Denpasar.
Selebihnya, selain tiga keluarga itu, delapan keluarga lain beragama Hindu. Dan, besok tetangga-tetangga kami ini merayakan Galungan. Tapi, meski tidak beragama Hindu, kami ikut merayakan. Ya, lewat buah dan kue yang dibawa ke rumah kami petang tadi.
Tradisi membawa kue dan buah menjelang hari raya itu disebut ngejot. Tidak hanya menjelang Galungan tapi juga pada upacara lain seperti pernikahan, otonan (peringatan hari lahir), dan seterusnya. Ngejot sebenarnya biasa dilakukan pada tiap tetangga tanpa melihat agama atau suku apa pun. Namun karena tetangga yang Hindu juga merayakan, dan berarti punya buah dan kue yang sama, jadilah ngejot ini lebih banyak untuk yang beragama lain.
Tapi ini tidak mutlak. Kadang-kadang yang sama-sama merayakan Galungan pun berbagi kue atau buah terutama kue yang tidak mereka punyai. Misalnya memberi kue bolu pada tetangga yang tidak punya.
Ngejot, bagi saya, adalah wujud dari toleransi antar-tetangga. Bhinneka Tunggal Ika, kata Mpu Prapanca. Ini kalau dilihat dari perspektif agama. Tapi ngejot bisa juga adalah praktik dari sosialisme. Bukan sosialisme ideologis yang agak berat ala Hugo Chavez, Evo Morales, dan seterusnya, tapi cukup sosialisme sebagai praktik bertetangga, saling membagi apa yang kami punya.
Karena itu ngejot tidak melulu milik orang Hindu. Ketika merayakan lebaran Oktober tahun lalu, kami pun ngejot dengan membagi kue lebaran. Tidak hanya pada tetangga tapi juga pada keluarga di Padangsambian, Oongan, Jl Kenyeri, dan tentu saja mertua di Jl Banteng.
Ketika Natal pun kami mendapat jotan berupa nasi kotak dari Pak Anton, tetangga kami yang juga pegawai negeri tersebut.
Bagi sebagian orang mungkin ini terlalu romantik. Memang ada ketegangan-ketegangan hubungan antar warga akibat perbedaan itu. Namun ngejot bisa jadi salah satu upaya untuk mengingatkan warga bahwa kami bisa saling menghargai dan mengormati di antara perbedaan itu. Ngejot juga perlu terus dibiasakan karena ini soal perut juga. Kalau sudah tentang makanan kan paling gampang untuk mengajak orang.
Selain itu ngejot juga perlu diajarkan pada anak-anak. Biar mereka tidak salah paham lalu bilang, “Awas ada suster ngejot..” Eh, itu suster ngesot ya. he.he [+++]