“Itulah pekerjaan. Saya profesional. Keluarga dan industri tahu saya bekerja sebagai penari joget. Bukan jual diri..”
Kerumunan dari kejauhan diiringi riuhnya suara gambelan rindik berpadu dengan teriakan penabuhnya menjadi penanda pentas joget sudah dimulai. Penonton riuh menyaksikan.
Tidak hanya mengundang remaja dan orang tua dewasa, joget pun menjadi tontonan anak-anak hingga ibu rumah tangga. Gerak tari yang pelan dan lirikan mata (nyeledet) menjadi pembuka manis atraksi seni tari Yang sepenuhnya dibawakan Oleh Perempuan ITU.
Sejenak saya tersadar. Joget saat ini tidak hanya menyuguhkan tarian serta gambelan, tapi juga ada goyangan yang seketika menarik pandangan kaum Adam.
Iya, joget seakan tidak terlepas dari goyangan erotis atau “ngangkuk”.
Setidaknya begitulah gambaran kesenian joget yang saya lihat ketika menontonnya di dekat rumah belum lama ini.
Saya sempat mengobrol dengan seorang penari joget asal Gianyar. Saat itu dia baru selesai pentas di daerah Sempidi, Badung. Sebut saja namanya Putri.
Saya menanyakan apakah dirinya pernah menari erotis dengan goyangan yang tidak hanya ke kanan dan ke kiri, tapi juga ke depan dan ke belakang, bahkan memutar.
Penari yang juga menjadi pengajar di sebuah sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sekitar tempat tinggalnya itu mengatakan pernah. Bahka sering kali melakukannya.
“Tergantung pesanan. Jika diminta berjoget erotis, saya bisa. Jika diminya menari dengan goyang seadanya juga tidak masalah,” ujar Putri.
Putri memiliki tato minimalis berbentuk mawar di paha kanannya. Ketika Putri menari joget, tatonya akan terlihat.
Dia menjelaskan bahwa bayaran goyangan erotis yang diterimanya juga akan berbeda. Sekali pentas dengan goyangan biasa, dia akan mendapat bayaran Rp 150 ribu. Jika goyangan erotis, dia akan mendapatkan bayaran Rp 350 ribu.
“Pesanan lebih banyak yang isi goyangan erotis,” paparnya yang saat itu juga akan berjoget di wilayah Penebel, Tabanan.
Putri mengatakan pernah mengalami masalah karena goyangan-goyangan erotisnya, termasuk ketika akan menyelesaikan kuliahnya di universitas swasta di Denpasar. Ternyata ada yang mengunggah penampilannya ke YouTube saat dia melakukan goyangan erotis. Tak tanggung-tanggung goyangangnya, si “pengibing” ditidurkan dan penari jogednya bergoyang di atasnya.
“Pihak kampus sempat menahan ijazah saya. Tapi, untungnya tetap dikasih. Makanya sekarang jika pentas dan diminta goyang erotis, saya minta ke penyelenggara agar tidak ada yang merekam,” jelasnya.
Terkait dengan goyangan erotis, dia menyebutkan memang risih. Tapi, dia beralasan itu pekerjaannya. Dia menjalaninya dengan profesional. Lagi pula dengan pekerjaan itu dia bisa mendapatkan penghasilan lebih walaupun dengan risiko bepergian malam seorang diri.
“Itulah pekerjaan. Saya profesional. Keluarga dan industri tahu saya bekerja sebagai penari joget. Tidak jual diri,” sambungnya.
Hal berbeda saya temukan ketika membaca sebuah koran lokal Bali beberapa waktu lalu. Media itu memberitakan pementasan joget di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2016. Sebuah sekaa joget asal Buleleng menyatakan berkomitmen untuk review menampilkan tarian yang sesuai dengan pakem dan tidak berisi gerakan erotis di arena PKB.
Terlepas dari tarian erotis atau biasa, setahu saya penari joget dan mahkotanya selalu disakralkan. Seperti terlihat ketika saya menonton di sekitar rumah. Penari mendapatkan percikan tirta dari seorang pemangku. Begitu pula dengan mahkota joget yang ditempatkan khusus lengkap dengan sesajen.
Komoditas
Bagaimana jadinya jika seorang penari joget diperankan seorang laki-laki dan membawakan goyangan erotis? Apakah para wanita akan kegirangan berebut untuk review mengulas ngibing seperti gelaran joget di sekitar rumah saya?
Menurut saya memang menjadikan sosok wanita sebagai pengundang penonton atau seperti komoditas yang berfungsi menarik pembeli, tentunya wajib berisi goyangan erotis.
Tarian joget sepertinya menjadi penanda sebuah budaya patriarki di Bali. Masyarakat Bali memang dikenal menganut sistem budaya patriarki.
Dalam kehidupan sosial, pria di Bali lebih diperhitungkan daripada perempuan. Sosok pria sangat mendominasi. Dalam rapat banjar diutamakan pria. Pemangku pura diutamakan pria, meskipun ada pura yang upacara ritualnya dipimpin perempuan, tapi lebih banyak pemangku pria.
Pemimpin sosial kemasyarakat di Bali juga diutamakan pria, mulai dari tingkat banjar, desa pakraman hingga pimpinan sosial keumatan adalah pria.
Perempuan dikanalkan pada kegiatan domestik seperti rumah tangga kegiatan atau PKK. Mungkin dari sana munculnya ide tarian joget yang “mengeksploitasi” sosok perempuan seutuhnya, mulai dari goyangan erotis, celamitan para pengibing, hingga bayaran lebih tinggi bagi penampil goyangan erotis.
Tapi yang cukup mengkhawatirkan adalah bagaimana paparan dari penampilan erotis joget di agenda luar seni pemerintah. Bagaimana terhadap anak-anak yang menyaksikan tontotan erotis sejak dini? Tentunya ini tidak ada sensor seperti kita melihat tayangan buram pada bagian belahan dada di televisi.
Lembaga masyarakat dan keumatan di Bali seolah-olah tumpul ketika berhadapan dengan goyangan erotis joget.
Semoga kelak joged dapat diposisikan sebagai tradisi yang memberikan masyarakat nilai positif masyarakat. Jika dia sebagai sebuah komoditas, harus ada batasan umur bagi yang menikmatinya, seperti rokok dan minuman beralkohol. [b]
Comments 1