Dikirim Arief Budiman
“Saya teringat di awal tahun 1991, sewaktu saya sebagai Kepala Kantor Wilayah X Depparpostel-Bali, melakukan kajian ulang atas Rencana Induk Kepariwisataan Bali yang disusun oleh SCETO yang telah berumur 20 tahunan. Ketua Bappeda Bali menyampaikan permasalahan yang sangat krusial waktu itu. Bahwa masyarakat Bali yang sebagian besar adalah petani yang tinggal di pedesaan mengalami disparitas penghasilan yang demikian besar dibandingkan mereka yang di luar pertanian.
Mereka hanya bisa mengejar “sapi” dan “kerbau” yang minum air kali atau “telabah”. Mereka tidak mampu mengejar “kuda” atau “kijang” bahkan “bebek” sekalipun yang semuanya minum bensin. Di samping itu masyarakat Bali mempertanyakan hasil kepariwisataan Bali yang kelihatan begitu gemerlap. Mereka bertanya “apakah Bali untuk pariwisata” ataukah “pariwisata untuk Bali”? Sungguh, waktu itu saya amat tersentak!
Ternyata teori-teori dari negeri jiran tak cocok dengan kenyataan yang ada pada masyarakat. Ataukah teori itu diciptakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan dari kelompok tertentu? Masyarakat menjadi terpinggirkan, mereka hanya menjadi penonton, mereka mengharap “limpahan tetesan” hasil kepariwisataan yang tak kunjung datang. Padahal alam dan budaya yang indah, unik dan menarik menyebabkan Bali menjadi banyak dikunjungi wisatawan adalah hasil buah budi masyarakat Bali.”
I Gede Ardika
Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Pengantar buku “Ekowisata Kerakyatan. Memiliki Kembali Bali”
Desa cenderung menjadi objek pelengkap dalam dunia kepariwisataan, dan modal-kapital menjadi aktor utamanya. Selamat enam tahun Jaringan Ekowisata Desa (JED) berusaha mencari alternatif kepariwisaataan yang berbasis pada potensi desa yang tersedia, bukan berbasis pada modal (investor) luar. Dengan metode pendampingan, masyarakat diajak menggali potensi desanya, mencari pemecahan bersama dan mengerakkan potensi itu untuk memencahkan persoalan yang ada.
Pariwisata akan membunuh pariwisata; jika salah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tata ruang. Pembangunan fisik yang tidak berbasis pada planning yang sadar lingkungan, justru akan menghapus keindahan alam sekitar, mencemari lingkungan dan melenyapnya atmosfir kedamaian. Pariwisata juga berpotensi melahirkan ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi, jika pengembangan kepariwisataan semata-mata bersandar pada investasi luar.
Percepatan pengembangan kepariwisataan berbasis modal asing cenderung tidak menakar dan mempertimbangkan kesiapan SDM masyarakat sekitar untuk berperan aktif di dalam sektor-sektor yang dikembangkan. Masyarakatpun menjadi penonton, pasif (menjadi obyek); dan kesenjangan ekonomi dan sosial akan muncul dari situasi ini. Dampak kesenjangan ekonomi ini, lebih jauh, akan melukai dan mencederai hati mayarakat desa.
Menjawab tantangan itu, JED membangun sinergi empat desa dampingan dalam mengupayakan kemandirian dalam pengembangan desa mereka masing-masing: Berbasis kesadaran lingkungan, peran-serta aktif dalam pengelolaan, dan mengutamakan prinsip-prinsip kesetaraan.
Saat ini JED telah sampai pada tahap pengelolaan sumber daya alam lanjutan dengan pemanfaatan sumber energi setempat, konservasi tanah dan air, identifikasi dan pengembangan keanekaragaman hayati local, dan pengelolaan resiko. Masyarakat di empat desa (Dukuh Sibetan, Tenganan Pegeringsingan, Kiadan Plaga, dan Nusa Ceningan) mendapat bantuan teknis untuk penguatan kelembagaan lokal, menggali pengetahuan lokal dan mengoptimalkan kembali gaya hidup ramah lingkungan, dan mengurangi ketergantungan terhadap pihak luar.
Masyarakat desa selama ini secara terbuka telah berkeluh kesah. Mereka merasakan bagaimana secara sistematis dikebiri sehingga tidak mampu berperan aktif dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan tata ruang dan pengelolaan sumberdaya mereka. Mereka melihat muncul berbagai ancaman terhadap pelesetarian lingkungan, social, ekonomi, dan budaya, disebabkan oleh pemotongan akses masyarakat desa dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan desa mereka. Masyarakat merasa selalu berada dalam posisi dirugikan.
Kenyataannya, keluhan mereka tidak terserap dalam berbagai kebijakan dan produk regulasi yang ada. Program-program JED dirancang secara bersama dengan melibatkan masyarakat desa, dengan pertama-tama mendengarkan keluhan dan persoalan mereka, yang menjadi dasar bagi arah dan penyusunan program-program JED. Dengar pendapat dan lokakarya berkala menjadi dasar pengembangan JED. JED berupaya meningkatkan kemandirian masyarakat desa dalam mengelola ruang dan sumberdaya yang mereka miliki.
Program-program yang telah dijalankan JED telah dirangkum dalam tiga buku yang akan diluncurkan pada ulang tahun JED yang ke-6. Buku-buku tersebut menceritakan dan merangkum suka-duka pengembangan desa tersebut. Di dalamnya terangkum pula ajakan terhadap kalangan pelaku pariwisata untuk kembali mempertimbangankan dan mempertanyakan: Apakah pengembangan kepariwisataan di Bali (Indonesia) sudah berjalan di rel yang memberikan kesejahteraan dan kesetaraan ekonomi?
Kalau kita mengamini apa yang dikatakan I Gede Ardika, mantan Menbudpar – bahwa masyarakat menjadi terpinggirkan, mereka hanya menjadi penonton, mereka mengharap “limpahan tetesan” hasil kepariwisataan yang tak kunjung datang – sudah seharusnya kita bergegas untuk memformat ulang cara kita mengembangankan dunia kepariwisataan.
Dalam ulang tahun JED yang ke-6, di samping akan diluncurkan tiga buku tersebut, JED akan menyajikan potensi desa berupa 30 masakan khas Desa Dukuh Sibetan, Tenganan Pegeringsingan, Kiadan Plaga, dan Nusa Ceningan.
Ulang tahun JED ini juga adalah silahturahmi pihak-pihak yang telah ikut mendukung JED selama ini, dan juga undangan terbuka terhadap pemikiran dan ide, dan dukungan lainnya, untuk kelanjutan kerja-kerja JED ke depan.
Potensi Dapur Organik
Salah satu potensi penting yang belum banyak digali secara intensif dalam pengembangan kepariwisataan Bali adalah masakan khas Bali. Kalaupun ada restoran atau hotel yang menyajikan masakan khas Bali, jumlahnya sangat terbatas, dan ‘citra rasa’-nya cenderung disesuaikan dengan selera konsumen.
JED akan menyajikan masakan berbahan organik yang dimasak oleh masyarakat 4 desa dampingan. Tukang masak didatangkan dari desa-desa tersebut dan memasak secara bersama-sama di dapur yang disediakan JED. Mereka telah dilatih untuk menyuguhkan dan menyajikan berbagai masakan dengan standarisasi yang terjamin. [b]