Oleh Anton Muhajir
Pemilik nama lengkap Made Gede Perama Artha tersebut memang punya cita-cita besar, menjadikan Bali sebagai pulau kartun.
Bersamaan dengan kegiatan Sanur Village Festival yang dibuka mulai hari ini, Rabu (15/8) Jango Pramartha mengadakan pameran kartun di Sanur. Ini hanya pameran ke sekian kali bagi Jango. Akhir tahun lalu dia juga berpameran di Australia. Di negara Kanguru itu, Ketua Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti) ini keliling ke tiga kota: Brisbane, Sydney, dan Melbourne. Selama seminggu, dia memamerkan 40 kartun tentang Bali. Pameran bertema Bali Courtesy Visit itu digelar dalam rangka program pemulihan pariwisata Bali yang diadakan kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia.
Sebelumnya Jango dan anggota Pakarti lain juga menggelar pameran kartun internasional bertema Bali is My Life. Selama lima hari, 113 kartun karya 77 kartunis dari 18 negara digelar di depan Museum Bali, Denpasar. Awal tahun ini Jango juga berpameran di Bentara Budaya, Jakarta. Tujuannya, mengampanyekan bahwa Bali juga punya sisi lain yang tak kalah menarik, kartun.
Jango tak berlebihan. Cita-cita jadi kenyataan. Salah satu tolak ukurnya adalah pameran internasional di Denpasar, pameran di Australia, dan pameran di Jakarta yang diadakannya awal tahun ini. “Bagi saya itu merupakan pengakuan pada Bali sebagai pulau kartun,” kata pria kelahiran Denpasar, 21 Desember 1965 tersebut.
Cita-cita Jango bermula dari hobi membuat kartun yang ditekuninya sejak SMA. Pada dasarnya, Jango memang suka seni. Alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana Bali ini semula suka menulis di media lokal Bali Post. Namun dia merasa tulisannya kurang dibaca orang. Begitu membuat kartun, ternyata banyak yang merespon. Sejak itu suami Putu Sefty Virgantini ini memilih jadi kartunis.
Ketika mengambil kuliah Diploma di University of Western Australia di Perth, dia makin sadar bahwa kartun adalah pilihan. Dia rajin diskusi dengan Carrol Warren, Adrian Vickers, dan David T Hill di Asian Study Murdoch University. Melalui mereka Jango melihat Indonesia, Bali, dan kartun dari perspektif lain. “Ternyata kartun bisa jadi alat untuk melihat persoalan dengan berbeda,” tambahnya.
Di tangan Jango kartun bisa jadi tiga hal: kajian studi, bahan bisnis, dan alat kritik sosial.
Sebagai kajian studi, kartun Jango jadi kajian di Murdoch University dan London Metropolitan University. Bapak dua anak pernah diundang Murdoch University sebagai pembicara sekaigus berpameran dalam rangka Pameran Asia Research Centre pada 1994. Pameran bertema Bali Sing Ken-Ken itu kemudian dilakukan di Sydney, Melbourne, Selandia Baru, Amsterdam, dan Paris. Secara rutin, Murdoch University dan London Metropolitan University juga berlangganan Bog-Bog, majalah kartun karya Jango dan teman-temannya di Bali.
Majalah Bog-Bog adalah simbol keberhasilan Jango mengolah kartun. Majalah inilah yang membuat Jango dikenal sebagai salah satu ikon kartun di Bali, bahkan Indonesia. Jango meluncurkan Bog-Bog tepat pada April Mop 2001. Majalah bulanan ini mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai majalah kartun pertama Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia.
Bog-Bog dalam bahasa Bali artinya bohong. Dalam bahasa Eropa Timur berarti Tuhan. Menurut bahasa Inggris slank artinya toilet. Sedangkan dalam bahasa Australia slank berarti lumpur. “Nama Bog-Bog itu sesuatu yang universal,” katanya. Bersama 14 karyawan dia kini mengelola Bog-Bog. Oplahnya sampai 10 ribu per bulan.
Keberhasilan Bog-Bog membuat Jango yakin bahwa kartun juga bisa jadi bahan bisnis. Maka sejak awal tahun ini dia mendirikan Bog-Bog Arcade, untuk tempat jualan produk Bog-Bog lain seperti kaos, gantungan kunci, dan merchandise lain. Semua produk itu menjadikan kartun sebagai trade mark. Toh, jualan produk kartun lainnya itu juga karena alasan sosial. “Agar penyebaran idenya tak hanya lewat majalah,” akunya.
Bagi Jango, tujuan paling penting dari kartun memang sebagai alat kritik sosial. Menurut dia, melalui kartun seseorang bisa memainkan peran dalam mengontrol, atau setidaknya menyikapi, persoalan sosial dan seni. Hal ini pun dilakukannya. “Banyak hal bisa dikritik melalui kartun, terutama masalah sehari-hari di Bali yang tak jauh dari tradisi, agama, sistem kasta, dan pariwisata,” katanya. Bagi Jango, pariwisata adalah masalah paling besar di Bali saat ini.
Sebagai kartunis yang juga terlibat dalam keseharian Bali, Jango melihat Bali dengan cara lain. Dia sadar perubahan terus terjadi dan tak bisa ditolak. “Perubahan itu abadi,” katanya. Namun perubahan itu berwujud ganda: destruktif dan konstruktif. Dia melihat dua hal itu terjadi dalam perjalanan Bali karena pariwisata. Misalnya kebiasaan ngayah. Tradisi bekerja sama dengan dasar kerelaan dan dedikasi pada Tuhan serta komunitas lokal ini makin ditinggalkan. “Karena tiap orang di Bali terlalu sibuk bekerja, terutama yang di bidang pariwisata,” katanya.
Di bidang seni pun, banyak bentuk seni yang sakral telah diubah menjadi profan bahkan dieksploitasi demi pariwisata. Contohnya tari Barong dan Keris. Pembangunan pariwisata pun, lanjut Jango, kadang-kadang merusak kearifan lokal. Karena itu, hal yang harusnya disadari adalah pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata.
Banyak orang sepakat bahwa keunikan Bali karena kekayaan budaya dan kehidupan yang religius, termasuk sistem Banjar. “Hal ini membuat saya sadar, tradisi bukan sesuatu yang usang. Tradisi dapat juga menjadi basis untuk modernisasi,” katanya. Meski relatif kecil, Jango merasa turut bertanggungjawab lewat kartun dan karakter yang dibuatnya tentang masalah-masalah di Bali.
Jango melihat pariwisata Bali dengan agak satir. Misalnya bagaiman Jakarta sangat mengendalikan pariwisata Bali dilukiskannya dengan kartun pulau Bali dengan monumen nasional menjulang di tengah-tengahnya. Judulnya sangat jelas, The Djakarta’s atau milik Jakarta. Dia juga menggambarkan bahwa globalisasi ibarat bom waktu bagi Bali. Dia menggambarkan sepasang orang tua dan anaknya berpakaian adat Bali berdiri di atas bola bertuliskan GLOBALISM dengan sumbu menyala. Bola itu siap meledak sementara ibu, bapak, dan anaknya hanya melihat sambil menutup kuping.
Dalam tiap kartunnya, Jango cenderung membenturkan dua hal itu: tradisonalisme Bali dan gegap gempita globalisasi dan pariwisata. Ada kalanya hubungan keduanya selaras kadang berlawanan.
Ini pun terwujud melalui idenya bahwa kartun memiliki elastisitas dengan pariwisata. Baginya kartun bisa jadi duta budaya. Ini pula yang membuatnya mengadakan pameran kartun internasional pertengahan November lalu. Selama ini banyak digelar festival ini itu untuk memulihkan pariwisata Bali. “Tapi kurang respon dan keterlibatan orang luar negeri. Maka saya ingin melaksanakan pameran yang bisa melibatkan orang luar negeri,” ujarnya.
Tawaran untuk berpameran disambut hangat kartunis-kartunis negara lain. Termasuk kartunis dari Rumania, Brazil, Polandia, Slovakia, hingga Iran. “Meski pengetahuan tentang Bali tergolong kurang, namun mereka sangat merespon tawaran ini,” kata Jango. Pada mereka, Jango dan panitia memberikan informasi tentang Bali lewat tulisan dan foto.
Meski singkat, tak sampai seminggu, bagi Jango pameran itu berhasil. Buktinya banyak kartunis asing yang terlibat. Artinya dari segi responsif itu berhasil. “Sayangnya promosi pameran kurang sehingga kurang terdengar,” katanya.
Sebagai Ketua Pakarti, Jango menilai masih banyak masalah untuk pengembangan kartun di Indonesia. Salah satunya karena kurangnya budaya baca. “Kartun itu sifatnya cerdas. Orang perlu tahu untuk konteks apa kartun dibuat. Jadi kalau yang lihat kartun itu tidak nyambung ya berarti yang melihat kurang wawasan,” katanya.
Pengembangan kartun pun masih berpusat di Jawa, Bali, dan kini di Makassar. Di daerah lain masih kurang. Dia mengaku beberapa kali ditelpon kartunis lain cuma mau minta tolong agar kartunnya bisa dimuat di media massa. “Saya kan bukan pemilik koran,” katanya.
Setubuhh… oh iya di situs saya : http://www.baliniku.com sekarang menjual Merchandise BOGBOG secara resmi, hal ini cuma untuk membantu rekan-rekan di BOGBOG , karena BOGBOG merupakan aset Bali yang berharga supaya bisa lebih dikenal lagi…
bog-bog keren !
boleh ga dijadikan objek penelitian untuk skripsi ???