Reklamasi vs revitalisasi mampu menampilkan perpecahan masyarakat Bali.
Friksi yang muncul begitu menganga. Perang wacana lewat koran dan spanduk menghiasi Bali. Kaum muda menjadi garda terdepan menyuarakan penolakan. Sementara kaum oportunis justru sebaliknya.
Para oportunis justru mendukung proyek revitalisasi ini.
Reklamasi dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki beberapa arti: 1. bantahan atau sanggahan (dng nada keras); 2. usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna (msl dng cara menguruk daerah rawa-rawa); 3. pengurukan (tanah).
Reklamasi Teluk Benoa dapat mewakili seluruh makna yang tersebutkan tadi.
Pengurukan (tanah) memang menjadi sebuah proses yang akan dilakukan. Menguruk Teluk Benoa dengan pasir yang kemudian diuruk lagi dengan tanah. Jadi jelaslah berdasarkan arti kata nomor 3 memang sudah tepat rencana proyek di Teluk Benoa disebut reklamasi.
Arti kata kedua, reklamasi adalah usaha untuk memperluas tanah dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna. Teluk Benoa sekitar daerah Pulau Pundut memang selama ini terlihat sebagai daerah tidak berguna. Saat air surut akan terlihat daratan-daratan muncul. Bahkan sampah, terutama sampah plastik sering menjadi pemandangannya.
Dan arti kata reklamasi yang pertama ternyata bantahan atau sanggahan dengan nada keras. Reklamasi Teluk Benoa ternyata menimbulkan perlawanan yang dengan keras menolak proyek itu. Bantahan keras muncul terhadap segala pembenaran yang diajukan oleh investor.
Bantahan ini disuarakan dengan keras oleh kaum muda seperti disebut di atas. Salah satu anak muda itu adalah penggebuk drum SID, Jerinx.
Revitalisasi menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Sepertinya makna kata ini membias bila digunakan pada kasus Teluk Benoa.
Karena jelas ada penekanan pada makna menghidupkan atau menggiatkan kembali. Kata “kembali” itu berarti kegiatan itu sudah ada sebelumnya. Bukan sesuatu yang baru!
Bila melihat gambar besar rencana revitalisasi Teluk Benoa jelas sekali bahwa hasil dari kegiatan itu akan menghasilkan sebuah bentuk aktivitas baru. Hotel, arena hiburan, sirkuit dan lain-lainnya.
Sudah sangat jelas dalam rencana besar mereka tidak ada usaha menghidupkan ataupun menggiatkan kembali aktivitas masyarakat nelayan Tanjung Benoa yang dulu bahkan hingga saat ini masih menjadi nelayan tradisi. Kalau pun nanti dimunculkan, dapat dipastikan itu adalah sebuah keterpaksaan untuk bernego dengan sanggahan keras atau reklamasinya kaum muda Bali.
Kasep Tangkis
Bantahan begitu keras terhadap argumen pembenaran reklamasi Teluk Benoa bisa disebut kasep tangkis. Kasep tangkis yang dalam bahasa Indonesia berarti terlambat menangkis adalah sebuah jargon di masyarakat Bali terhadap terlambatnya respon terhadap sebuah peristiwa.
Penolakan yang muncul sudah pasti bisa disebut kasep tangkis juga. Bagaimana tidak, sosialisasi, survei hingga analisis ilmiah yang telah berjalan begitu lama baru disadari atau bahkan baru diketahui. Bahkan setelah uang satu triliun beredar habis untuk memuluskan jalannya rencana ini.
Mungkin termasuk kegiatan Artha Graha peduli, yang menjual sembako murah di Banjar-Banjar seputaran Denpasar dan Badung selatan tahun lalu. Ini murni pendapat pribadi saya yang melihat keterkaitan Group Artha Graha dengan rencana proyek reklamasi ini.
Mengapa masyarakat bisa kasep tangkis terhadap rencana besar yang bisa mengubah wajah Bali Selatan ini? Tentu karena para pemimpin Bali di Badung dan Bali telah membuka tangannya lebar-lebar untuk menerima proyek ini.
Ketua DPRD Badung dan Bali beserta para anggotanya waktu itu, sudah menandatangani persetujuannya. Mungkin juga para kepala eksekutifnya.
Apakah satu triliun yang disampaikan oleh group artha graha juga termasuk untuk mempermudah para pemimpin Bali tersebut membuka tangannya? Sekaligus mengguratkan tanda tangannya pada selembar kertas yang disebut rekomendasi?
Terus terang saya punya asumsi sendiri!
Jangan Menyerah!
Saya sering mendengar bahwa reklamasi Teluk Benoa pasti berjalan. Hanya masalah waktu dan cara membungkam kaum penentang. Beberapa vokalis sudah berhasil dibungkam.
Para wakil yang baru terpilih pun tak lebih berani menyuarakan penolakan dengan lantang. Bahkan ada anggota DPD yang dengan pongahnya bilang setuju dan ketika dihujat di medsos segera bayar slot TV untuk klarifikasi yang semakin memalukan kapasitas senator dari Bali.
Alasan hukum, iklim investasi dan perkembangan mulai dijadikan dalih. Tidak ada keberanian untuk jujur berkata, “Maaf… uang rekomendasi telah habis untuk booking artis yang harganya puluhan juta. Bahkan sisanya belum kami terima hingga sudah turun tidak lagi menjabat!. Kami salah menyetujui rencana reklamasi. Kami tidak awas dengan analis amdal yang tidak jelas.”
Saya kira cukup pernyataan gentle para wakil rakyat yang telah telanjur setuju, “Maaf!”
Tetapi gerakan penolakan reklamasi tidak akan pernah mati. Satu kawan jadi musuh, maka akan datang sepuluh kawan yang ikut bergerak menolak. Satu aktivis bisa dibungkam dengan segepok rupiah tetapi pasti akan lahir aktivis-aktivis muda dengan idealisme lebih murni.
Saya sedang menunggu satu persatu para komprador-komprador itu akan dimakan oleh tuah tanah Bali. Lewat doa dan tirakat yang telah dan terus dilakukan. Karena kami percaya harapan itu masih ada. Sekecil apapun itu!
Selama masih ada keyakinan maka niscaya semesta akan membantu perjuangan menolak reklamasi ini.
De Runguange
Penolakan reklamasi menjadi tonggak, untuk menguji mereka yang menyatakan Bali sebagai tanah kelahirannya. Juga bukti cinta bagi mereka yang menyatakan Bali sebagai rumah mereka. Berjuang demi tanah dan air yang membesarkan dan juga berkorban untuk tanah tercinta tidak pernah bisa dibeli. Priceless!
Kalau partai berkuasa di Badung dan Bali diam membisu. Kalau bupati dan gubernur tidak bergeming maka tinggalkan mereka. Biarkan mereka makan karma mereka dengan keluarga mereka. De runguange.
Di zaman ini, orang Bali percaya karma dan pala itu sangat cepat mewujud. Maka ditambahkan dengan doa dan teriakan yang tidak pernah berhenti, sudah pasti kita akan menjadi saksi akan kiamatnya sebuah generasi tua yang pongah.
Generasi “Judas” yang menjual ibu pertiwinya demi harta yang justru akan menyiksa mereka dan anak turunnya. Mari bersama-sama, biarkan alam Bali menunjukan tuahnya. Kita, kaum penolak yang selalu disebut anak-anak tak mengerti, anak-anak yang tidak jelas dan sebutan tidak jelas lainnya cukup menjaga bara penolakan ini.
Kita kaum muda belia ini memulai perubahan total di Bali ini, sampaikan kepada orang-orang tua di rumah, tetangga dan desa bahwa mereka telah salah pilih orang, salah pilih partai. Mereka telah memilih orang-orang buta bongol.
Bila menjelang pemilu baru partai-partai ini bergerak menyuarakan penolakan artinya mereka sungguh terlalu! Mereka tidak lebih makelar-makelar kekuasaan untuk kepentingan semu.
Perubahan total hanya bisa dilakukan dengan mengubah rezim penguasa. Mereka-mereka yang saat ini diam membisu di rumah-rumah wakil rakyat. Para bupati dan gubernur yang berdalih dengan perpu, UU dan aturan hukum cacat lainnya sudah selayaknya musnah dari percaturan politik Bali.
Ingat hanya perlu 40 pemuda di daerah Badung untuk duduk di kursi wakil rakyat dan 2 orang di kursi bupati dan wakil bupati. Sementara cukup 55 anak muda untuk menguasai kursi DPRD Bali ditambah 2 orang lagi menduduki kursi gubernur dan wakil gubernur, maka reklamasi Teluk Benoa pasti bisa dibatalkan dan tentunya Bali akan menjadi tempat yang lebih baik lagi.
Stop Hipokrasi dan lawan!!!! [b]