Saya bahkan bingung ketika memperkenalkan dan “memasarkan” profesi saya.
Profesi pengacara, aka advokat aka lawyer aka penasehat hukum, adalah profesi yang sangat lekat dengan masalah. Bisa jadi inilah satu-satunya profesi yang hidup dari masalah orang lain.
Tak mungkin saya bilang, “Eh, kalau mau cerai, jangan lupa hubungi saya ya..” Selain takut langsung disodori golok kok kayaknya saya ngarep banget ada orang punya masalah.
Tapi, meski berprofesi sebagai lawyer bukan berarti saya orang yang suka berperkara. Dapat kembalian kurang dari kasir saja sering saya anggap lalu. Bukan karena banyak duit tapi males memanjang-manjangkan masalah.
Terus, saya kena batunya. Asuransi gigi yang dipromokan oleh kartu kredit yang saya miliki tidak bisa mendaftarkan tiga anggota keluarga saya dengan gratis, seperti janji telemarketer yang menghubungi saya. Lebih lanjut lagi asuransi itu tidak bisa saya pakai dengan alasan tidak ada provider di kota saya tinggal.
Ini perusahaan asuransi jualan kecap atau jualan asuransi sih?!
Akhirnya saya protes. Saya kirim somasi ke perusahaan asuransi ini. Minta seluruh premi yang sudah saya bayar dikembalikan.
Btw, somasi ini semacam minyak kayu putih buat anak Palang Merah Remaja (PMR) masa saya dulu duduk di bangku SMA. Pusing, minyak kayu putih. Pingsan pas upacara, minyak kayu putih. Diare, minyak kayu putih. *ngikik*
Gayung bersambut. Mbak-mbak di bagian legal perusahaan asuransi ini menghubungi saya. Dengan gaya diplomatis dia mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan perusahaan mereka. Karena itu mereka tidak mau memenuhi permintaan saya.
Emosi dong! Tokek mau dikadalin, cuih!
Kalau mengikut watak saya sih rasanya mau menyerah saja deh. Mungkin saat itu terlalu senang bayar premi murah tapi bisa cover seluruh keluarga. Tapi saya bertekad tidak mau membiarkan perusahaan dengan marketing jualan kecap kayak begini.
Akhirnya saya minta rekaman untuk diperdengarkan. Dan, jreng jreng jreng. Jelas sekali ucapan bagian legal ini tidak sinkron dengan si telemarketer. Akhirnya bagian legal ini harus rela mendengarkan ocehan saya selama kurang lebih 1.859 detik.
Setelah itu saya closing dengan menulis surat dengan sedikit nada ancaman akan melaporkan hal ini ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.
Dan, voila!! Tidak lama saya kembali dihubungi. Mereka menginformasikan jikalau mereka menyetujui permintaan saya. Bulan depannya, laporan kartu kredit saya sudah mencetak masuknya uang premi ini.
Saya selalu bilang, berperkara itu menang jadi bara. Kalah jadi abu, jadi kalau bisa dengan cara damai kenapa harus pergi ke kantor polisi atau pengadilan. Tapi ya, kalau bisa., sekali lagi kalau bisa. Kalau tidak bisa?!
Kalau kata Om saya, Petyr Baelis, “There is no justice in this world. Not unless we make it.” Jadi ada kalanya kita harus berjuang untuk mendapatkan apa yang menjadi hak kita. [b]