Oleh Anton Muhajir
Dalam sebuah kesempatan diskusi tentang arsitektur Bali, termasuk di dalamnya adalah tentang tata kota, dosen senior di Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud) Bali Nyoman Gelebet menyatakan bahwa Denpasar memang tidak disiapkan sebagai sebuah kota. ”Denpasar hanya kumpulan desa yang dipaksa menjadi kota,” kata dosen yang rambutnya sudah memutih tersebut.
Pendapat Gelebet yang disampaikan sekitar lima tahun itu masih saja relevan kalau dibandingkan dengan kondisi Denpasar saat ini, mungkin juga sampai kapan pun itu. Meskipun menjadi ibu kota provinsi Bali, Denpasar memang tidak dilahirkan sebagai sebuah kota. Dia hanya kumpulan desa yang terhubung sama lain. Karena itu jalan raya di Denpasar pun berupa jalan tradisional. Melebarkan jalan jelas tidak mungkin karena di kanan kiri jalan itu adalah hunian padat.
Pernah juga ada yang mengatakan –saya lupa siapa- bahwa kota-kota besar di Indonesia, kecuali Batam, semuanya hanya warisan Belanda, Portugis, dan Inggris ketika menjajah Indonesia. Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, semua dibangun dan dibesarkan oleh penjajah pada masa itu. Di Bali, kota yang disiapkan pada saat itu adalah Singaraja, bukan Denpasar.
Makanya pada zaman prakemerdekaan, Singaraja tidak hanya jadi ibu kota provinsi Bali tapi juga Sunda Kecil atau Negara Indonesia Timur (NIT) yang meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sisa Singaraja, terletak di Bali bagian utara, sebagai ibu kota itu bisa dilihat dari jalan yang lebih lebar dan bangunan-bangunan tua di sana.
Sebaliknya di Denpasar. Jalan-jalan di kota ini ukurannya termasuk sempit. Hanya jalan-jalan utama seperti Jl Diponegoro, Jl PB Sudirman, Jl WR Supratman, dan seterusnya yang ukurannya relatif lebih lebar. Tapi tidak dengan jalan-jalan di tengah kota. Lihat misalnya Jl Sulawesi, Jl Blimbing, Jl Gunung Subur, Jl Sidakarya, dan seterusnya. Jalan-jalan ini lebarnya hanya sekitar 4 meter, atau malah kurang.
Parahnya lagi, sejalan dengan peningkatan daya beli masyarakat, kendaraan bermotor di Denpasar pun terus bertambah. Data di situs resmi Pemerintah Kota Denpasar, pada tahun 2006 jumlah penduduk Denpasar 488.017 orang. Namun jumlah kendaraan bermotornya sampai tahun 2000 saja mencapai 449.094. Artinya hampir tiap satu orang di Denpasar punya satu kendaraan. Itu data di atas kertas. Belum termasuk mereka yang tinggal tidak tetap atau tidak terdaftar resmi.
Karena itu perlu pengetahuan khusus –cailah!- tentang beberapa jalan di Denpasar yang rawan macet. Kalau Anda buru-buru dan mau melewati daerah ini, sebaiknya pilih jalan lain saja. Penyebab jalan-jalan ini macet biasanya adalah keramaian, ya iyalah!, seperti sekolah, pasar, rumah ibadah, atau pertokoan.
Inilah sebagian di antaran jalan-jalan rawan macet tersebut.
Jl Sulawesi
Ini mungkin jalur paling macet di Denpasar. Penyebabnya kompleks. Di kanan kiri sepanjang jalan ini ada toko-toko kain, bordir, dan tekstil. Makanya jalan ini terkenal sebagai pusat toko kain di Denpasar. Lebar jalan hanya sekitar empat meter. Namun di sisi kiri jalan satu arah ini penuh dengan sepeda motor parkir. Kalau ada motor berhenti untuk parkir atau cabut setelah parkir, kendaraan lain yang sedang berjalan pun akan berhenti.
Namun penyebab macet paling penting mungkin bukan toko-toko kain itu sendiri tapi pasar Badung. Jalan ini memang ada di sisi timur Pasar Badung. Namanya pasar, pasti dong pusat kumpulnya banyak orang. Di ujung jalan, sebelum Jl Gajah Mada, ada tempat parkir motor luas. Sering kali motor-motor itu meluber sampai di jalan. Maka macetlah jalan di sana.
Puncak macet di jalan ini sekitar pukul 4-6 sore. Pada jam pulang kantor, dijamin jalan ini macet cet cet total. Soalnya sudah jam kantor, ada pula ratusan mobil pick up membawa sayur dan buah ke pasar. Mobil-mobil ini masuk dari pintu timur pasar. Ketika satu mobil berhenti untuk membongkar barang di dalam pasar, maka semua mobil pick up di belakangnya, termasuk pengguna jalan lain harus berhenti.
Oya, di sekitar pasar ini juga ada beberapa jalan rawan macet. Misalnya Jl Kartini, meski tidak terlalu parah, dan Jl Gunung Kawi di barat pasar. Jl Gunung Kawi suka macet pada jam-jam pagi dan petang juga. Penyebabnya ada pasar tumpah sayur dan buah-buahan di sepanjang jalan yang menghubungkan Jl Gajah Mada dan Jl Hasanuddin ini.
Jl Sudirman
Jalan ini sebenarnya sangat lebar. Mungkin malah jalan terlebar di Denpasar. Sebab dia terdiri dari dua jalur setelah Jl Sutoyo ke arah Jl Waturenggong, melewati perempatan yang mempertemukan Jl Puputan Renon dan Jl Dewi Sartika. Masing-masing jalur jalan ini sekitar enam meter. Jadi total jenderal lebar jalan sekitar 12 meter.
Meski dua jalur, jalan ini satu arah di bagian utara sebelum perempatan Jl Dewi Sartika dan Jl Puputan Renon, biasa disebut perempatan Matahari karena ada mall Matahari di sana. Di sisi selatan, baru jalan ini dua arah, setelah perempatan hingga Jl Waturenggong. Nah, di bagian selatan inilah sering macet terutama pada jam-jam masuk sekolah dan pulang sekolah.
Pusat macet itu ada di sekitar kompleks sekolah Santo Yoseph. Kompleks sekolah yang meliputi SD, SMP, dan SMA ini termasuk sekolah elit di Denpasar. Namanya sekolah elit, pasti banyak yang kaya. Karena itu muridnya banyak yang diantar naik mobil. Sayangnya, sebatas yang saya tahu, tidak ada tempat parkir khusus untuk mobil pengantar di sekolah ini. Parkirnya nebeng di pinggir jalan. Kadang-kadang ada yang malah hanya berhenti di pinggir jalan untuk menurunkan murid. Maka, jadilah macet.
Parahnya lagi di sisi timur kompleks sekolah ini ada jalan memutar ke arah kampus Universitas Udayana Denpasar. Untuk memutar, tentu harus berhenti dulu, menunggu jalan aman untuk memutar. Mobil berhenti untuk menaikturunkan murid ditambah kendaraan berhenti untuk memutar, maka lengkaplah penyebab kemacetan di sini. Tapi di luar jam-jam tersebut, jalan ini sangat lancar.
Jl Diponegoro
Jalan ini panjang sekali. Anehnya, seingat saya, jalan ini terpotong Jl Raya Sesetan. Tapi saya tidak ingat persis. Nanti saya cek lagi. 🙂 Terakhir kali saya lihat sih jalan ini masih terpotong. Jadi di sisi selatan setelah perempatan Jl By Pass Ngurah Rai ke arah Jl Raya Sesetan, nama jalan ini Jl Diponegoro. Lalu terpotong Jl Raya Sesetan. Tapi di sisi utara juga namanya sama Jl Diponegoro.
Bagian yang suka macet ada di bagian utara dari Jl Waturenggong ke arah Jl Hasanudin, terpotong perempatan Jl Dewi Sartika dan Jl Teuku Umar. Di bagian ini jalan suka macet terutama pada hari Jumat karena ada orang jumatan di Masjid An-Nur Jl Diponegoro. Pas jumatan, jalan di depan masjid pasti ditutup. Di luar jam jumatan itu, jalan di sekitar sini lancar.
Kemacetan yang terjadi tiap hari di jalan ini ada di bagian setelah perempatan Jl Dewi Sartika dan Jl Teuku Umar. Biasanya jalan kendaraan bermotor di sini agak lambat, bahkan tersendat pada jam-jam sibuk. Tidak jelas kenapa. Tapi biasanya perjalanan agak lancar setelah melewat Ramayana Mall. Jadi ya bisa jadi kendaraan ke Ramayana Mall penyebab macet di sini.
Jalan kembali macet ketika mendekati daerah Suci. Mungkin karena ada perempatan Jl Hasanudin-Jl Sumatera-Jl Diponegoro di sini.
Oya, soal temat ibadah yang jadi sumber kemacetan itu, tidak hanya masjid. Pada waktu tertentu, misalnya purnama, jalan sekitar pura Jagatnata di Puputan Badung pasti macet. Karena orang-orang yang bersembahyang memarkir sepeda motor di jalan ini. bahkan Jl Surapati pun ditutup karena jadi tempat parkir.
Aktivitas umat Hindu lainnya seperti ngaben, melasti, dan seterusnya juga sering bikin macet. Nah, kalau yang satu ini sih tidak bisa ditebak kapan dan di mana. Mungkin bisa diperkirakan dari dewasa (hari baik) tertentu. Sayangnya saya tidak cukup dewasa untuk mengerti soal dewasa. 🙂
Pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu, sekitar Puputan Badung pun suka macet karena banyak umat melaksanakan kebaktian. Jl Debes, Jl Kepundung, dan Jl Surapati kadang dipakai sebagian badannya untuk parkir. Jadi ya bersiaplah tersendat atau mahal dialihkan jalannya kala pas akhir pekan.
Jl Arjuna
Jalan ini sempit. Lebarnya mungkin tak lebih dari empat meter. Tapi tingkat kepadatan kendaraan tinggi. Bagian jalan yang suka macet ada di sisi selatan, mendekati Bank BNI. Bisa jadi karena ada lampu merah di ujung jalan dan banyak perempatan kecil melewati jalan ini seperti Jl Nakula, Jl Sakura, dan seterusnya.
Selesai lewat jalan ini, di Jl Sumatera biasanya agak macet juga. Tapi termasuk jarang.
Jl Gunung Agung
Hampir jam berapa pun jalan di Denpasar bagian barat ini macet. Bisa jadi karena di daerah ini ada beberapa sekolah dan pasar barang bekas. Terutama pada jam pergi dan pulang sekolah. Wah, bisa tidak bergerak sama sekali.
Jalan ini sebenarnya relatif lebih lebar dibanding, misalnya, Jl Arjuna. Tapi mungkin karena banyak kendaraan parkir di pinggir jalan, jadinya perjalanan pun tersendat. Tapi bagian paling macet ini memang ada di dekat-dekat sekolah dan pasar barang bekas itu. Setelah daerah ini, jalanan tidak macet. Biasa saja.
Jl Kamboja
Ini kawasan pendidikan. Pada jam-jam masuk dan pulang sekolah, dijamin jalan ini macet. Soalnya sepanjang jalan ini memang banyak sekali sekolah. Ada SMA 1, SMA 7, SMA Perintis, dan banyak lagi sekolah lain.
Di bagian selatan jalan ini, mendekati Jl Hayam Wuruk, ada pasar Kreneng. Pada sore atau malam hari, juga kadang tersendat. Tapi tidak terlalu parah sih.
Jl Jayagiri
Di pertigaan jalan ini dengan Jl Hayam Wuruk ada sekolah elit Cipta Darma. Biasanya di sini macet total ketika jam masuk dan pulang sekolah. Jadi sebaiknya hindari saja jalan ini pada jam-jam tersebut.
Jl Imam Bonjol
Bagian paling macet di jalan ini ada di perempatan Jl Imam Bonjol-Jl Teuku Umar –Jl Teuku Umar Barat (Jl Marlboro). Jam paling menjengkelkan adalah ketika sore hari, jam pulang kerja. Wah, benar-benar menjengkelkan. Dari arah Kuta ke arah Denpasar, bisa macet panjang banget di bagian ini. Mungkin karena banyak orang Denpasar bekerja di Kuta yang melewati jalan ini.
Selain di bagian ini, pada jam pulang kerja itu perjalanan juga agak tersendat di daerah pertigaan Jl Gunung Sari dan Jl Imam Bonjol.
Hmm, apa lagi ya? Sudah ah. Itu saja. Kalau ada tambahan jalan-jalan rawan macet lain, silakan bagi-bagi kabar. [b]
Menurut rekan-rekan, adakah jalan di denpasar yang bisa memberikan identitas ruang yang bali? ( terutama untuk koridor komersialnya?)