Kawasan Desa Suana, Nusa Penida terlihat ramai seperti biasanya. Perkembangan pariwisata meningkat masif. Lokasi desa yang berada di pesisir sekaligus perbukitan jadi pemikat para pemburu pemandangan. Jajaran hamparan panel surya di Bukit Dusun Karangsari menjadi pemandangan baru melapisi perbukitan seluas 4.5 hektare itu. Ribuan panel ini diandalkan untuk menghasilkan energi 3,5 Mega Watt lalu dijual ke anak perusahaan PLN, Indonesia Power. Geliat mengejar Bali zero emission melalui pemanfaatan energi baru terbarukan memasuki babak baru.
Wacana Bali Mandiri Energi Bersih terus digaungkan. Terlebih sejak target-target rencana energi baru terbarukan (EBT) yang tertulis dalam beberapa peraturan tahun 2020. Sekian hektar lahan di beberapa titik dibangun mega proyek sejak tahun 2000-an. Namun, sampai 2023 capaiannya tak memenuhi target. Tak sedikit proyek EBT mangkrak.
Upaya mencapai target energi bersih ini masih menjadi pertanyaan besar. Polanya sama, proyek dibangun untuk menyambut ingar bingar pertemuan internasional yang digelar di Bali. Namun, wacana perawatan untuk keberlanjutan sangat jarang terdengar. Akankah target bauran EBT di Bali hanya wacana?
Refleksi Mega Proyek EBT Mangkrak, Masihkah Ada Harapan?
PLTB dan PLTS di Nusa Penida
Tiang menjulang tanpa kincir sudah terlihat setelah setengah perjalanan menaiki Bukit Puncak Mundi, Nusa Penida. Setiap pembangkit listrik memiliki rumah daya. Tempat mesin-mesin mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) itu tinggal bangunan. Tak ada mesin atau inverter yang tersisa dari 9 PLTB yang ada di sana. Semak belukar tumbuh subur di daerah kering berbatu putih itu. Tak sedikit grafiti-grafiti menghiasi tembok rumah daya. Dalam perkiraan, meski kondisinya berada di dalam semak, masih ada jejak orang yang datang ke proyek mangkrak itu.
Pada awalnya Nusa Penida hanya mengandalkan satu pembangkit listrik tenaga diesel berkapasitas 2,7 MW. Namun melalui program listrik pedesaan maka akhir tahun 2005 dioperasikan sebuah unit PLTB di Nusa Penida. Kemudian ditambah lagi sebuah unit pada akhir tahun 2006 sehingga terdapat 2 PLTB dengan kapasitas 2×80 kw. Kedua PLTB ini merupakan PLTB pertama di Indonesia yang terkoneksi ke jaringan (on grid).
Kedua pembangkit ini dibangun oleh Prolides Bali NTB-PLN Distribusi Bali dengan biaya sekitar Rp 3,5 miliar per unit yang dibiayai oleh APBN. Turbin angin diletakkan di atas tower pada ketinggian 30 m dari ground level. Kedua PLTB ini dikoneksikan dengan grid 20 kv sehingga beroperasi secara hibrid dengan PLTD, untuk memasok keperluan listrik di Kepulauan Nusa Penida.
Setelah PLN membangun keduanya, PLTB ini diserahkan ke Pemerintah Klungkung sebagai pemilik dan dioperasikan serta dipelihara oleh Koperasi Surya Sejahtera. Setelah adanya pembangkit tenaga bayu, PLN menjadi hemat sekitar Rp 315 juta. Penghematan ini berupa berkurangnya bahan bakar solar penggerak pembangkit tenaga diesel yang dibutuhkan 6.300 liter per hari.
Dikutip dari website ESDM Provinsi Bali, hingga Bulan September 2007 total energi yang dihasilkan oleh kedua unit PLT Bayu yang beroperasi di Puncak Mundi mencapai 164,7 MWh. Itu dengan rincian unit 1 beroperasi sejak April 2006. Sedangkan unit 2 beroperasi sejak Bulan Desember 2006. Energi yang dihasilkan tersebut setara dengan 49.429 liter solar. Dengan mempertimbangkan harga solar Rp 6500/liter maka penghematan yang dilakukan sekitar Rp 321 juta. Keuntungan lain pengoperasian listrik tenaga angin seperti di Puncak Mundi ini adalah terhindarkannya udara dari emisi CO2. Dengan mempertimbangkan produksi emisi diesel sebesar 0,3 kg/kWH maka pengoperasian PLT Bayu di Puncak Mundi selama ini bisa menghindari terbuangnya gas CO2 sebesar 49,43 ton.
Pada tahun 2007 dilakukan pembangunan tujuh unit PLTB di mana tiga unit berkapasitas masing-masing 85kw sementara empat unit lainya berkapasitas 735 kw (80×4=320, 85×3=255 kw, total 735 kw. PLTB nusa penida di produksi oleh perusahaan turbin di belanda yang bernama Wind Energy Solution (WES). Turbin bekerja pada kecepatan angin di atas 3 m/s dan mencapai kelayakan ekonomis pada kecepatan angin rata-rata 5 m/s. WES 18 telah dilengkapi dengan kemudahan untuk dioperasikan secara hibrid dengan generator diesel. Dengan umur ekonomis sekurangnya 20 tahun, kecepatan angin rata-rata 5,5 m/s.
Data pembangkit listrik kutampi PLTB 1 WES (80kw) , PLTB 2 WES(80kw), PLTB 3 Indo Electric(85kw), PLTB 4 Indo Electric(85kw), PLTB 5 Indo Electric(85kw), PLTB 6 WES (80kw), PLTB 7 WES (80kw), PLTB 8 ALTO (-), PLTB 9 WES
Dari sembilan pembangit berkapasitas masing-masing 80KW (enam unit) dan 85KW (tiga unit), PLTB ini mampu memproduksi energi sekitar 735 KW. Pembangkit listrik ini digadang-gadang mampu mengurangi emisi karbon yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Kutampi. Dengan mempertimbangkan produksi emisi diesel sebesar 0,3 kg/kWh, maka setidaknya 220,5 ton emisi gas C02 terbuang ke udara.
Pengelolaan PLTB di Nusa Penida dibagi 2. Total PLTB 9 buah. Sebanyak 6 PLTB di bawah naungan ESDM melalui Koperasi Surya Sejahtera Desa Klumpu di Nusa Penida dan 3 PLTB dikelola PLN Nusa Penida. Nyoman Sudara seorang teknisi pertama ketika PLTB itu beroperasi. Ia sebelumnya merupakan buruh bangunan. Nyoman mendapatkan pelatihan kelistrikan selama 2 tahun sebelum akhirnya ia direkrut melalui vendor outsourcing. Tahun 2007 ia menandatangani kontrak kerja sebagai teknisi lapangan yang menjaga 3 PLTB yang dikelola PLN. Minimnya teknisi masa itu, Nyoman Sudara akhirnya dilimpahkan untuk membantu mengurus 6 PLTB proyek ESDM.
Nyoman mulai merawat 9 PLTB secara rutin. Menurutnya menjadi teknisi PLTB tugasnya sangat beresiko. Tugasnya mulai dari mencatat energi yang masuk ke inverter. Juga membersihkan secara berkala keseluruhan lokasi PLTB. Memastikan alarm beroperasi dengan baik. Mengecek tegangan yang disuplai dari PLN. Tegangan yang dihasilkan oleh turbin. Termasuk kecepatan anginnya. “Saya mencatat perubahan angin setiap 1 jam secara manual,” katanya.
Sebanyak 9 PLTB ini menggunakan 2 sistem pengoperasian yang berbeda. Dari 6 PLTB yang dikelola Koperasi Surya Sejahtera merupakan produk yang diimpor dari Belanda-Wind Energi Solution (WES). Menggunakan sistem pengoperasian sistematis dari sensor. PLTB ini menggunakan 2 baling-baling saja. Secara perawatannya juga lebih sistematis melalui mesin kontrol di rumah daya. Sebuah bangunan untuk menyimpan mesin-mesin pengoperasian PLTB. Letaknya di dekat PLTB dibangun.
Berbeda dengan pengoperasian 3 PLTB yang dikelola PLN. Produk ini buatan dari negeri Cina. Ciri-cirinya menggunakan 3 baling-baling. Menggunakan sistem buka-tutup untuk perawatannya. Artinya untuk perawatan PLTB ini, Nyoman harus naik ke baling-baling untuk mengisi oli. Kemudian cek alarm sebagai sensor turbin berjalan atau tidak.
Selama 3 tahun merawat PLTB, kondisi angin ternyata tak konsisten seperti perkiraan awal. Angin kencang yang tiba-tiba berhembus di Puncak Mundi itu menggerakkan turbin lebih cepat dan berputar di luar kontrol. Sebanyak 3 PLTB yang menggunakan sistem buka-tutup tiba-tiba tak bisa tertutup. Nyoman mengecek, sensornya tidak berfungsi. Putaran yang semakin kencang menggoyangkan tower PLTB setinggi 30 meter. Nyoman bersama temannya yang ketika itu ada di Puncak Mundi melaporkan ke PLN.
“Saya videokan kondisi PLTB waktu itu. Kemudian saya kirimkan ke PLN, kalau sampai 24 jam tidak tertangani tower PLTB bisa roboh. Dari PLN memberitahu agar melakukan tindakan darurat, apapun yang penting turbinnya berhenti,” cerita Nyoman Sudara melalui sambungan telepon ketika dihubungi.
Sensor yang tidak berfungsi ketika itu, menyebabkan turbin terus bekerja. Akhirnya Nyoman Sudara dibantu temannya menghentikan secara manual. Memanjat tower PLTB kemudian menutup mesin kontrol yang berada di pusat baling-baling. Setelah turbin menunjukkan gerakan perlahan baru ia lebih tenang.
Momen membahayakan itu seakan menjadi kenangan hingga saat ini bagi Nyoman Sudara. Sesekali ketika ia melihat kembali video-videonya saat memanjat tower PLTB ia merasa tidak percaya memiliki keberanian itu.
Selain tindakan berbahaya itu, Nyoman juga mendapati tanda-tanda kerusakan PLTB yang ia kelola di tahun ketiga. Termasuk 6 PLTB lainnya. Ia mencatat tanda-tanda kerusakan itu seperti sensor on-off mulai tidak berfungsi, inverter mati, dan alarm berbunyi tidak wajar.
Nyoman memetakan masalah utamanya akibat angin yang tidak kontinyu. Sehingga berdampak pada putaran turbin dan listriknya tidak stabil. Segala permasalahan ini akhirnya merusak bagian-bagian turbin serta mesin secara bertahap. Kerusakan kemudian dilaporkan ke PLN. Satu per satu komponen yang rusak diorder untuk diganti. Namun, orderannya tak kunjung datang.
“Saya order 1 komponen, dibilang seminggunya lagi akan datang. Setelah seminggu menunggu, dibilang 1 bulan lagi. Begitu seterusnya sampai satu per satu komponen lainnya ikut rusak,” imbuhnya.
Padahal, untuk sebuah mesin kelistrikan, Nyoman memaparkan, setiap satu kerusakan harus segera mendapat penanganan. Jika tak ditangani atau lama diperbaiki maka akan berdampak pada komponen lain. Kerusakannya jadi makin parah.
Kondisi tak ada suplai komponen baru sebagai pengganti yang rusak, memperparah PLTB-PLTB lainnya. Tanda pertama yang muncul dimulai dari sensor yang tidak mendeteksi komponen lain. Kemudian kerusakan inverter ditandai dengan bunyi mesin. Teknisi gabungan saat itu diturunkan oleh PLN.
Untuk membantu menghidupkan PLTB 5, yang saat itu rusak paling awal, dipinjamlah inverter PLTB yang lain. Namun, ternyata bukannya membantu, justru inverter yang dipinjam ikut rusak. Pada awal tahun 2009, PLTB 5 tak tertolong dan tidak bisa beroperasi. Nyoman selesai merawat sampai tahun 2009 saja. Setelah itu pengelolaan PLTB dilimpahkan ke Pemda Klungkung.
“Mau tak mau saat itu kami menerapkan sistem kanibal,” sebut Nyoman. Komponen yang masih hidup diambil untuk membantu komponen yang mati. Namun apa daya matinya bertahap dan tak ada yang selamat. Tahun 2009 alhasil, PLTB tidak menghasilkan listrik sama sekali. Sebanyak 3 PLTB di bawah naungan PLN mati di awal 2009. Selanjutnya disusul 6 PLTB mesin yang didatangkan dari Belanda tidak menghasilkan listrik lagi pada akhir 2009.
Nasib tragis juga terjadi di pembangkit EBT lain. Pembangkit LIstrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun berdekatan dengan PLTB di Puncak Mundi juga mengalami nasib yang sama. Semak belukar tumbuh subur di dalam kawasan yang ditembok besi. Tembok pintu masuk yang bercorak ukiran Bali pun sudah terhalang rumput tinggi hampir setinggi 3 meter. Solar panelnya memang masih utuh namun beberapa kabel penghubung antar panel sudah lepas.
Rumah Daya masih menyimpan mesin-mesin seperti inverter dan alarm. Bunyi-bunyi itu seperti token listrik yang kehabisan pulsa. Penanda inverter hidup. Ada beberapa inverter berwarna biru dan mesin lain. Kami tak bisa mengakses lebih detail bagian mesin mana yang masih menghasilkan bunyi. Sebab pintu yang terbuat dari besi ringan itu terkunci rapat dan berkarat. Mengaksesnya pun tak mudah, karena tanaman berkayu memenuhi halaman itu.
Semasih PLTS di Puncak Mundi beroperasi, juga dirawat oleh Nyoman Sudara sejak 2017. Nyoman ketika itu dimintai bantuan untuk membersihkan solar panel. Ia mengenang kegiatannya dulu. Tiap harinya Nyoman membersihkan solar panel secara manual, menggunakan sapu yang ditambah pemanjang. Agar bisa mencapai bagian tengah panel. Memperbaiki kabel yang terhubung antar panel. Setiap jam ia mencatat berapa energi yang dihasilkan.
Menurutnya, kawasan PLTS di Puncak Mundi saat ia rawat masih bersih. Tak ada penghalang tanaman di atas panel yang menghalangi terserapkan matahari.
“Tiang anggap ngayah bersih-bersih tiap hari di sana karena saya sekalian mebanten (sembahyang) keliling di seluruh kawasan PLTS,” ceritanya.
Namun, Pandemi Covid mengubah semuanya. Ia semula diberikan uang bersih-bersih sebesar Rp 1 juta per bulan oleh PLN. Tahun 2019 akhir ketika pandemi merebak, ia dihubungi pihak PLN bahwa tidak ada anggaran lagi untuk menggaji dirinya. Akhirnya ia mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya selama pandemi.
Kondisi terakhir ditinggalkan Nyoman, ia ingat PLTS itu masih bisa menghasilkan listrik. Terdapat 2 inverter dan 1 mesin alarm di Rumah Daya. Dulu ketika masih beroperasi total terdapat 5 inverter dan menghasilkan energi 95 Kv. Saat ini hanya tersisa 2 inverter dan 1 mesin alarm yang tertinggal di Rumah Daya.
Nyoman menduga penyaluran energi PLTS ini tidak efektif. Sebab banyak energi yang terbuang di jalan ketika menyalurkan listrik ke PLN.
“Satu inverter di rumah daya masih hidup. Saya masih sering mengecek ke sana (ke Puncak Mundi). Hanya saja saya tidak tahu kemana energi itu disalurkan. Sebab kabel besar di PLN yang dulu terhubung sudah dicabut,” kata Nyoman yang saat ini sudah berkerja sebagai teknisi di PLN Nusa Penida.
PLTS Kubu
Memasuki gang berukuran satu mobil, dari Jalan Raya Amlapura-Singaraja. Sekitar satu kilometer terlihat lima gardu listrik yang menjulang tinggi. Saat saya dekati, terdapat kertas pudar yang masih menempel. Bagian atas, bertuliskan Energi Sumber Daya Mineral untuk kesejahteraan rakyat berdamping sejajar dengan logo PLN. Bagian kedua stiker peringatan listrik tegangan tinggi, sejajar dengan stiker PT. Surya Energi Indotama (SEI) selaku kontraktor pembangun proyek ini.
Ribuan buah panel surya berbaris rapi menghadap arah barat laut. Inilah PLTS Kubu yang terletak di Desa Baturinggit Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem, 100 km dari Kota Denpasar. Atau kurang lebih 3 jam berkendara dari Kota Denpasar.
Saat itu masih pagi, tidak terlihat ada aktivitas apapun di area PLTS. Hanya ada gulma yang tumbuh subur, hingga anakan pohon asem yang muncul dari celah panel.
Pintu pagar terbuka lebar, tidak ada gembok yang mencantol. Seseorang bisa saja keluar masuk ke PLTS ini.
PLTS Kubu di Karangasem, dibuat tahun 2013 bersamaan dengan PLTS Kayubihi di Bangli. Dikutip dari Bali Tribun Bulan Juli 2017, menyebutkan 19 dari 50 inverter sempat rusak dan sudah diperbaiki oleh petugas Kementerian ESDM. Kemudian Bulan Februari 2018, melalui siaran pers website resmi daerah Karangasem telah dilakukan serah terima revitalisasi proyek. Dari Kementerian ESDM selanjutnya PLTS ini akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bernama PT Karangasem Sejahtera.
Tapi hingga kini pihak BUMD PT Karangasem Sejahtera belum menandatangani surat perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (JBTL) dengan PLN selaku pembeli. Pada Januari 2022, media ramai memberitakan bahwa DPR mengunjungi PLTS yang sudah tak beroperasi itu. Namun, hingga sekarang belum ada kabar terbaru.
Pada 4 Maret 2023, saya masuk ke dalam untuk mencari tahu apakah ada petugas saat itu. Menyusuri panel surya di tanah seluas 1,2 hektar. Di pinggir barisan panel surya, terpasang inverter merek dagang Sungrow buatan Cina. Inverter itu tidak menunjukan cahaya lampu maupun angka yang seharusnya muncul di layar.
Sebagai catatan, inverter adalah peralatan elektronik yang berfungsi untuk mengubah sistem tegangan searah (DC) keluaran panel surya menjadi tegangan listrik bolak balik atau alternating current (AC) jaringan listrik PLN.
Jalan Berliku Birokrasi EBT di Bali
I Gusti Bagus Setiyawan, Sub-koordinator Dinas Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) menjelaskan satu per satu kondisi proyek pembangkit listrik yang dimulai tahun 2007 di Nusa Penida, Klungkung. Tahun 2007 pemerintah pusat merencanakan membuat desa mandiri energi. Ada beberapa jalan yang ditempuh untuk merealisasikan itu. Salah satunya dengan memberikan bantuan ke Pemerintah Provinsi Bali terkait mandiri energi di Nusa Penida.
Sebagai realisasi, dibangun PLTB, PLTS, dan biogas di Nusa Penida. Kemudian diserahterimakan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung. Alasan kekurangan sumber daya manusia dan anggaran dana yang terbatas, dari Pemerintah Kabupaten Klungkung tidak menerima hibah itu.
“Maka jadinya terbengkalai. Jadi antara pihak pusat dan daerah ada keracunan, karena listriknya sudah masuk ke PLN tapi pihak Kementerian tidak bisa seterusnya memelihara karena pemeliharaan harusnya di pihak kabupaten,” sebut Gus Kaca, panggilannya.
Jalan tengah lainnya, pihak Kementerian menawarkan melakukan revitalisasi dan perbaikan dengan catatan pihak kabupaten mau menerima dan mengelola. Tapi pihak Klungkung tetap tidak menerima. Lantas bagaimana alur mega proyek EBT ini?
Bali dipetakan memiliki potensi energi surya yang besar. Pemetaan ini sudah terlampaui sehingga sudah masuk di perencanaan. Sebagai tahapan awal persiapan agar pembangkit listrik tak lagi mangkrak, Gus Kaca menyebutkan harus dimulai dari badan pengelola. Hibah energi biasanya langsung turun dari Kementerian. ESDM hanya menjadi gerbang masuk sebuah program. Sebab untuk pelaksanaannya akan dilimpahkan ke kabupaten.
“Dari pihak kabupaten yang harus membuat suatu badan usaha seperti koperasi atau apapun itu, melakukan proses perizinan ke Kementerian pusat,” paparnya.
Termasuk juga mengurus proses jual beli dengan PLN sehingga mendapat angka yang pasti. Begitu ditandatangani oleh PLN dan Perusda, maka badan usaha itulah yang menjadi roda putar sebuat proyek pembangkit listrik.
“Jadi apapun yang diproduksi oleh PLTS, maka akan dibayarkan oleh PLN. Uang tidak masuk ke Pemda tapi masuk ke Perusda,” imbuhnya ketika disambangi di kantor ESDM Provinsi Bali.
Ketika memasuki tahap pembangunan, pemerintah daerah yang melakukan permohonan ke pusat untuk mengurus perizinan kelistrikan melalui Perusda. Selanjutnya, pihak kabupaten yang memiliki wewenang untuk menentukan pegawai Perusda dan direktur dipilih untuk mengelola PLTS.
“Kami akan berkomunikasi dengan PLN jika kapasitas besar (seperti sekian megawatt) maka listrik dijual ke PLN. Sebab PLN, perusahaan satu-satunya yang menjual listrik ke masyarakat,” tambahnya.
Dengan adanya pembangkit yang besar, maka kerjasama dengan PLN bisa diteruskan. Sehingga mega proyek energi di Bali selalu melibatkan dan masuk dalam perencanaan PLN. Ketika sudah terjadi kesepakatan, PLN yang akan meneruskan prosesnya. Salah satu percontohannya ada di PLTS Kayubihi, Kabupaten Bangli.
Pemanfaatan PLTS ini biasanya menggunakan lahan pemerintah. Tidak menggunakan lahan masyarakat yang besar. Kecuali rencana PLN yang membangun PLTS 2×25 megawatt di daerah timur dan barat Pulau Bali.
“Kalau memang rencana itu berjalan, pasti membutuhkan lahan yang besar itu pasti membutuhkan sosialisasi juga,” tambahnya.
Gus Kaca menegaskan sekali lagi kejadian proyek pembangkit listrik yang mangkrak seperti di Nusa Penida dan Kubu. Kasus itu masuk dalam kejadian di luar kontrol. Ia menyebut proyek mangkrak itu kurang perencanaan. Proyek EBT yang mangkrak merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Sama halnya proyek-proyek yang dibuat ketika acara (seperti G20).
Sistem pemberian secara langsung dari pusat ke kabupaten seringkali menjadi sumber persoalan. Kabupaten seakan harus bertanggung jawab pada proyek dadakan ini.
Kabupaten merasa tidak meminta apalagi ini EBT yang memerlukan kesiapan banyak hal. Misalnya membutuhkan sumber daya yang mumpuni. Jika mendadak diberikan, kabupaten jadi tidak siap untuk pemeliharanya operasionalnya, suku cadangnya, dan bagaimana cara merawatnya. Ketidaksiapan itu menjadi penyebab mangkraknya PLTB dan PLTS di Nusa Penida.
“Butuh sumber daya manusia untuk merawat, yang artinya harus diberikan imbal balik juga. Contohnya kami di kantor dapat bantuan 40kw, kami punya sumber daya manusia yang merawat meski belum memahami tapi kami mendapat akses untuk aktif belajar,” katanya.
Lalu bagaimana dengan pemeliharaan proyek EBT, masukkah dalam perencanaan? Gus Kaca mengembalikan urusan pemeliharaan ke pemerintah daerah. Kemudian keperluan-keperluan itu bisa diajukan ke pemerintah provinsi. Melalui provinsi akan menyampaikan ke Kementerian ESDM terkait keperluan pemeliharaan apa saja yang dibutuhkan.
Menanggapi PLTS Kubu yang mangkrak, pihaknya sudah sempat memberikan tawaran untuk revitalisasi ke Pemda Karangasem. Langkah ini ia lakukan setelah diberikan kewenangan oleh pusat. Namun, ia melihat pengelola PLTS yang tak bisa merawat hibah itu.
“Kemarin saya lihat di dalamnya agak kebakar sehingga PLTS tidak berfungsi lagi. Otomatis tidak bisa digunakan. Pengelola bukan memperbaiki PLTS-nya, justru ditambahkan aliran dari PLN. Jadinya mangkrak, padahal itu gratis,” ceritanya.
Ia memastikan lagi jika berhubungan dengan energi listrik, akan terus berjalan dan harus disalurkan. Kalau didiamkan atau tidak tersalurkan akan berbahaya, bisa meledak karena menjadi panas.
PLTS Kubu saat ini hanya menghasilkan energi sekitar 200-300 kwh. Energi ini tetap disalurkan ke PLN dan bisa menghasilkan listrik.
“Tapi PLN tidak bayar, karena BUMD atau pengelola belum menyelesaikan perjanjian jual beli listrik ke PLN,” tandasnya.
Apa yang bisa dilakukan dengan proyek mangkrak yang berjajar tanpa guna? I Gusti Bagus Setiyawan menyebutkan, untuk proyek mangkrak yang tidak ada pengelolanya bisa dilaporkan.
Penindakan proyek mangkrak bisa dilaporkan oleh masyarakat ke pemerintah daerah atau ke pemerintah provinsi. Maka pihaknya akan melakukan pengecekan proyek-proyek itu. Sejauh ini pihaknya sudah bekerjasama dengan tim riset CORE Universitas Udayana (Unud). Tim ini akan mengkaji apa saja yang rusak.
Tindakan akan melihat anggaran terlebih dahulu. Jika di provinsi terbatas, pihaknya akan mengajukan ke pusat. Dari pusat nanti akan memilah, komponen mana yang genting untuk diganti. Keputusan penindakan tetap bergantung pada pusat karena anggarannya lebih banyak. Kabupaten dan provinsi membantu koordinasi.
Traction Energy Asia sebagai lembaga analisis kebijakan yang berfokus pada isu transisi menuju energi bersih terbarukan memberikan tanggapan atas gagalnya mega proyek EBT di Bali ini. Refina Muthia Sundari selaku manager research di Traction Energi Asia menyayangkan tidak optimalnya pengoprasian aset pembangkit energi terbarukan daerah. Menurutnya aset yang tidak maksimal itu merugikan dalam segi sosial ekonomi dan ekonomi wilayah.
“Masyarakat setempat kehilangan peluang untuk potensi lapangan dan kesempatan kerja baru, sumber mata pencaharian baru dari industri penyokong energi terbarukan, serta transfer skill dan knowledge dari teknologi,” katanya.
Dalam pengembangan energi bersih di manapun, teknologi menjadi salah satu faktor penting yang harus dipahami oleh sumber daya manusia yang ingin bekerja di sektor tersebut. Apalagi pemerintah saat ini sedang mendorong proyek energi terbarukan untuk segera direalisasikan dalam waktu dekat. “Bisa diasumsikan, kesempatan kerja baru tidak hanya ada di satu lokus saja tetapi terdapat di lokus-lokus lainnya,” Refina memberikan masukan.
Megaproyek Lagi
PLTS barat dan timur Pulau Bali sudah masuk di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Kementerian dan PLN harus menjalankan itu. Saat ini sudah ada tender yang menjadi pemenang pengerjaan proyek. Sekarang sudah pada tahap proses pencarian lahan. Sebab untuk membuka proyek PLTS ini membutuhkan lahan sebesar 2 x 25 megawatt. Atau setara 2 x 25 hektar lahan. Tata kelola diserahkan ke Pemerintah Kabupaten dan Indonesia Power.
Gus Kaca menerangkan kebutuhan energi di Bali mencapai 1400 megawatt. Kebutuhan energi ini disuplai dari semua sumber energi termasuk diesel dan batubara. Kementerian ESDM menargetkan agar Bali melakukan bauran energi. Namun, target energi itu tidak bisa disuplai hanya dari PLTS saja.
“Kalau cuaca mendung, maka serapan energi akan turun. Sehingga tetap perlu sumber dari fosil atau PLTU untuk mencapai itu,” katanya.
PLTS bisa diandalkan jika ditambah dengan baterai. Dengan catatan menggunakan penyimpanan yang fisiknya kecil tapi kapasitas besar.
Ia menyebutkan pada proyek PLTS di Nusa Penida, Karangsari Desa Suana sebesar 3,5 megawatt sudah menggunakan sistem battery storage system (BSS). Tapi harganya lebih mahal dua kali lipat dibanding PLTS tanpa baterai.
Sejauh ini sejak ada target tertulis tahun 2020, Gus Kaca menyampaikan capaian bauran energi sampai 2023 baru 3,8%. Sementara target paling sedikit 11,15% pada tahun 2025. Target energi itu diupayakan tercapai dengan menyediakan kapasitas pembangkit listrik EBT sedikitnya berdaya 228 MW.
Terdiri dari PLTS 213 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) 2,8 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) 10 MW, PLTBiomass 0,9 MW, dan PLTBayu 1,3 MW.
Kemudian target capaian energi akan ditingkatkan hingga tahun 2050 paling sedikit menyediakan 537 MW. Ada peningkatan target sebesar 20,10% dari 25 tahun sebelumnya.
Dengan memaksimalkan suplai energi dari PLTS/Roof Top = 500 MW, PLTMH = 6 MW, PLTSa = 20 MW, PLTLaut = 4 MW, PLTBiomass = 3 MW, dan PLTB = 4 MW.
Meski bersumber dari ragam EBT, tapi saat ini Bali tak bisa lepas dari energi fosil. Dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali 2020-2050 masih melibatkan energi yang bersumber dari fosil. PLTU masih dibebani target sebesar 553,45 MW pada periode 2020-2025. Nilai ini merupakan target paling besar dibanding sumber EBT yang lain.
Gus Kaca menjelaskan inilah masa transisi. Sumber-sumber fosil dari PLTU itu memang masih dibebani target tinggi. Namun akan pelan-pelan diubah ke sumber yang lebih bersih. PLTU direncanakan akan ditransisi menjadi PLTGU (gas dan uap). Beberapa proyek PLTGU sudah mulai dibangun. Seperti proyek terminal LNG di pesisir dan kawasan mangrove Denpasar. Proyek transisi lainnya adalah konversi PLTU Celukan Bawang yang sebelumnya menggunakan energi batubara. Sehingga mesinnya nanti dikonversi agar bisa mengoperasikan energi bersih.
Jika ditelisik lebih jauh berpedoman pada Perda No. 9 Tahun 2020, pembangunan pembangkit mendominasi RUED. Namun, belum nampak pengelolaan dalam perencanaan. Padahal merefleksi persoalan EBT mangkrak di Bali bersumber karena kurangnya pengelolaan dan perawatan.
Belajar dari yang Bertahan
Dibanding mega proyek pembangkit listrik bersih pendahulunya, PLTS Kayubihi Kabupaten Bangli menjadi satu-satunya yang masih berjalan saat ini. I Gusti Bagus Setiyawan, Sub-koordinator Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali menyebutkan, pengelolaan PLTS Kayubihi menjadi percontohan di Bali. Saat ini PLTS ini dikelola di bawah naungan Perusda Bhukti Mukti Bhakti Kabupaten Bangli. Ketika menjajaki ke lokasi PLTS kami bertemu dengan Siska Irayani, salah satu admin yang sudah bekerja 3,5 tahun sebagai staff admin, memberikan keterangan sebagai berikut:
Siapa pengelola PLTS Kayubihi dan hasil penjualan listrik dari PLN digunakan untuk apa saja?
Dikelola untuk operasional BUMD perjanjian jual beli listrik dengan PLN dimulai tahun 2018, kita belum bisa memberikan APBD ke daerah. Karena saat ini dengan harga jual yang relatif kecil Rp. 750 rupiah per kwh, biaya operasional aja masih kurang. Ini dibangun tahun 2012, beroperasi tahun 2013 sampai sekarang. Memang karena komponennya buatan yang belum canggih, akhirnya ada beberapa komponen yang sudah mulai rusak. Ini kapasitas 1 megawatt dengan 5000 panel. Jadi dengan cuaca yang kurang bagus untuk PLTS, sehingga operasionalnya tidak terlalu banyak. Sebenarnya dengan 1 MW, tenaga lapangannya menurut saya kurang.
Seberapa banyak listrik yang dihasilkan tiap bulan?
Kita dapat pembayaran dari PLN, bisa dibilang sampai 73.000 KWh per bulan, kalau terik bisa sampai 75.000 KWh. Tapi sekarang masih dalam proses perbaikan, masih banyak yang mati. Penghasilan sekarang tergantung dari cuaca yang kurang mendukung dan komponen-komponen yang rusak.
Bagaimana cara merawatnya?
Namanya barang elektronik, banyak penyakitnya. Makanya dibersihkan secara berkala, seperti panelnya. Cuma untuk komponen dalamnya belum bisa dijaga. Seperti kemarin kena petir, 25 inverter mati (total ada 50 inverter). Ada penangkal petir tapi kurang. Kan luas di sini 1,5 hektar, di selatan ada penangkal petirnya, tapi kan yang disambar bagian sini karena penangkal petirnya di sana (terletak jauh dari bangunan inverter).
Pekerja di sini dari mana saja?
Direktur sekarang dari Tabanan, tapi mau peralihan masa jabatan. Ada dari Gianyar dan orang lokal. Total ada 9 pekerja. Tenaga lapangan 5 orang (3 orang teknisi, 2 orang tenaga kebersihan) , admin, hukum, dan keuangan. Teknisi 3 orang anak Bangli semua, 1 lulusan teknik elektro sisanya by doing. Mereka belajar di lapangan, dari pelatihan, buku, youtube dan lain-lain. Kalau ada komponen yang tidak bisa diperbaiki tim lapangan, kami biasanya pinjem tim dari luar.
Masyarakat tetangga ada komplain mengenai PLTS di sini?
Engga ada, tapi karena kasus yang kemarin mungkin beberapa masyarakat was-was aja. Takutnya petirnya menyambar ke rumah warga. Karena bagian sini gak ada penangkal petirnya.
PLTS Atap yang Menerangi desa Terpencil
Masih teringat ketika 2017, Nyoman Purna menggunakan lampu teplok untuk penerangan di rumahnya. Begitu juga Nengah Subagia, kepala wilayah Manik Aji, sebelum ada listrik ia membawa obor ketika ada upacara di Pura Dusun Manik Aji, Desa Ban, Kabupaten Karangasem. Lima tahun sebelumnya, Dusun Manik Aji terasa lebih dingin ketika malam. Warga seperti Nyoman Purna tidur lebih dini sekitar jam 8 malam. Sebab jika ia begadang maka akan lebih banyak menghabiskan minyak untuk penerangan.
Namun, sejak 5 tahun silam ragam aktivitas warga di Dusun Manik Aji terasa lebih padat meski hari sudah gelap. Kehadiran PLTS atap yang terealisasi dari pengajuan listrik ke Kementerian ESDM menjadi solusi penerangan di Manik Aji.
Untuk sampai di kawasan Banjar Manik Aji, Dusun Adat Asti di Desa Ban, harus melewati kurang lebih 1 km jalan tanah berbatu. Kondisi jalanan yang menanjak dan terjal berbukit jadi tantangan masuk ke wilayah ini. Jika panas akan berdebu, jika hujan akan licin karena tanah liat.
Perjalanan yang kami tempuh dari kantor Desa Ban ke lokasi PLTS sekitar 45 menit menggunakan truk. Hujan yang membasahi tanah liat kemarin malam di daerah itu menyebabkan truk tidak bisa sampai ke PLTS Atap karena licin.
Dari kejauhan, sudah terlihat 50 bidang solar panel di Banjar Manik Aji. Dilengkapi dengan bangunan sebagai tempat penyimpan energi cahaya matahari dan tempat operator memastikan energi itu bisa berjalan baik menjadi listrik. PLTS Atap ini merupakan hibah dari ESDM atas pengajuan listrik yang dilakukan oleh warga dihimpun kepala dusun pada 2017 lalu.
“PLN tidak bisa masuk ke Manik Aji karena akses jalanan yang terjal, ketika kita mengajukan listrik dapatnya PLTS Atap,” kata Nyoman Purna, petugas operator PLTS di Manik Aji.
Dari total 118 KK yang ada di wilayah Manik Aji, ada 17 KK, 2 pura serta 1 untuk banjar yang menggunakan energi PLTS atap ini. Syaratnya dengan mencari rumah yang berdekatan atau satu tempek. Yang paling jauh sekitar 300 meter dari PLTS. Pengajuan proposal permohonan listrik sudah diajukan sejak 2016, realisasinya tahun 2017.
Untuk memastikan ketersediaan listrik yang merata untuk 17 KK itu, masing-masing KK diberikan sebanyak 400 kWp per hari. Warga menggunakan daya ini rata-rata hanya untuk penerangan rumah.
Menurut Wayan Sabuh, salah satu warga Manik Aji yang menikmati energi dari PLTS Atap, sebagai pengrajin kayu ia tak bisa hanya menggunakan pasokan daya listrik dari PLTS saja. Meski dialiri sebanyak 400 kWp, daya itu hanya ia gunakan untuk penerangan ketika malam hari saja. Sedangkan ada aktivitas lain yang memerlukan listrik di rumah Sabuh seperti memotong kayu menggunakan mesin, kulkas dan TV yang tidak bisa tertanggung dari daya PLTS.
Selama penggunaan listrik dari daya PLTS atap, ia tak pernah mengeluarkan apapun sejak mendapatkan hibah tahun 2017. Namun, Sabuh khawatir jika ia menggunakan semua daya listrik dari PLTS untuk semua aktivitas di rumahnya, maka resikonya akan kehabisan daya listrik sebelum malam tiba.
Hal ini menyebabkan Wayan Sabuh mencari tambahan daya dari listrik tetangga yang menggunakan PLN. Nempel listrik dengan menarik kabel sekitar 1 km dari rumahnya.
Dalam satu rumah, Sabuh tinggal bersama anaknya yang sudah menikah. Sehingga ada 2 KK yang juga ikut menggunakan dua sistem penyedia listrik ini. Setiap bulan Sabuh dan anaknya membayar secara bergilir ke tetangga yang sudah memberikan nempel listrik sekitar Rp100-150 ribu.
Ia juga menceritakan sudah mengeluarkan cukup banyak biaya untuk membeli kabel karena jarak narik lumayan jauh. Tak hanya Sabuh, beberapa keluarga lainnya juga melakukan hal yang sama untuk mengakali kondisi agar tak kekurangan listrik. Jika saja PLTS atap bisa memenuhi kebutuhan listriknya untuk semua aktivitas di rumahnya, ia tak akan keberatan dipungut iuran sebagai pemeliharaan PLTS.
Nyoman Purna, selaku operator PLTS menerangkan bahwa 400 kWp itu kalau dipakai lampu saja, akan cukup. Untuk mengatur aliran listrik merata, masing-masing rumah mendapat pembatasan atau limiter sebagai indikator ketersediaan listrik yang tersisa.
“Tapi kalau lebih dari 400 kWp, listrik akan mati. Besoknya baru dayanya akan terisi lagi cuma dikasi 400 watt saja per KK,” tambahnya.
Ketidakmampuan PLTS atap memenuhi semua kebutuhan listrik warga yang ada di Manik Aji ini menjadi kekhawatiran Kepala Wilayah Manik Aji, Nengah Subagia, bahwa warga akan berpindah dari PLTS.
Inisiatif Kecil dari Bukit Keker, Nusa Penida
Rumah Belajar Bukit Keker, Desa Ped Nusa Penida menjadi salah satu tempat belajar anak-anak Nusa Penida. Berbasis seni dan lingkungan, Made Arnawa dan saudaranya yang lain berinisiatif menyokong hobi menarinya dengan memanfaatkan PLTS atap sebagai sumber energi. Mereka berjalan dengan tuntunan teman-temannya mengenal dunia EBT tanpa mengejar program-program dadakan pemerintah. Sejak 2019 mengelola Rumah Belajar Bukit Keker menggunakan sumber total dari PLTS atap, semuanya masih bertahan dan memiliki nafas panjang menopang kegiatannya. Bagaimana pengelolaan energi bersih di Rumah Belajar Bukit Keker ini? Kami bertemu Made Arnawa, salah satu pengelolanya.
- Apa sih Rumah Belajar Bukit Keker? Apa alasan ini berdiri?
Rumah Belajar Bukit Keker didirikan oleh tiga pendiri (Wayan Karta, Made Arnawa, Komang Sriawan). Saya pernah ikut yayasan di Bali, salah satunya komang pernah bergabung di yayasan lingkungan dan saya di bidang pertanian. Terinspirasi dari latar belakang pekerjaan kami itu. Berangkat dari kesadaran di Nusa Penida belum ada yayasan lokal. Maka dibentuklah Yayasan Taksu Tridatu, bergerak dalam bidang lingkungan dan seni. Disupport juga oleh Yayasan IDEP, Kalimanjari, I ni timpal kopi, dan Yayasan Wisnu sebagai payung kita. Ada juga PPLH Bali makanya di sini ada TPST yang pertama di Nusa Penida.
Nama keker dari Bukit Keker diambil karena banyak ayam hutan (keker) di Banjar Nyuh Kukuh. Berdiri 18 Januari 2019, dibangun bertahap. Pertama bangunan bundar, untuk pertemuan (kegiatan pelatihan, acara jaringan ekowisata desa) kemudian rumah tidur memanfaatkan energi solar panel kapasitas 1000 Wp. Kami kasih tahu teman-teman, penggunaan listriknya jangan sampai lebih dari ini. Kalau siang bisa pakai banyak energi, tapi kalau malam harus dikurangi agar tidak boros.
2. Apa keresahan untuk Nusa Penida saat ini?
Di Bukit keker kan ketergantungan dengan listrik. Kami yang berdekatan dengan alam tidak mau merusak alam. Akhirnya kami menerapkan energi yang berasal dari alam. Contohnya biogas dari kotoran sapi, gasnya bisa dipakai untuk energi, kotoran padatnya bisa dipakai untuk pupuk. Energi surya yang panas ini bisa dimanfaatkan karena nusa kan panas, tidak menimbulkan polusi. Dengan mendapat bantuan disupport oleh UNDP, melalui jalur pengajuan proposal dibantu oleh Yayasan Wisnu itu menjadi jawaban persoalan listrik di Rumah Belajar Bukit Keker. Dukungan PLTS atap diberikan 2019 awal berupa solar panel berdaya 1000wp atau 2000 wat. Kemudian 2020 ada panel baru lagi dan inverter kami pasang di outlet kapasitas 1250 Wp, dengan daya 3000 watt.
3. Digunakan untuk apa saja energi dari tenaga surya di Bukit Keker?
Penerangan untuk 11 lampu dengan daya sekitar10-15 watt, 2 lampu sorot untuk panggung. Pernah kami coba ketika malam hari untuk penggunaan 2 kipas angin, charging hp, rice cooker, dispenser, listrik bertahan hingga 4 pagi. Dari sana kami paham mana yang harus dikurangi penggunaannya. Hingga saat ini listrik tidak pernah habis untuk penggunaan setiap malam hari ada 7 lampu dan kipas hidup terus.
Kemarin waktu ada acara launching program salah satu mitra kami menggunakan sound system sumber energi dari 5 panel surya dengan 1 inverter menghasilkan 2000 watt itu cukup. Kami hanya mengandalkan panel surya saja yang didapatkan tahun 2020. Tidak pakai listrik dari PLN karena saat itu siang. Kami mengira-ngira berapa kebutuhan daya untuk menghidupkan sound sistem. Kalau malam baru kami akan kurangi, karena energi ini tidak bisa terimpan. Kalau solar panel yang lama (tahun 2019), dia menyimpan dulu baru bisa digunakan. Kalau yang baru bisa langsung digunakan, kelebihan energinya bisa disimpan ke baterai. Tapi akan menggunakan baterai yang berbeda lagi dan inverter yang berbeda.
4. Belajar mengoperasikan PLTS atap dari mana dan bagaimana merawatnya?
Dulu diedukasi oleh Gung Kayon, kami seperti anak SD bertanya terus. Kami bertanya tanya setiap ia datang ke sini, biar kami paham juga. Karena pakai barang elektronik harus ada pemeliharaan. Pernah saat memakai energi yang banyak, bunyi beep beep beep terus muncul kode. Kami tanya ke Bli Gung Kayon, oh ternyata baterainya habis. Muncul kode lain lagi, oh ini ada konslet, kabelnya ada yang rusak. Untuk pemeliharaan kami bersihkan karena pasti ada debu. Kami bersihkan bersama anak relawan 8 orang tiap hari minggu. Bentuk lain adalah edukasi memanfaatkan energi dengan baik. Tidak semua lampu harus dihidupkan, mana saja yang diperlukan itu dihidupkan. Dari sini mereka menerapkannya di rumah.
5. Bagaimana tips agar penggunaan energi bersih ini panjang umur?
Di Yayasan hanya ada beberapa panel saja, kami mampu memeliharanya. Maka kemudian muncul pertanyaan, bagaimana ini bisa dijaga dengan baik, agar ada keberlanjutan? karena kami sadar, sangat memanfaatkan energi ini. Setelah sadar ini bermanfaat, pasti dijaga. Jika refleksi proyek energi bersih yang banyak mangkrak, menurut pendapat saya karena itu proyek seperti program tahunan. Setelah setahun programnya selesai. Kemudian dibiarkan begitu saja. Harusnya masyarakat dan pengelola diedukasi untuk merasakan manfaatnya untuk orang setempat dulu. Untuk kelas mega proyek, menurut saya penting ada perekrutan tenaga lokal sebagai pengelola proyek. Sehingga saat terjadi tanda-tanda kerusakan mereka tahu dan bisa melapor cepat.
6. Energi alternatif apalagi yang digunakan di Rumah Belajar Bukit Keker?
Selain PLTS Atap, untuk energi di dapur memakai biogas, ternak 2 ekor sapi kadasan. Iwak yang memelihara, kotorannya kami yang memanfaatkan. Selain dipakai rumah belajar, disalurkan juga ke rumah iwak. Jadi ada 2 KK yang pakai biogas. Biogas juga bisa ngidupin lampu di dapur. Panggung pementasan untuk pelatihan dan pementasan. Bangunan TPST (tempat pengelolaan sampah terpadu) untuk mengolah sampah warga yang organik dan non organik yang bernilai. Kami mengedukasi warga Desa Adat Nyuh Kukuh untuk memilah sampah. Sudah ada plang-plang berisi kantong yang mana organik, non organik bernilai, residu. Edukasi sekitar 3 bulan, satu bulan membuang sampah di tempatnya. Turis asing dulu komplain karena pesisir isi sampah. Padahal Pelabuhan Nyuh Kukuh sebagai pintu masuk pariwisata kapal dari Sanur. Setiap Hari Minggu Komang mengajak anak muda untuk bersih-bersih, kemudian didukung PPLH Bali untuk edukasi. Kami membangun outlet sebagai tempat memajang hasil karya yayasan dan mitra seperti JED, Risang Geni, Alam Sari, Yayasan Wisnu. Kalau ada tamu berkunjung bisa mengarahkan tamu mengenai hasil karya di desa-desa sekitar sini.
Refleksi dari Pengelolanya
Bercermin pada pengalaman Nyoman Sudara di Nusa Penida dan Nyoman Purna di Manik Aji, sebagai teknisi pembangkit energi bersih serta Made Arnawa pengelola inisiatif penggunaan energi bersih memberi masukan rencana mega proyek pemerintah. Pengelolaan mega proyek EBT sangat bergantung pada teknisi atau operator lokal, dimana pembangkit itu dibangun.
“Kalau ada kerusakan apalagi genting, tidak mungkin teknisi dari Jakarta atau luar negeri yang bisa datang sesegera mungkin. Pasti orang lokalnya yang tiap hari di lapangan yang tahu,” katanya.
Selama ini Sudara sebagai teknisi tak memiliki pengetahuan utuh mengenai mesin PLTS ataupun PLTB. Sehingga menurutnya perlu edukasi komprehensif termasuk bagaimana data diolah dalam komputer. Sebelumnya ketika ada kerusakan ia hanya bisa melaporkan reaksi-reaksi mesin yang ada di lapangan. Tanpa paham artinya apa. Ia hanya menjadi penyambung kondisi di lapangan dengan teknisi pusat. Tak tahu tindakan apa yang mesti dilakukan ketika ada reaksi-reaksi tidak wajar.
Penulis Ni Ketut Juniantari, reporter Made Putri Wahyuni.
Liputan ini merupakan fellowship AJI Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia.