![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/05/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.12.18-scaled.jpeg)
Seperti menemukan kemerdekaan dalam dirinya, Luh Putu Sariningsih seorang peternak dari Banjar Bukitsari Desa Sumberklampok Buleleng perlahan bisa menikmati hasil panennya. Dukungan kelompok peternak di lingkungan banjarnya memberi peran besar bagi Luh Tu sebagai seorang peternak sapi. Dengan menerapkan sistem pinjam-kembali ternak. Bagi Luh Tu, sistem ini berpengaruh besar dalam kehidupannya di lahan kering, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.
Luh Putu Sariningsih, seorang peternak dan petani di Banjar Bukitsari Desa Sumberklampok. Mengolah lahan dan beternak menjadi rutinitasnya sendiri. Perempuan berusia setengah abad ini menjadi single parent dalam rumah tangganya. Ia tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya, sebab sang suami, Putu Sentara meninggal tahun 2021 silam.
Waktu masih menunjukkan jam 8 pagi, tapi Luh Tu sudah sibuk sekali. Ia bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan masakannya di dapur. Kebetulan hari itu, anaknya di rumah, sedang libur bekerja di Denpasar. Agar ketika anak semata wayangnya bangun, makanan sudah siap tersaji. Meski anaknya belum benar-benar bangun, Luh Tu bergegas ke ladang yang berada di belakang rumahnya. Jaraknya sekitar 50 meter dari pekarangan rumah.
Lengkap dengan kain penutup kepala dan wajah, celana dan baju lengan panjang serta sepatu yang cukup menutupi mata kakinya, ia berangkat. Sepertinya itu seragam Luh Tu setiap ke ladang. Tak lupa sabit yang rutin ia asah agar tetap tajam memotong rumput dan sesekali batang kayu.
Hari itu Luh Tu panen terakhir sisa-sisa kacang jongkok yang ditanam sejak Februari. Dalam perhitungannya, sekitar 3 hari ke depan ia akan memanen kacang undis (kacang gude) yang sudah mulai berbuah. Bagi Luh Tu, setiap harinya di lahan adalah hari yang sibuk. Hasil lahan selalu ada. Apa yang ditanam, itu juga yang menjadi lauknya di dapur.
Sejak menjadi single parent, Luh Tu menanggung beban hutang-hutang yang ditinggalkan suaminya. Ada sekitar belasan juta di kelompok banjarnya dan puluhan juta lainnya di bank. Meski kondisi demikian, ia tetap bersyukur sebab ia dapat secara leluasa mengelola keuangannya saat ini. Jika boleh dikatakan, menurut Luh Tu, kondisi keuangan keluarganya jauh berbeda saat masih bersama suami. Saat ini ia memiliki kuasa penuh atas hasil jerih payahnya mengolah lahan pertanian dan peternakan.
Berbeda dengan kondisi keuangannya 4 tahun belakangan. Meski memperjuangkan pembagian lahan berdua, sejak awal Luh Tu mengolah lahan sendiri. Putu Sentara memilih untuk bekerja menjadi tukang saja. Saat sakitnya semakin parah, suami Luh Tu memilih untuk berjualan es keliling. Tidak ikut mengolah lahan.
Luh Tu adalah istri kedua Putu Sentara. Pasangan yang terpaut umur jauh sekitar 29 tahun ini bertemu ketika sama-sama merantau di Timur Timor. Putu Sentara memiliki 3 anak dari perkawinan dengan istri pertamanya. Namun, istri pertama sudah meninggal, jauh sebelum mengenal Luh Tu. Satu sisi Luh Tu merupakan teman akrab anak-anak istri pertamanya Putu Sentara. Namun siapa sangka, bapak temannya justru yang meminangnya.
Sejak awal rencana pernikahan Putu Sentara dan Luh Tu mendapatkan berbagai respon dari keluarga Luh Tu. Namun, pernikahan itu tetap berlangsung. Luh Tu melihat suaminya ini sebagai sosok yang giat bekerja ketika di Timur Timor. Tak mengenal yang namanya judi. Sehari-harinya Putu Sentara ketika di Timur Timor bekerja di bidang pertukangan.
Pasca pernikahan, Luh Tu dan sang suami kembali ke Bali. Sebelum mendapatkan lahan di Sumberklampok, mereka tinggal di Gerokgak, Buleleng. Setelah berbagai perjuangan para eks-transmigran secara resmi mendapatkan lahan di Sumberklampok, di Banjar Bukitsari tepatnya. Seluas 50 are lahan garapan dan sekitar 4 are untuk lahan pekarangan. Jumlah ini dibagi rata per kepala keluarga.
“Dulu proses pembagian lahan ini hanya menggunakan patok, ketika diukur dengan alat ukur ternyata luas lahan setiap keluarga berbeda-beda. Seperti lahan yang didapatkan nenek, ketika diukur ada sekitar 80 are. Tapi kelompok memutuskan agar pembagiannya semua sama. Setiap keluarga ditetapkan mendapat bagian lahan 50 are. Sisanya harus dilepaskan dan menjadi pelaba desa (lahan milik desa),” jelas I Wayan Suweca, anak satu-satunya Luh Tu.
“Dari pertama kali tinggal di sini, bapak tidak pernah ke lahan. Dia bekerja di pertukangan,” cerita Luh Tu.
Padahal Putu Sentara terlibat langsung berjuang mendapatkan lahan ini. Luh Tu ingat betul, saat itu ia sedang hamil besar ditinggal sang suami selama 3 minggu untuk membersihkan lahan garapan ini. Sebelumnya adalah hutan negara. Bersama warga lainnya, Sentara mematok (menandai) wilayah bakal lahan garapan untuk dibagi ke para eks-transmigran. Berbekal patok dan tali, warga berjibaku mengukur lahan.
Setelah anaknya berumur 3 bulan, Luh Tu diminta membersihkan lahan dengan mengikuti patok yang terhubung tali.
“Bapak cuma nujuin gen, oraine ngabas nuutin patok. Kanti tepuk patok ne ujung, mare belok kanti bentuk segiempat (Bapak hanya menunjukkan saja, dikasitahu membersihkan dengan mengikuti patok yang ada. Sampai ketemu patok yang di ujung, nanti belok sampai berbentuk segi empat),” cerita Luh Tu mengikut arahan suaminya.
Lokasi lahan dulu adalah hutan, rasanya jongkok untuk kencing saja tidak bisa tutur Luh Tu. Sembari mengasuh anaknya, Luh Tu membersihkan lahannya sendiri ketika itu.
Namun, Luh Tu tak pernah tahu rasanya menikmati hasil panen garapannya. Setiap menjelang panen, hasilnya sudah diperhitungkan oleh suaminya. Seringkali ketika menjual hasil panen ke pengepul, uangnya langsung diterima suaminya. Tak sedikitpun Luh Tu memegang uang hasil kerja kerasnya.
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/05/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.11.55-scaled.jpeg)
“Memek sing nawang pipis, asal panen sing ade pipisne, bisa uyut. Ye ne nagih pipisne. Yen sing baang, ambres-ambres ye. Nak bapane wayan ngubuhin togel, puluhan tahun. (Ibu tidak pernah tahu uang, setiap panen jika tidak ada uangnya, akan bertikai. Dia (suaminya) yang minta uangnya. Kalau tidak dikasi, ia akan kesal. Bapaknya Wayan bermain judi tolgel, sejak puluhan tahun),” tutur Luh Tu, sembari memanen kacang di lahannya.
Saat itu, jika ia memiliki uang akan diserahkan ke sang suami. Untuk menghindari pertikaian. Kegiatan Luh Tu setiap harinya hanya menggarap lahan. Jika sudah terik, ia pulang untuk istirahat sejenak sambil ngopi.
“Memek sing demen ketoange (diambres-ambres). Demi pang selamat rumah tanggane, pang sing miyegan, kanggoang memek ngalah. (Ibu tidak suka ditunjukkan perilaku kesalnya. Demi rumah tangga agar selamat, agar tidak bertikai, ibu saja yang mengalah),” ungkap Luh Tu.
Keluarga lajang Luh Tu mengetahui kondisi ini. Sering kali keluarga ibunya mempertanyakan tindakan suaminya yang selalu egois menggunakan uang hasil panen lahannya. Namun, ia juga menjawab dengan alasan yang sama. Demi menyelamatkan rumahtangganya dan menghindari pertikaian.
Bagi Luh Tu, Perubahan Iklim Terasa Jelas
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/05/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.11.58-scaled.jpeg)
Bagi Luh Tu menggarap lahan adalah temannya. Sejak kecil tinggal di Timur Timor sangat akrab dalam mengolah lahan. Benar saja rata-rata orang Indonesia yang pernah tinggal di Timor Timur ahli dalam pertanian, sebab di sana lahannya subur dan tidak kekurangan air.
Bertani di lahan kering menjadi salah satu adaptasi siginifikasi yang dirasakan Luh Tu. Sebagai eks transmigran di Timur Timor yang mengolah lahan subur, menjadi perjuangan yang cukup berat bisa hidup dan bertani di Sumberklampok.
Hampir semua warga Bukitsari menaruh sumber kehidupan dari beternak dan bertani di ladang kering. Begitu juga dengan Luh Putu Sariningsih. Sejak tahun 1999 masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah Timur Timor harus migrasi akibat pemisahan wilayah. Banyak perjuangan yang dilakukan warga eks-transmigran di Sumberklampok untuk mendapatkan dan mengolah lahannya.
Selain menggarap lahan yang kering, petani di Bukitsari juga sedang berjuang untuk mendapatkan SK pelepasan lahan hutan yang saat ini menjadi area bertani mereka. Adaptasi Luh Tu dan warga Bukitsari belajar untuk memahami jenis-jenis pertanian yang irit air. Krisis air menjadi salah satu persoalan yang tak kunjung usai juga di Sumberklampok.
Jenis tanaman yang ditanam di lahan garapan biasanya disesuaikan dengan musim dan perhitungan kalender Bali. Namun, apa daya perubahan iklim jelas dirasakan Luh Tu. Seperti tahun lalu terjadi perubahan drastis.
Akhir sampai awal tahun biasanya menjadi musim membasahi tanah-tanah kering di lahan Bukitsari. Waktu yang baik untuk Luh Tu menanam bibit kacang-kacangan, jagung dan tanaman umur pendek lainnya. Namun, kenyataan terjadi berbeda jauh. Akhir tahun 2023 kemarin tak ada hujan setetes pun yang membasahi lahan seluas 50 are itu. Ditunggu hingga awal tahun 2024 tak juga kunjung datang hujan. Alhasil bibit-bibit yang sudah ditanam Luh Tu mati.
Tiba-tiba Bulan Februari yang seharusnya menjadi musim berbuah dan berbunga, justru turun hujan. Pergeseran kondisi iklim ini akhirnya membuat Luh Tu bekerja dua kali. Ia harus ulang mengolah lahannya yang tengah kering. Dengan mengandalkan air hujan di Bulan Februari, alhasil Bulan April dan Mei ini beberapa tanamannya bisa dipanen.
“Sekondene sube mula bulan satu, tapi endang. 3 bulan sing ade hujan, mati. Langah-langah nanem jagung ade ne nu bertahan (Sebelumnya sudah menanam pada bulan pertama, tapi kemarau. Selama 3 bulan tidak ada hujan, tanaman mati. Di sela-sela itu dapat menanam jagung, ada yang bertahan),” jelasnya.
Meski Februari ada hujan dan beberapa yang ditanam berhasil mulai tumbuh. Namun, setelah itu sekitar 25 hari tidak ada hujan. Kondisi lahan di Bukitsari memang benar-benar tak ada air untuk pertanian. Pengetahuan tentang jenis tanaman yang tepat, sering kali menolong Luh Tu bisa tetap berhasil panen.
Hujan yang tak terduga di Bulan Februari, merangsang rumput liar tumbuh di lahannya. Ia sempat kewalahan menggarap, banyak rumput liar tumbuh. Tapi bersyukur masih bisa dibersihkan sedikit demi sedikit sembari panen.
Memulai Beternak Untuk Biaya Sekolah Anak
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/05/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.57.35.jpeg)
Saat Suweca, anak Luh Tu beranjak besar dan akan mengenyam pendidikan SMP, ia merayu suaminya agar mempersiapkan biaya sekolah. Dari awal ia mewanti-wanti suaminya agar bersiaga mencari penghasilan tambahan.
“Irage mai sing ngabe bekel, panake sube ngancan ngedenang, ajake ngadas sampi. Uling panake SD ngubuh sampi, mancan SMP kan ade bekel panak masekolah (Kita ke sini tidak membawa bekal, anak sudah semakin besar, mari kita jadi peternak penggarap. Dari anak masih SD beternak sapi, agar menuju SMP kita punya bekal untuk biaya sekolah),” tuturnya merayu suaminya.
Tak langsung diterima. Permintaan Luh Tu hampir ditolak. Dengan alasan tidak ada pakan sapi yang dekat. Saat itu suaminya membandingkan dengan peternak lain, yang mencari pakan ternaknya jauh-jauh. Namun, Luh Tu kukuh meyakinkan suaminya.
“To timpale ngidaang je? Irage ngelah sepeda gayung, sepeda gayunge anggon. Anake mejalan gen ngidaang maan amahan sampi (Itu teman-teman bisa? Kita punya sepeda, bisa menggunakan sepeda itu. Orang lain jalan kaki mencari makanan sapi),” jelas Luh Tu menirukan permintaannya dulu.
Akhirnya dengan keyakinan itu, ia mendapatkan restu. Pertama kali Luh Tu menjadi peternak penggarap. Ia memelihara sapi milik orang lain hingga besar hingga ada rentang keuntungan, maka keuntungan itu milik Luh Tu.
Meski meminta restu dari sang suami, Luh Tu tetap memelihara sapi sendiri sejak tahun 2003.
“Karena waktu to, memek semangat pedidi nagih ngelah sampi, pedidi ngubuhin. Care jani memek semangat ngubuh sampi, 6 ngidaang ngubuh (Karena waktu itu ibu yang semangat memelihara sendiri, jadi yang beternak sendiri. Seperti sekarang ibu semangat, bisa memelihara 6 sapi),” imbuhnya.
Tidak selalu mulus, tahun 2003 pertama kali Luh Tu beternak sapi betina tapi mandul. Pengalaman ini mengajarkannya lebih bersiasat dalam beternak. Jika mandul, ia akan segera menjualnya. Jika sudah terlalu tua maka segera dijual juga. Waktu itu menjadi momen yang sulit bagi Luh Tu untuk beternak. Sebab ia hanya peternak penggarap, mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan sapi itu saja.
Jika tak berhasil membuat produktif, maka penghasilannya menjadi peternak akan kecil. Hanya bertahan setahun memelihara sapi mandul, selanjutnya Luh Tu beralih memelihara babi. Tak lama, suaminya sakit parah. Saat itu menjadi momen untuk Luh Tu mengiklaskan beberapa sumber penghasilannya untuk mengurus suami, termasuk vakum menjadi peternak.
Beternak Bersama Kelompok
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/05/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.12.09-scaled.jpeg)
Setelah suaminya meninggal, Luh Tu memulai kembali bekerja dan fokus menggarap lahannya. Kemudian mencoba peruntungan beternak sapi kembali.
Percobaan peruntungan Luh Tu kali ini seperti gayung bersambut. Tahun 2005 di Banjar Bukitsari mulai terbentuk beberapa kelompok ternak. Salah satu yang diikuti Luh Tu adalah kelompok ternak yang dikoordinir oleh Nengah Kisid.
Nengah Kisid melihat ada kebutuhan warga untuk serius mengurus peternakan. Meski sudah terbentuk tahun 2005, kelompok ini butuh 2 tahun untuk memastikan anggota bahwa benar membutuhkan berkomitmen beternak.
“Waktu awal terbentuk, kelompok ternak sangat kecil, kami iuran 2 ribu rupiah tiap bulan agar ada saja kegiatan di kelompok sampai saat ini kami sudah bisa iuran sebanyak 5 ribu rupiah,” cerita Nengah Kisid, inisiator kelompok ini.
Melalui kelompok, beberapa program pemerintah terkait peternakan dikelola kelompok. Hingga akhirnya kelompok bisa memiliki sapi dari hasil iuran dan bantuan-bantuan pemerintah.
Kelompok ternak kini perlahan mulai mandiri dan memiliki cukup kas, membuat sistem simpan pinjam uang untuk anggotanya. Kelompok mengelola bunga dari pinjaman kelompok.
“Peminjaman ini kita buat untuk membantu anggota kelompok yang membutuhkan uang. Namun, kami membatasi nominalnya agar kelompok tidak collaps dan semua punya hak untuk meminjam,” kata Kisid.
Sistem pinjam di kelompok ternak sedikit berbeda dari perbankan. Sebab setiap anggota yang meminjam, akan membayar bunga saja di setiap bulannya sebesar 1.5% dari total pinjaman. Lalu pinjaman induknya dibayarkan setiap 1 tahun sekali saat akan tutup buku.
“Itu tergantung kesepakatan juga, kalau ada yang gagal panen dan tidak bisa membayar ketika akhir tahun, maka akan diperpanjang. Yang penting dia bayar bunganya saja,” tambah Kisid.
Kelompok ternak Bukitsari menetpkan limit pinjaman setiap anggota sebesar 10 juta. Kalau sudah di atas 10 juta tidak boleh pinjam lagi hingga lunas terlebih dulu. Ini diberlakukan agar tiap anggota tidak sampai terlilit pinjaman di luar batas kemampuan pengembaliannya. Pengelolaan bunga pinjaman ini akhirnya membangkitkan kemandirian kelompok dari sisi kas.
“Dari hasil bunga ini, kita menawarkan ke anggota, jika ada yang mau sapi akan dibelikan sapi dan silakan dipelihara. Begitu juga untuk anggota yang sedang meminjam uang di kelompok, bisa memelihara sapi kelompok untuk tambahan mengembalikan pinjamannya,” ujar Kisid.
Dari hasil memelihara sapi itu, anggota bisa pelan-pelan mengembalikan pinjaman. Dengan sistem seperti ini, kelompok bisa merasa lebih tenang. Sebab, selemah-lemahnya kemampuan penghasilan anggota, masih ada hasil pemeliharaan sapi sebagai cadangan penghasilan.
Di kelompok juga menerapkan sistem bagi hasil. Dengan pembagian 50:50. Kisid mencontohkan, ketika kelompok membeli sapi dan sudah ada anggota yang meminang sapi ini. Perhitungannya, ketika sapi ini sudah siap dijual kembali, maka modal pembelian harus dikembalikan terlebih dulu ke kelompok. Setelah itu, baru kemudian keuntungannya dibagi dua dengan kelompok.
Kisid mencontohkan sistem pinjam-kembali ternak sapi di kelompoknya. Setelah sepakat siapa saja yang mau meminjam sapi, kelompok akan membeli bibit sapi. Biasanya harga bibit sapi sekitar 5juta. Bibit ini kemudian diternak oleh anggota yang meminjam. Saat umur 6-7 bulan, usia matang untuk jual sapi, sapi bibit ini akan dijual. Tentu dengan harga yang jauh lebih mahal. Misalnya saja 14 juta. Dari hasil jual ini, modal pembelian bibit sapi harus dikembalikan dulu, sebesar 5 juta. Keuntungan sisanya sekitar 9 juta akan dibagi dua antara peternak dan kelompok.
Luh Tu biasanya mensiasati sistem ini. Ia biasanya meminjam sapi betina untuk diternakkan. Ia tak menjual induknya, tapi akan dipelihara sampai melahirkan anak. Untuk mengembalikan sapi pinjamannya, ia harus menjual anak pertama sapinya. Sehingga ia tetap memiliki sapi dan tetap bisa mengembalikan sapi kelompok. Sampai saat ini Luh Tu memiliki 2 anakan sapi dari sapi pinjaman kelompok
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/05/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.38.40.jpeg)
“Sistem pinjam-kembali sapi di kelompok ternak Bukitsari sangat membantu ibu. Ibu tidak beban mengumpulkan modal untuk membeli sapi. Bagusnya, sistem ini kita baru hitung-hitungan uang setelah sapi memberikan hasil,” sebut Luh Tu sambil memandikan sapi-sapi kesayangannya.
Hingga saat ini kelompok sudah mampu mengumpulkan khas secara mandiri sebesar 180 juta.
Kisid menceritakan memilih sistem peternakan sapi ini adalah yang paling cocok dengan iklim di Sumberklampok. Sebelumnya kelompok pernah memelihara kambing dari pemerintah, tak lama kemudian mati. Mungkin tidak cocok dengan situasi di sini, duganya.
Sistem pinjam-kembali sapi lebih fleksibel, tapi juga setiap warga bisa membawa sapi kelompok yang dipinjam untuk diternak di lahan masing-masing anggota. Dari sisi pakan, rata-rata peternak di Sumberklampok memberikan rumput gajah.
“Setiap orang di sini pasti di lahannya ada rumput gajah,” kata Kisid.
Luh Tu sebagai salah satu anggota kelompok ternak yang semangat memelihara sapi pun sudah menanam rumput gajah sejak awal bertani. Menurutnya rumput gajah adalah pakan ternak yang paling efektif. Sekali tanam, rumput gajah bisa bertahan hingga bertahun-tahun.
Ia hanya menanam sekali, terus hidup dan bisa dipanen untuk pakan sapi. Kalau musim kering atau tidak kena air, rumput itu tidak mati, hanya saja tidak tumbuh meninggi. Akan menguning perlahan tapi akar dan batangnya tetap hidup. Luh Tu menanam rumput gajah sejak anaknya masih SMP.
“Kalau ada yang mati, tinggal tanam kembali. Menanamnya pun tidak memakan waktu lama. Sambil panen, jika ada batangnya yang cukup besar, tinggal ditancapkan ke tanah. Lalu tunggu maka akan tumbuh. Tanam saat musim hujan,” tambahnya.
Siasat lain beternak di Sumberklampok, para peternak di Bukitsari juga menggunakan pohon-pohon yang adaptif di daerah kering. Seperti yang ada di lahan Luh Tu, misalnya pohon jagung, pohon Lamtoro, Sunakeling, Kelor, dan pohon Intaran. Ketika tak ada air dan rumput gajah tak bisa tumbuh, Luh Tu akan menggunakan daun-daun pohon ini sebagai pakan ternak. Luh Tu tak pernah ambil pusing untuk pakan ternak. Apapun tanaman yang ada di lahan adalah makanan enak untuk pakan ternaknya.
Biasanya Luh Tu dan peternak lainnya mengakali pakan ternak sapi ini. Ketika siang hari lebih sering diberikan pakan dari pohon Lamtoro. Malam hari akan diberikan rumput gajah. Bukan tanpa sebab, karena kedua jenis pakan itu memiliki karakteristik yang berbeda.
“Lamtoro itu bikin seret, dikasi pas siang hari biar sapi mau minum air banyak. Kalau malam, kita kan tidur nggak sempat ngasi air, makanya kasi rumput gajah biar sapi tidak kehausan,” kata Suweca, anak satu-satunya Luh Tu.
Pemberdayaan Tanaman Lokal Adalah Adaptasi Pertanian Berkelanjutan
Pola pertanian dan beternak seperti yang dilakukan Luh Tu dan warga Bukitsari lainnya menjadi penerapan sebuah konsep Permakultur. Gusti Ayu Komang Sri Mahayuni, seorang praktisi permakultur melihat pola-pola adaptasi yang dilakukan warga Bukitsari adalah praktik permakultur. Kita bisa lihat karakteristik wilayah itu.
“Di Sumberklampok memang wilayah kering, sehingga jangan heran jika bisa saja pakan ternaknya lebih banyak pakai daun kering,” kata Sayu, panggilan akrabnya.
Sayu melanjutkan, kalau dari perspektif permakultur pastinya tetap bicara local resource alias pakan lokal yang ada di sana. Terkait respon perubahan iklim maka penting untuk melakukan observasi tanaman lokal (sebagai pakan) jenis apa yang bisa bertahan di saat kondisi iklim sekarang.
Jika bisa menggunakan rumput yang notabene membutuhkan air, berarti memang ketika itu di Sumberklampok sedang musim hujan. Namun karena musim kering di sana lebih panjang. Dan sangat wajar mereka mengeringkan rumput/batang jagung di atas pohon untuk diberikan ke ternak.
Sayu memaparkan mengapa konsep permakultur penting ditelaah. Konsep permakultur berkaitan dengan tatanan kehidupan yang lebih berkelanjutan. Dalam beberapa kondisi daerah seperti di Sumberklampok, penting menciptakan pertanian yang dapat menciptakan kesinambungan dalam kehidupan petani dan wilayahnya secara luas.
Salah satu cirinya pertanian permakultur adalah memberdayakan tanaman lokal yang dapat tumbuh saat kondisi iklim ekstrim. Dalam konteks peternakan, dapat diidentifikasi tanaman yang memungkinkan untuk pakan ternak. Misalnya jenis rumput apa yang dari dulu tumbuh di wilayah itu? Bisa tidak bertahan dengan karakter situasi di wilayah itu?
“Dengan konsep permakultur, Sumberklampok yang kering bisa dimaksimalkan sistem pemanenan air hujan dan memaksimalkan mulsa organik serta tanaman penutup tanah agar tanah bisa menyimpan kelembapan. Pemilihan tanaman juga penting tanaman apa yang cocok untuk lahan kering,” tutup Sayu.
Jalan Terjal Keadilan Perempuan Bukitsari
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/05/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-22.00.37.jpeg)
Beda situasi pertanian, berbeda juga kondisi keadilan gender di Sumberklampok. Dengan situasi Luh Tu yang pernah mengalami momen sulit di keuangan keluarga, apakah ia sudah benar-benar merdeka sebagai perempuan?
Yogi Paramitha, seorang peneliti law, gender and human rights dari Indo-Pacific Research Center, Murdoch University, Australia menanggapi situasi Luh Tu. Untuk melihat sejauh mana perempuan mendapatkan keadilan gender bisa dilihat dari 3 elemen keadilan. Pertama, rekognisi, sejauh mana perempuan di sana diakui keberadaannya termasuk kerentanan yang mereka hadapi. Kedua, partisipasi, sejauh mana perempuan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Ketiga, distribusi, sejauh mana distribusi dampak baik positif maupun negatif dari aktivitas yang mereka lakukan itu dapat dirasakan secara merata. Misal, keuntungan dari kelompok ternak apakah sepenuhnya dirasakan oleh perempuan?
“Nah keadilan ini sifatnya derajat. Bukan ada atau tidaknya keadilan. Cuma dilihat dari kuat atau lemahnya,” jelas Yogi melalui pesan WhatsApp.
Bisa saja dalam hal partisipasi perempuan tidak terlibat tapi dalam hal distribusi keuntungan mereka dapat.
Dari pengalaman yang pernah dialami Luh Tu, yang tak pernah menikmati hasil panennya, Yogi menyebutkan ada masalah mendasar dari lapisan rekognisi. Hak perempuan untuk memiliki uang atas hasil kerjanya. Tidak memiliki hak atas kepemilikan kerja kerasnya.
Selanjutnya ia juga melihat ada bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Dimana perempuan diperas tenaganya untuk menghasilkan/berproduksi tapi ketika ada hasil, justru mereka tidak dapat menikmati.
Keadilan untuk perempuan tak hanya secara prosedural saja. Yang mana perempuan hanya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan saja. Nmun keadilan substantifnya harus terpenuhi, apa yang menjadi bagian dan miliknya mesti diakui.
Kelompok ternak ini menjadi penanda bahwa keadilan prosedural bagi perempuan sudah mulai diakomodir. Dengan adanya akses bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan (aspek partisipasi). Akan tetapi keadilan prosedural saja tidak cukup. Sebab itu hanya jalan untuk mewujudkan keadilan substantif. Yakni adanya penghormatan terhadap hak perempuan dan adanya distribusi yang adil atas sumber-sumber agraria bagi perempuan.
Dalam konteks Sumberklampok, perlu dicek lagi apakah pengambilan keputusannya hanya pada kelompok ternak saja? Atau dalam konteks yang lebih luas? Yaitu dlm institusi banjar atau desa misalnya.
Jika hanya dalam kelompok ternak, artinya itu baru pintu masuk untuk mendorong partisipasi perempuan pada level yang lebih luas. Sehingga kepentingan perempuan dalam pengambilan keputusan dapat terwakili.
“Artinya, derajat keadilan bagi perempuan di Sumberklampok masih lemah karena baru mengakui aspek partisipasi saja. Oleh karena itu butuh penguatan aspek substansi sehingga keadilan gender dapat benar-benar dirasakan,” terang Yogi, yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Ia mewanti-wanti, jangan sampai keterlibatan perempuan ini sifatnya tokenistik. Yang mana perempuan “dibuat” muncul dalam partisipasi, karena memang aspek partisipasi ini yg paling mudah untuk dilihat. Tapi perempuan tidak benar-benar sebagai penerima manfaat.
(Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co)