Jalan tol memang solusi pintas di Bali. Tapi bukan langkah bijak di masa depan.
Itulah yang saya bayangkan kemarin pagi. Maklum linimasa sedang gegap gempita oleh pembangunan jalan tol pertama di Bali. Apalagi untuk tweeps yang berdomisili di Bali. Heboh.
Ada yang mendukung tapi tidak sedikit pula yang menolak. Sikap saya pribadi menolak pembangunan itu. Sikap ini jelas. Saya tidak percaya dengan penambahan ruas jalan akan membantu kemacetan di pulau ini.
Tapi apa mau dikata, toh meski suara sumbang soal penolakan, pembangunan jalan mulus. Lenggang kangkung. Maklum, Pulau Bali tak hanya milik warga Bali. Bali lebih sering jadi pagar ayu Indonesia di mata dunia. Etalase semu yang ironisnya lebih banyak pada posisi tak berdaya.
Solusi kemacetan di Bali, atau lebih tepatnya di Denpasar dan Badung, bukan dengan membangun jalan tol. Tidak. Saya sama sekali tak sepakat. Solusi jangka pendek iya. Kemacetan di Bali adalah ekses. Nah, yang dilakukan hari ini hanya mengobati akibat. Kita lupa, ada sebab di hulu yang seharusnya dicarikan penyelesaian.
Baiklah, daripada disebut mengkritik tanpa memberikan solusi, saya akan berikan solusi. Agak klise tapi justru tidak dilakukan oleh pemerintah daerah. Silakan didebat untuk mencari jalan keluar terbaik.
Kemacetan itu tentu saja karena ada banyak kendaran pribadi, roda empat dan dua. Ini belum ditambah kendaraan travel dan bus pariwisata. Sementara kita tahu lebar dan panjang ruas jalan di Bali sangat terbatas. Kepadatan ini mesti ditambah dengan rendahnya disiplin pemakai jalan. Klise kan?
Lalu apa yang harus dilakukan? Tentu saja, pemerintah harus membangun transportasi publik yang terintegrasi, nyaman dan terjangkau (harga). Terintegrasi maksudnya daya jelajah angkutan itu menjangkau asal pengguna dan mencapai lokasi tujuan. Menjadikan Nusa Dua sebagai destinasi adalah pilihan tepat bagi saya. Wilayah ini ada banyak pekerja dengan jam kerja pasti. Lainnya, lokasi ini tidak memerlukan mobilisasi tinggi.
Akan lebih bagus lagi misalnya, pengelola Trans Sarbagita bisa mengajak, angkutan umum untuk menjadi kendaraan umpan. Kendaraan ini bisa menjelajahi gang-gang sempit atau ruas jalan yang tidak dijangkau oleh bus Sarbagita. Kelihatannya simple tapi memikirkan skema ini membutuhkan pemikiran matang.
Trans Sarbagita memang langkah yang bagus meski sangat terlambat. Kemacetan sudah keburu hadir. Tapi skema yang ditawarkan, jika semua rute sudah selesai, bisa menjadi solusi jangka panjang. Saya berharap, pengelola Trans Sarbagita meniru pengelola Trans Jakarta dalam beberapa hal.
Misalnya menyediakan lahan parkir di setiap terminal hulu. Tidak mudah memang karena akan membutuhkan lahan baru, tapi ini bisa dicoba. Misalnya membuat gedung parkir bertingkat. Investasi awal memang membutuhkan banyak biaya. Saya harap, pemerintah daerah mau berkorban banyak dana untuk kemaslahatan orang banyak (cieeh bahasanya).
Sembari membenahi kebijakan transportasi secara komprehensif, pemerintah harus berani mencabut pemakaian bahan bakar bersubsidi. Skema ini ditujukan kepada pemilik kendaraan pribadi. Tahap awal bisa dikenakan kepada pemilik mobil dengan kapasitas mesin tertentu. Setelah itu secara bertahap diterapkan ke semua pemakai kendaraan pribadi. Tak terkecuali sepeda motor.
Pada akhirnya yang berhak memakai bahan bakar bersubsidi hanya kendaraan barang atau kendaraan umum. Hanya kendaraan plat kuning. Lalu bagaimana dengan kendaraan plat merah? Suruh mereka pakai BBM non subsidi! Selama ini, subsidi BBM sebesar hampir Rp 30 triliun lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah ke atas.
Buat saya lebih adil dan bijaksana jika nilai itu dipakai untuk mensubsidi angkutan umum. Angkutan umum seharusnya berpendingin, lega dan aman. Selain itu, subsidi diharapkan membuat angkutan umum bisa lebih terjangkau oleh masyarakat bawah dan menengah. Lebih arif bukan?
Buat saya, jika transportasi umum sudah bagus dan terjangkau, memiliki kendaraan pribadi adalah pilihan sadar. Beda dengan sekarang, masyarakat memilih memakai kendaraan pribadi karrena tidak ada alternatif lain. Pakai angkutan, biayanya mahal. Belum kreditan motor yang aje gile murahnya. Apalagi ditambah dengan bahan bakar yang relatif murah disubsidi pemerintah.
Kebijakan lain yang diterapkan pelan-pelan misalnya pengenaan pajak progresif bagi kendaraan pribadi. Pajak ini bisa berdasarkan tahun produksi, kapasitas mesin atau daya tampung. Semakin mewah semakin mahal pajak yang mesti dibayar. Metode ini tidak akan membuat pemerintah kehilangan pendapatan kan?
Di masa depan, memiliki kendaraan umum harus menjadi pilihan sadar. Pemiliknya harus tahu bahwa mereka akan dihadapkan pada bahan bakar yang mahal. Mereka juga akan dihadapkan pada pajak kendaraan yang mencekik. Jika ingin murah, pemerintah tinggal bilang: silakan naik angkutan yang kami sediakan!
Tidak ada jalan pintas memang untuk memperbaiki kesemrawutan ini. Ibarat orang sakit, pemerintah hanya memberikan obat. Tetapi pemerintah lupa mengajak masyarakat untuk mencegah penyakit. Dia lupa menyuruh masyarakat untuk berolahraga dan menjaga pola hidup.
Bali sudah terlalu ringkih. Jangan mau dibodohi lagi atas nama kepentingan ekonomi pariwisata. Apalagi pujian semu pemerintah pusat! [b]
sepakat, nyot. menurutku utk pulau sekecil bali, masalah tranpsortasi itu seharusnya tak terlalu susah diatur. apalagi dia terpisah begini dari pulau lain.
transportasi publik itu seharusnya dibenahi. bukan dg menambah jalan tol yg akhirnya cuma utk orang bermobil. orang kaya. bukan utk orang miskin. lalu, kendaraan akan terus bertambah. ruwet.
kalau tranpsortasi publik sudah nyaman, kita pasti dg mudah berpindah ke kendaraan umum kok. tinggal pemerintahnya mau apa tidak.
kalo bisa beli kendaraan sendiri kenapa harus naik angkot……ane yakin itu yang pasti di jawab sama orang2 kebanyakan….jadi solusi mindset jangan lupa juga….
Setuju, langkah awal memang pemerintah harus menyediakan angkutan massal yang berprikemanusiaan, nyaman dan efektif mengenai waktu tempuh, kalau itu sudah ada saya yakin pemerintah bisa merubah mind set masyarakat untuk memanfaatkan kendaraan umum, pajak progresif sudah diterapkan di beberapa daerah seperti jakarta dan surabaya, masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu maka kendaraan kedua, ketiga dst pajaknya jauh lebih tinggi, saya kira pembatasan kendaraan roda dua bisa dijadikan jurus akhir apabila masyarakat sudah semakin mencintai angkutan umum, bravo bli lenyot!
Untuk jalan tol yang pertama ini, saya setuju. Untuk satu jalan tol, suatu saat kita pasti memerlukannya. Untuk tol-tol berikutnya sikap saya juga jelas, menolak!
Tapi patut dicatat juga, bahwa Denpasar itu tidak saja penuh oleh warga yang tinggal dan menetap di Denpasar. Saya merasakannya, datang dari desa yang tidak terjangkau transportasi merupakan satu ‘keharusan’ membawa kendaraan saya ke Denpasar. Artinya, saya sudah menambah satu kendaraan di jalan Denpasar.
Denpasar, Kuta dan sekitarnya macet karena banyak juga kendaraan luar Denpasar yang memasuki kawasan ini. Masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi ke Denpasar dan sekitarnya, karena angkutan tidak akan pernah menjangkau pedesaan. Alasannya, di kampung tidak ada penumpang. Angkutan umum pasti bangkrut!
Ada juga ratusan pura yang setiap saat bisa menutup badan jalan, galian PDAM, PLN yang menambah macet jalan-jalan Denpasar. Jadi angkutan umum hanya sebuah solusi kecil terhadap masalah kemacetan ini.
Saya pernah mencoba menggunakan angkutan umum untuk pulang kampung, dan itu butuh waktu 5,5 jam untuk sampai ke rumah. Yang biasanya hanya 1,5 jam.
Untuk angkutan wisata, ini menyangkut hajat hidup para sopir yang jumlahnya puluhan ribu di Bali. Tentu tidak semudah beropini mencarikan pekerjaan pengganti buat para sopir pariwisata ini. Mereka mulai tertib, mengurus ijin angkutan wisata, dan tiba-tiba saja harus diberangus seperti becak di Jakarta? Saya akan mengatakan itu sebuah pembredelan terhadap hak hidup mereka!
Lalu? Ini sudah menjadi penyakit kronis, pemerintah telat menyadari kemacetan ini. Penyadaran masyarakat butuh waktu lama. Tentu tidak bisa menggunakan cara-cara yang represif untuk menyadarkan masyarakat agar segera menggunakan angkutan umum.
Tidak semudah beropini om, meluruskan kekusutan dan kemacetan lalu lintas Denpasar! Tapi bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Opini cuma menambah keruh dan menghasilkan perdebatan dan tanpa solusi.
Secara pribadi sih saya lebih suka jika Angkutan Umum dibuat nyaman dan ber-ongskos yang sama. Selama ini yang namanya angkutan umum ya selalu berdesak”an gag nyaman dan soal ongkos beda”pula. Soal jalan Tol mbok ya kalo bisa jangan diteruskan, tapi ya bagaimana lagi wong yang punya keputusan itu kalangan atas yang gag bakalan pernah baca Opini beginian ini lantaran mereka sudah kadung tergiur dengan Bonus”yang lumayan dari pusat.
Jadi ya sudahlah…
Betul, Jalan Tol bukan solusi yang tepat, sekali lagi itu lebih sebagai solusi untuk mengakomodasi pemilik2 mobil.
Saya lebih ingin Bali memperbaiki angkutan umum, MRT dan bus2. Solusinya mungkin seperti ini:
1. Menetapkan pajak yang lebih tinggi untuk mobil, sehingga satu keluarga hanya memiliki 1 mobil.
2. Membangun underpass untuk MRT, bus 24 jam, dan angkutan kecil utk wilayah yang tidak terjangkau bus dan kereta.
Diharapkan sih mobil2 pribadi dapat berkurang dengan pajak dan peraturan parkir yang benar.
mantab opininya. transportasi publik yg lengkap (trayek), nyaman, terjangkau, dan aman yg paling memungkinkan buat ngurangi macet.
ibarat nambah wadah air, makin ditambah wadah ya air bakal terus mengalir ngisi tempat yg kosong.
1. saya setuju jalan tol sebagai salah satu solusi mendesak, yang tentu bersinergi dengan nilai-nilai agama dan budaya
2. saya setuju jalan tol, karena kita tidak bisa menutup mata dengan kemacetan yang sedang terjadi dan sangat urgent di benahi ( jangan menunggu lama, karena Bali akan menjadi yesterday destination , kalah bersaing, karena lambat laun Bali bukan lagi dikenal sebagai pulau budaya dan keramah tamahan malah di kenal /mulai ditinggalkan karena kesemerawutan, sumpek transportasinya)
3. Saya setuju jalan tol, karena menerapkan minyak non bersubsidi buat masyarakat menengah keatas dan yang bersubsidi buat masyarakat miskin akan memakan waktu yang sangat lama, karena definisi masyarakat miskin belum jelas begitu juga sebaliknya
4. Saya setuju jalan tol, karena trans serbagita minim penumpang dan belum diminati *
5. Bersambung……..*mohon di sambung kalo anda sependapat…..
Kalau urusan jalan Macet dan Jalan Tol ini, Para pemimpin daerah dan pemimpin nasional akan jawab begini :
“Maaf ya… saya kan cuma menjabat 5 tahun, atau paling lama sepuluh tahun… jadi selama saya menjabat lebih baik saya kumpulkan duit sebanyak-banyaknya, buat anak cucu…trus bangun citra seindah-indahnya (supaya bisa terpilih lagi, hehehe)…Syukur-syukur anak saya bisa juga jadi pemimpin daerah. Rakyat sekarang kan nggak perlu prestasi pemimpin, udah nanti pas pemilu kasi duit aja, pasti saya menang lagi. Urusan transportasi?? Urusan rakyat miskin??? urusan Macet??? Ah…. Anda-anda aja yang mikirin, saya nggak mau stress ah. Kalau saya stress trus sakit, trus mati, gemana? Kan nggak lucu kalau pas sedang enak-enak berkuasa mati???” Kalau urusan tersiksa macet di jalan : ya…. siapa suruh jadi rakyat???? Hahahahaha…. (si Pejabt ini berkata sambil masuk ke mobil mewah yang didepannya sudah ada pengawal berserine) nguing, nguing, nguing,,,,,,,Pejabat itu pun pergi meninggalkan kita yang cuma bisa bengong.
Jadi diskusi dan solusi yg ditawarkan hanya sampai dan berakhir disini? Di kolom balebengong dan form komentar?? Klo cuman begini terus ya gak jauh beda sama masturbasi.
Bukannya pajak progresif sudah diterapkan nyot?
Yah jelek-jeleknya motor saya usakan pakai pertamax. FYI tidak semua SPBU jual pertamax. Jadi iklan pertamina di TV itu mubazir. Disuruh pakai pertamax, tapi pertamaxnya susah didapat, ya sama saja.
salam
gt
@gustulang : nyuwun sewu… soal mengatasi macet dan juga banyak masalah di negeri ini, ada banyak solusi yang bisa ditawarkan. Saya yakin, para pengambil kebijakan menyadari mana solusi terbaik yang harus diambil, hanya saja masalahnya adalah mereka tidak mau melaksanakan solusi tersebut. Mereka (para pengambil keputusan) sudah michek (pura-pura buta), Mbudheg (pura-pura tuli) dan dhablegh (sudah nggak punya hati nurani).
@winata: nyuwun sewu juga… lalu apakah kita ‘hanya’ menulis dan berdiskusi di balebengong?
Menurut saya, penerapan pajak progresif salah satu penyebab aliran kendaraan baru tidak bisa dikontrol. PAD dari pajak kendaraan sangat tinggi dan salah satu sumber pendapatan yg mudah digenjot.
memang benar solusi mengatasi kemacetan dengan bijak adalah transportasi publik yang bagus. Tapi transportasi publik tok, tidak menjamin semua beres, karena? karena kita mewadahi kota, kota mewadahi manusia, dan manusia tidak statis. trus? karena manusia dinamis inilah yg membuat pola perkembangan kota melebar kesamping. Penyebaran kota kesamping inilah yg mengakibatkan kemacetan (traffic congestion), karena jarak tempuh dari permukiman menuju tujuan aktivitas keseharian sudah terlalu jauh, hal inilah yg mengakibatkan banyak kota – kota di Indonesia mengalami kemacetan parah. Solusi gampangnya adalah memperpendek jarak tempuh. Dengan? pertama, pembagian wilayah yg benar, kota2 di Indonesia semuanya memiliki satu inti, dalam konteks urban kota jenis ini disebut Monosentric, seharusnya kota harus dipecah menjadi beberapa bagian yg mampu melayani dirinya sendiri. dengan cara seperti ini, konsentrasi penyebaran penduduk lebih merata, pada akhirnya jarak antara residensial dengan daerah bekerja menjadi dekat, tidak ada traffic congestion yg berarti. kedua, mass transport dan mass transit yg baik dan manusiawi. Hal ini mutlak harus ada, karena sebuah daerah layak disebut kota apabila memiliki elemen bangunan, ruang terbuka umum (public spaces), jalan, transportasi umum, dan ruang terbuka hijau. Lalu seperti apa trasportasi umum yg baik? ya harus terjangkau semua lapisan masyarakat, bersih, aman dan Tepat Waktu. Membandingkan transportasi umum kita dengan beberapa negara lain, memang jomplang. Di banyak negara lain, dimana problem kemacetan dapat teratasi, transportasi publik adalah nadi kota. Ambil contohnya Shinjuku di Tokyo, Singapura, Eindhoven, atau Melbourne. Kemacetan di sana hampir tidak pernah terlihat, padahal perbandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah kota sangat berbeda jauh. Mass transit juga harus dipertimbangkan, karena ini adalah pintu masuk sebuah sistem transportasi umum, sudah selayaknya direncanakan dengan matang, setahu saya, di beberapa tempat ada DED (Detail Engineering Design) yg mengatur persyaratan stasiun pemberhentian masing – masing moda transportasi. Jadi seharusnya tidak ada masalah – masalah seperti kepenuhan orang, kotor, tergenang air dsb bermunculan. Ketiga, kemudahan untuk berganti moda transportasi, semisal dari bus berganti ke metro atau kereta api, jika harus membeli tiket pada masing2 moda transport, tentu akan memerlukan waktu, waktu berarti menunggu, dan menunggu itu sama dengan macet…..harus ada satu fasilitas tiket yg sudah mencakupi semua moda tersebut……
terimakasih….
Menarik soal pembagian wilayah. Barangkali ini perlu dipikirkan oleh pemerintah, terutama daerah-daerah yang belum berkembang secara optimal. Kalau Denpasar rasanya susah. Sudah terlalu sesak.