Cuitan di X yang direpost oleh akun X BaleBengong. Foto: tangkapan layar X
Beberapa waktu lalu saya melihat perdebatan di X mengenai aktivitas pengguna trotoar di Bali. Pemantiknya adalah suatu foto yang memperlihatkan sebuah motor diparkir di trotoar, sehingga menghalangi pejalan kaki yang hendak melintas. Pengguna X merespons bahwa sebenarnya warga Bali tidak malas jalan kaki, hanya saja fasilitas pejalan kaki di Bali sangat minim. Sekali pun fasilitas pejalan kaki tersedia, fasilitas tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Sebagai masyarakat Bali, saya sendiri jarang jalan kaki, bahkan untuk sekadar ke toko di dekat rumah. Ada dua alasan yang membuat saya tidak memilih untuk jalan kaki, fasilitas yang tidak memadai dan kebiasaan mengendarai motor dalam jarak dekat. Sebelum pemerintah gencar membangun trotoar, fasilitas pejalan kaki di sepanjang jalan rumah saya sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali.
Setelah trotoar selesai dibangun, saya mencoba untuk berjalan beberapa kali ke tempat-tempat di sekitar saya. Rasanya sangat nyaman dan aman, berbeda dengan berjalan kaki tanpa trotoar. Sebelumnya, saya merasa sangat was-was, apalagi jalanan di sekitar rumah saya tergolong cukup ramai, tentunya takut diserempet oleh pengendara motor. “Ibu besok mau jalan-jalan, mumpung trotoarnya udah jadi,” begitu ucapan ibu saya yang bersemangat untuk berjalan-jalan.
Pejalan kaki di daerah Ubud. Foto oleh: Dewa Kresnanta
Namun, berjalan kaki hanya cocok dilakukan ketika sore hari. Pasalnya, matahari terasa sangat terik seakan membakar kulit. Bagaimana tidak, pembangunan trotoar di daerah rumah saya dibarengi oleh penebangan pohon di sepanjang jalan. Tidak ada lagi pohon rindang yang melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Jangankan berjalan kaki, naik motor tanpa mengenakan jaket saja rasanya kulit terbakar. Bahkan, hal ini juga dikeluhkan oleh tetangga saya. “Aduh panas ne jani Yu, to gara-gara jani sing ade punyan (Aduh sekarang panas sekali, itu gara-gara nggak ada pohon,” keluh tetangga saya ketika saya berkunjung ke rumahnya.
Trotoar jelas merupakan fasilitas pejalan kaki, tetapi masyarakat menggunakan sesukanya, sering kali untuk parkir kendaraan. Hal ini menyebabkan pejalan kaki yang ingin melintasi trotoar harus turun ke bahu jalan. Selain untuk parkir kendaraan, di daerah yang sangat padat kendaraan bermotor, trotoar tentu digunakan untuk menghindari kemacetan. Hal ini diungkapkan oleh teman saya, Mahar, yang bekerja di Canggu dan merasakan kepadatan daerah tersebut. “Bahaya banget ngadepin bule yang meresahkan kalau naik motor,” ucap Mahar yang siang itu hendak keluar untuk membeli makanan, tetapi terpaksa harus berjalan kaki karena jalan di depan kantornya masih proses perbaikan trotoar.
Dia mengeluhkan panasnya jalanan saat itu dan perjuangannya menghadapi tindakan pengendara motor yang meresahkan karena menggunakan ruang pejalan kaki untuk berkendara. Daerah di sekitar tempat kerjanya memang belum memiliki trotoar yang memadai, tetapi terdapat ruas jalan yang bisa digunakan oleh pejalan kaki. Namun, ruas jalan tersebut juga cukup membahayakan karena banyak pengendara motor yang melewati ruas jalan tersebut.
Itak, seorang pekerja di daerah Gatot Subroto Timur juga mengeluhkan hal yang sama. Ia memilih jalan kaki untuk menghindari macetnya kawasan Denpasar. Sialnya, saking macetnya ruas jalan, kendaraan roda dua malah mengambil akses trotoar. “Kita yang jalan jadi kayak mau ditabrak gitu,” keluh Itak.
Selain kurangnya fasilitas pejalan kaki, kebanyakan masyarakat Bali memiliki kebiasaan mengendarai motor, bahkan untuk menempuh tempat berjarak dekat. “Tentu tidak Gek, aku jalan di rumah aja karena rumah sama dapurku jauh,” ujar Melani yang saat ini tengah bekerja di salah satu sekolah menengah di Badung. Melani sama sekali jarang berjalan kaki, kecuali ketika ada upacara keagamaan atau berjalan kaki di pekarangan rumahnya. Ia lebih memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor karena menurutnya lebih cepat sampai dan tidak aman untuk berjalan kaki. Tidak aman dalam artian tidak ada fasilitas atau trotoar yang aman dan nyaman untuk pejalan kaki.
Dari berbagai pengalaman tersebut, salah satu faktor terbesar minimnya aktivitas jalan kaki di Bali adalah fasilitas yang tidak mendukung. Pada satu tempat memang terdapat trotoar, tetapi sayangnya pembangunan trotoar tersebut dibarengi oleh penebangan pohon peneduh. Di sisi lain, ketika ada trotoar dan pohon peneduh yang layak, akses trotoar malah direbut oleh pengendara motor.