Buku ini mengisahkan dua kisah cinta yang tidak biasa.
Beberapa waktu lalu, saya dan salah seorang teman rutin melakukan mengunjungi tempat-tempat yang kami anggap bagus jika dikunjungi pada malam hari. Tidak terlalu jauh, kami hanya suka berputar-putar saja pada jalur Denpasar, Jimbaran, dan sesekali mungkin ke Ubud. Kunjungan-kunjungan itu kami lakukan hanya karena bosan dengan keadaan kos masing-masing. Tugas dari kampus juga itu-itu saja.
Kami mengunjungi night life yang berada di kawasan Kuta dan Seminyak meskipun tidak sampai masuk ke dalam bar-bar yang memutar musik-musik aneh yang membuat orang-orang menari. Kami cukup paham bahwa meskipun hanya beberapa waktu bahagia tetap disebut bahagia.
Kami juga mengunjungi kawasan Ubud di malam hari. Melihat hiruk pikuk orang-orang berlalu lalang di Ubud pusat (central), di sekitar Puri Ubud. Namanya juga central, kawasan ini lumayan padat menjelang sore ke malam hari. Namun, bergeser sedikit menjauh dari keramaian itu, kamu bisa menemukan Ubud yang sesungguhnya. Sepi. Tenang. Membawa pikiran ke dalam mode chi untuk beberapa saat.
Namun, yang paling berkesan dari kunjungan-kunjungan pada malam hari itu tentu adalah mengunjungi pasar malam. Bagi kami, mengunjungi pasar malam adalah upaya menemukan kehidupan yang sesungguhnya. Ketenangan yang terhenti, kenyamanan yang terganggu. Mungkin serupa lalat yang sangat bahagia ketika bisa menghinggapi tumpukan daging, tetapi dia tidak tahu bahwa kibasan kipas akan segera mengusirnya dari perasaan nyaman.
Mengunjungi pasar malam juga memberikan rasa hangat yang ganjil. Suara-suara tawar-menawar yang terus bersahut-sahutan. Para pedagang yang menahan kantuk di pojok sepi. Anak kecil yang menangis. Bau-bau amis yang kadang tak tertahankan.
Dan sejak pandemi mulai mewabah di Indonesia, termasuk juga di Bali, aktivitas jalan-jalan kami terhenti. Dengan segala protokol yang ada, kami sadar untuk tidak memuaskan ego kami untuk berjalan-jalan di pasar dan menimbulkan kerumunan yang tidak penting.
Oleh sebab itu, dengan beberapa rekomendasi dari beberapa orang random di Twitter aku menemukan buku canggih yang bisa membawa perasaan-perasaan hangat yang sama seperti ketika mengunjungi tempat-tempat di atas. Buku itu adalah, Jakarta Sebelum Pagi karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (yap, that’s her name and I think I Obligate to write it correctly). Penulis buku ini, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (thanks copy-paste) merupakan pemenang Sayembara DKJ tahun 2014 dan 2016 juga menulis beberapa karya lain. Terakhir, dia terlibat dalam penulisan buku the Book of Jakarta.
Kembali ke buku Jakarta Sebelum Pagi, buku ini mengisahkan dua kisah cinta yang tidak biasa. Keduanya merupakan kisah cinta yang membutuhkan perlakuan khusus. Perlakuan yang seharusnya mungkin kita tujukan kepada orang yang kita cintai. Ziggy menceritakan buku ini secara nakal dan tidak terduga. Menjaga kerahasiaan cerita dengan tetap menyelipkan beberapa clue yang bisa dilihat di beberapa tempat. Ziggy juga berhasil membawa ritme di cerita buku ini enak untuk dibaca secara terus menerus (karena penasaran) atau membacanya dengan perlahan untuk sekadar menikmati Jakarta sebelum pagi.
Suka tidak suka dengan Jakarta dan Jakarta Sentrisme, kita harus mengakui bahwa kota Jakarta sendiri merupakan kota dengan sejarah panjang yang di dalamnya menyimpan segudang cerita. Cerita-cerita tentang Jakarta inilah yang dimasukan menjadi latar belakang buku ini. Saya sendiri sangat menikmati perjalanan-perjalanan sebelum pagi yang dilakukan olah karakter dalam buku ini. Melihat Jakarta dari sudut-sudut yang tidak biasa. Mendengar sunyi yang begitu nyaring ketika orang-orang sedang terlelap.
Perjalanan sebelum pagi yang karakter lakukan dalam buku ini persis membawa saya ke memori sebelum pandemi mewabah. Pada saat kami masih bisa mengunjungi tempat-tempat seru di Bali. Kawasan Pasar Badung dan kawasan Heritage Gajah Mada menurut saya salah satu kawasan bersejarah yang bisa kamu kunjungi baik pada siang ataupun malam hari. Suasana kawasan ini seperti lorong waktu yang bisa membawamu ke masa lalu.
Apa lagi ya? Ohh, jika disuruh membuat daftar buku-buku terbaik yang saya baca pada tahun 2020, novel ini niscaya akan menduduki peringkat 5 besar bacaan terbaik. Urutan 1 – 4 mungkin akan diisi oleh jurnal-jurnal pariwisata yang enggak banget, tetapi harus saya baca demi kepentingan skripsi. Eh, nggak ding.
Mungkin untuk mengakhiri, saya akan mengutip penggalan cerita dalam novel ini:
“Aku memiringkan kepala, membenamkan telinga kiri ke dalam bantal supaya ucapan Pak Meneer nggak keluar dari sana. It’s been great, so far, tapi I don’t know. It’s like, I am living inside a house cards and I am in love with the wind, i wanna let it in but then i will lose everything. Dan sekarang, aku mulai banyak berpikir and I hate that. Hidup lebih sederhana ketika otak cuma sekedar bagian dari menu makanan padang”
Saya bisa memilih ending yang lebih baik selain menggunakan kutipan ini, tapi “Otak” dengan konotasinya sepertinya sudah cukup. [b]