Oleh Yahya Anshori
Pengantar
Beberapa tahun setelah kasus HIV/AIDS melanda Indonesia (1990-an), orang cenderung menilai AIDS sebagai hantu yang menakutkan. Lalu, media massa (cetak) membuat karikatur yang menggambarkan AIDS sebagai sosok serem berpakaian hitam yang siap menerkam mangsanya.
Kebetulan, kasus perdana AIDS di Indonesia menimpa seorang turis Belanda yang tengah berlibur di Bali (1987), maka AIDS pun segera dianggap sebagai penyakit orang asing. Lalu, media massa pun cenderung membingkai bahwa AIDS bersumber dari orang asing dan terkait erat dengan dunia pariwisata. Pariwisata menjadi media penular HIV – yang kemudian muncul opini perlunya kartu bebas AIDS (KBA) bagi setiap wisatawan yang datang. Kendati sempat ramai diperdebatkan, ide konyol KBA inipun akhirnya kandas, karena jelas tak efektif untuk mengantisipasi AIDS. Seseorang yang telah mengantongi KBA, tak bisa dianggap bebas begitu saja dari ancaman AIDS. Perilaklu risiko-nyalah yang menentukan ia bisa terserang AIDS atau tidak.
Dalam perjalanan berikutnya – bahkan hingga saat ini – AIDS acapkali dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, terutama terkait dengan PS (pekerja seks) dan penasun (pemakai narkoba suntik). Cap buruk (stigma) yang menyertai penyakit mematikan ini telah memunculkan berbagai intepretasi dan penggambaran tentang persoalan HIV/AIDS baik yang menyangkut ”penyakit AIDS-nya’ sendiri maupun terhadap penderitanya (Odha).
Lantas, bagaimana seharusnya kita memandang persoalan HIV/AIDS ini?, Bagaimana cara ’membaca’ berita atau opini di media massa, khususnya yang menyangkut masalah HIV/AIDS? Labih lanjut, bagaimana kita tak hanya sekedar sebagai konsumen berita (wacana) HIV/AIDS, tetapi kita harus sebagai pencipta atau sutradaranya?
Wacana Media Massa: Tak Bebas Nilai
Wacana adalah discourse atau opini, khususnya yang menyangkut masalah HIV/AIDS merupakan opini yang terkait dengan ideologi tertentu. Ideologi itulah yang diusung oleh media massa sekaligus sebagai ciri keberadaanya. Pengaruh ideologi ini sangat jelas dalam pemberitaan, karena peristiwa atau kejadian yang ada dipotret atau ditulis berdasarkan ideologi yang dianut oleh media massa itu. Adanya kacamata ideologi itu menjadikan duduk soal yang diungkap akan dipilih dengan yang lebih dekat dengan ideologi tersebut. Muncul adanya saringan ideologi yang menjadikan berita yang muncul di koran, majalah atau tampil di TV dan radio telah disunat. Ini makanya, ketika berita itu sampai kepada masyarakat, akan mewujud dalam bentuk yang berbeda-beda.
Saringan ideologi ini juga mendorong terjadinya pemilahan pembaca, orang-orang yang paham idiologinya lebih condong ke muslim akan lebih senang membeli koran Republika, koran Pelita, najalah Ummat, Sabili, Panji Masyarakat dan sejenisnya. Orang-orang dengan ideologi nasionalis-muslim akan merasa dekat membaca najalah Tempo, koran Tempo, Berita Buana, Media Indonesia, sedangkan mereka yang memegang nilai-nilai religusitas- transenden akan menyimak Kompas. Sudah tentu dalam situasi sehari-hari, terjadi varian antara kelompok tersebut. Pertimbangan pemilik penerbitan media massa memilih edeologi mana yang akan mereka junjung sangat bervarisi. Ada yang memang benar-benar terpanggil oleh ideologi itu, tetapi juga karena pertimbangan ekonomis, yaitu demi mendapatkan pasar.
Dalam kasus peledakan bom di Bali 12 Oktober 2002, misalnya koran Republika banyak memberikan sorotan pada siapa pelaku peledakan itu dan mendorong opini akan terlibatnya pihak asing terutama Barat, sedangkan Kompas dan Media Indonesia lebih banyak memberitakan dampak kemanusiaan atas tragedi itu. Pertimbangan ini, selain dipengaruhi oleh ideologis, juga memenuhi pertimbangan pasar. Republika yang sebagian besar pembacanya kalangan Muslim tentu saja muncul sensitifitas ketika membaca counter Islam, sedangkan dua harian lainnya yang segmen pembacanya adalah kaum nasionalis, lebih tergugah untuk mengambil sisi humanismenya. Sementara itu, hubungan antara redaksi dengan pemasangan iklan juga menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan.
Media massa tidak bisa menyajikan keseluruhan kebenaran atas sebuah peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan industri pers tidak bebas nilai karena sejumlah faktor seperti pilihan ideologi, kepentingan pasar, serta kebijakan keredaksionalan lainnya. Terkait dengan itu, bentuk wacana yang muncul di media massa, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, seperti ideologi, kepentingan pasar, dan kebijaksanaan keredaksionalan lainnya.
Media massa adalah media atau ajang permainan bahasa atau tanda (istilah, ungkapan, ilustrasi) yang tak bebas nilai. Bahasa dalam pandangan positivisme logis memproduksi makna-makna bersifat stabil, namun bagi Derrida (1967) bahasa justru tampil labil memproduksi makna. Bahasa bukan lagi ’’cermin utuh’’ yang mempunyai keterikatan representasional dengan dunia realitas, tetapi lebih merupakan ’’cermin retak’’ dimana makna adalah produk perbedaan tanda-tanda linguistik sehingga selalu Terbuka makna-makna tertunda/tersenbuny i (defference) disebut dengan ’’metafisika kehadiran’’ tercemin dalan teks, yaitu logika ’’adalah, jika’’ (as/if).
Dalam wacana ketika tanda lahir (lisan, tulisan), peristiwa yang mendahuluinya telah mati, sehingga memerlukan strategi dekonstruksi melalui penelusuran jejak (trace) peristiwa dalam sebuah teks. Oleh karena itu, bahasa bukan sebagai sistem (langue) seperti diakui oleh strukturalisme, namun bahasa hanyalah penampilan atau sebagai cara pengungkapan sesuatu.
Dalam hubungan ini, Fredic Jameson (1995: 12) memberikan beberapa strategi dekonstruksi sebagai berikut: (1) strategi diakletis untuk membedakan yang the essence dan the apprearance; (2) strategi Freudian untuk membedakan yang latent dan yang manifest; (3) strategi eksistensial untuk membedakan yang autentik dari yang tidak autentif; dan (4) strategi semiotik untuk membedakan signifier dan the signified (Kleden 2006).
Pendekatan Framing
Upaya mengkaji masalah HIV/AIDS dengan pendekatan framing berarti melihat persoalan epidemi ini dalam perspektif multidisipliner. Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melikupinya.
Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara, faham atau ideologi media saat mengkontruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan. Tentu saja, ketika seorang jurnalis melakukan kegiatan frame atas fakta yang dihadapi, rumus baku jurnalistik tetap beralaku, yaitu apa yang dikenal dengan 5 W + 1 H. (what, who, when, where, way + how).
Frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisasi sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Lebih jauh lagi, secara sosiologis konsep frame analysis memelihara kelangsungan kebahasaan kita untuk mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterprestasi secara aktif pengalaman-pengalam an hidup kita untuk dapat memahaminya. Skema interprestasi itu disebut frame, yang memungkinkan individu dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi dan memberi label terhadap peristiwa-peristiwa serta informasi. Karena itu dalam konteks ini, frame diartikan sebagai seleksi, penegasan, dan eksklusi yang ketat. Dalam kaitan ini, karena masalah HIV/AIDS terlanjur digambarkan sebagai ’monster mengerikan’ (lihat Gambar 1 di atas) maka stigma (cap buruk) terhadap persoalan HIV/AIDS tak terhindarkan.
Analisis Semiotik
Untuk membedah kontruksi pesan HIV/AIDS di media massa secara lebih mendalam bisa digunakan terori semiotik dan teori wacana. Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa , seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sunardi, 2002:45).
Seperti yang diterapkan oleh mazhab kritis (Frankfurt school), metodologi penelitian yang digunakan dalam analisis semiotik adalah interpretatif. Secara metodologis, kritisme yang terkandung dalam teori-teori intepretatif bersifat kualitatif. Jenis penelitian ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi- innterpretasi alternatif. Dalam penerapannya metode semiotik ini menghendaki pengamatan secara menyeluruh dari semua isi berita atau teks yang akan diteliti, termasuk cara pemberitaan (frame) maupun istilah-istilah yang digunakannya. Peneliti diminta untuk memperhatikan koherensi makna antarbagian dalam teks itu dan koherensi teks dengan konteksnya.
Ada tiga jenis masalah yang hendak diulas dalam analisis semiotik. Pertama masalah makna, bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa yang dikandung dalam struktur sebuah pesan? Kedua, masalah tindakan atau pengetahuan tentang bagaimana memperoleh sesuatu melalui pembicaraan. Ketiga, masalah koherensi yang menggambarkan bagaimana membentuk suatu pola pembicaraan masuk akal dan dapat dimengerti.
Dalam semiotik sosial, ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual, yaitu: (a) Medan wacana yang menunjuk pada hal yang terjadi, apa yang dijadikan wacana oleh pelaku mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan peristiwa; (b) Pelibat wacana menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (berita), sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang dikutip dan bagaimana sumber itu digambarkan sifatnya; (c) Sarana wacana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip), apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolik, eufemistik atau vulgar (Sobur, 2001: 49). Seperti diberikatan di Jakarta Post (16 Maret 2006), Ketua Harian KPA Bali, Alit Kelakan ditampilkan sebagai sosok pejabat yang peduli terhadap penderita AIDS.
Analisis Wacana
Kajian framing isu HIV/AIDS juga bisa dicermati melalui analisis wacana. Namun, seringkali dikaburkan antara analisis wacana dengan analisis isi. Padahal kedua pendekatan analisis ini berbeda. Pertama, analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif dan lebih menekankan pada pemaknaan teks ketimbang penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi. Setiap teks dapat dimaknai secara berbeda dan dapat ditafsirkan secara beragam. Kedua, analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi) . Ketiga, analisis isi kuantitaf hanya dapat mempertimbangkan ‘apa yang dikatakan’ (what), tetapi tidak menyelidiki ‘bagaimana ia dikatakan’ (how). Dalam kenyataannya, yang penting bukan apa yang dikatakan oleh media, akan tetapi bagaimana dan dengan cara apa pesan dikatakan. Hal ini disebakan analisis wacana bukan sekadar bergerak dalam level makro (isi dari suatu teks), tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Keempat, analisis wacana melihat setiap peristiwa sebagai hal yang unik, karena itu tidak bisa digeneralisasi begitu saja (Sobur, 1999).
Menurut Van Dick (dalam Eriyanto, 2001), analisis wacana berupaya mengkaji tiga struktur/tingkatan: (1) struktur makro, yakni makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks; (2) superstruktur, yakni kerangka suatu teks: bagaiamana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh; (3) struktur mikro, yakni makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai.
Contoh aktual yang tengah hangat dikemukakan media massa di Bali di bulan Oktober dan November 2007 ini adalah polemik seputar pekerja seks dan lokalisasi. PS dianggap melanggar norma sosial sehingga mereka sering dicemooh dan menerima perlakukan deskriminatif. Hak-hak kemanusiaan mereka terampas. Dimensi kemanusiaan perlu ditegakkan dalam menangani PS. Akibat kemiskinan yang melilit kehidupan keluarganya, seseorang terpaksa menjadi PS, termasuk menjadi dagang kopi cantik (dakocan) di wilayah Bali Utara. Oleh karena upaya pemberdayaan sosial-ekonomi di kalangan PS perlu dilakukan, agar mereka bisa mentas dari profesi PS yang dijalaninya.
Selain itu, akibat PS dijadikan objek dan dicap sebagai sampah masyarakat, ia merasa tersingkir dari struktur sosial, frustasi, dan tak peduli bahkan bisa tega menularkan infeksi HIV yang dideritanya kepada siapapun yang menggaulinya. Sikap negatif dan tindakan yang membahayakan orang lain ini bisa direduksi dengan memperlakukan PS secara manusiawi. Pelibatan PS sebagai subjek dalam mencegah penularan HIV dapat mendorong mereka untuk melindungi dirinya dan orang lain (pelanggannya) dari ancaman infeksi HIV/AIDS. Dalam kaitan ini, Alit Kelakan selaku Ketua KPA Prov Bali menawarkan konsep ’Rehabilitasi PS” dengan pendekatan baru. Pendekatan komprehensif diperlukan dalam menangani masalah PS. Dalam kaitan ini, stidaknya ada empat dimensi, yaitu: dimensi kemanusiaan, dimensi kemiskinan, dimensi kesehatan, dan dimensi pendidikan.
Pendekatan baru yang lebih komprehensif dan manusiawi terhadap PS, penasun, dan semua pihak yang terkait dengan masalah HIV/AIDS perlu dikembangkan. Selain itu, pesan, berita, isu, atau wacana HIV/AIDS harus dikembangkan secara utuh, proporsional, berimbang, menarik, lugas, tidak deskriminatif, dan berempati terhadap korban.
Penutup
Wacana (berita, opini) HIV/AIDS di media massa adalah pesan yang tidak 100% benar adanya. Ia bukan sekedar cermin atau gambaran realitas masalah HIV/AIDS di Masyarakat, tetapi juga ’mengandung’ pesan laten yang perlu diintepretasi secara cerdas. Aktivis yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS harus menjadi kreator wacana HIV/AIDS di masyarakat. Wacana HIV/AIDS perlu ditampilkan dengan lugas, proporsional, etis dan menarik (estetis).
Daftar Pustaka
Anshori, Yahya. 2007. Dakocan, Cemin Ketidakberdayaan Perempuan Bali?. Media Indonesia, Minggu, 4 November 2007.
Mariyah, Emiliana. 2006. Penerapan Teori Struturalisme dan Postrukturalisme Dalam Kajian Budaya, Program Magister (S2) Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Jameson, Fredric. 1995. Postmodernism, or The Cultural Logic of of Late Capitalism; Durham, Duke University Press.
Kleden, Ignas. 2006. Cultural Studies dan Masalah Kebudayaan di Indonesia. Makalah Seminar KajianBudaya, 16 November 2006.
Eriyanto. 2001. Analisa Wacana dengan Analisis Tek Media. Yogyakarta: LkiS.
Eriyanto. 2002. Analisa Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS.
Sobur, Alex, Drs, M.Si. 1999. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Bandung: Kanisius
saya pernah baca bahwa aids dan HIv merupakan hal yang terpisah. namun hanya baca sepintas.hanya saja waktu saya coba cari artikelnya kembali tidak dapat. apa hal ini benar?