Oleh I Nyoman Winata
“Bli Jadi pemimpin di Indonesia itu harus Ndablek ya?” Begitu kata istri saya saat makan siang beberapa hari lalu. Saya berdua sedang menikmati makan siang sambil menonton berita ditelevisi tentang banjir yang merendam rumah-rumah penduduk di sebuah daerah di Indonesia.
Saya tidak menjawab, saya melihat sebentar ke arahnya, lalu kembali mengunyah makan siang sambil menonton gambar di televisi. “Kalau nggak ndablek, pemimpin seperti pak SBY pasti nangis liat rakyatnya harus berjuang melawan banjir” katanya melanjutkan.
Saya masih tetap tidak menjawab, asyik mengunyah tahu bakso goreng, lauk makan siang saya hari ini. “Lha buktinya, Pak Presiden kita asyik-asyik saja tuh kesana-kesini ikuti acara serimonial sambil ketawa-ketawa”, kembali istri saya berkomentar.
“Ya begitulah…” jawab saya singkat, karena tidak tahu mesti menjawab apa.
Baca koran hari ini, berita dari daerah-daerah di Jawa Tengah memang dipenuhi dengan derita. Dua orang tewas ditelan ombak, empat orang tewas tertimbun longosoran, bencana banjir memaksa warga mengungsi. Saya tidak sanggup membaca isi, hanya judul-judul berita saja yang saya tangkap.
Begitulah saat musim hujan mendera, isi berita di koran dan televisi hanya tentang bencana yang dari tahun ketahun tidak beranjak dari banjir dan tanah longsor. Aneh bin ajaib di daerah seperti Jawa Tengah, bencana-bencana itu tidak diantisipasi sama sekali. Pastinya tidak hanya di Jawa Tengah, didaerah lainnya termasuk Denpasar, kota kelahiran saya juga terjadi hal yang sama. Pemerintah pun tidak mampu berbuat banyak, entah mereka sibuk mengerjakan apa. Sibuk mikirkan proyek dan celah untuk korupsi mungkin.
Bencana didaerah tidak pernah habis. Jangan katakan apa yang terjadi di ibu kota Negara bernama Indonesia, bencana banjir sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah ada penyelesaiannya. Pemerintah selalu berdalih ini dan itu. mulai dari soal danalah, partisipasi rakyat kuranglah, bla-bla-bla…. Sungguh klise dan tidak masuk akal.
Pertanyaannya adalah, Lantas apa kerja mereka selama ini? Tidakkah seorang presiden menangis melihat rakyatnya susah, dikejar-kejar banjir, meregang nyawa di telan tanah longsor dan tewas dilaut karena kapal yang ditumpangi terbalik. Kita belum bicara berapa korban nyawa harus melayang karena kecelakaan di Jalan Raya dan kereta api lalu pesawat udara. Semua karena ketiadaan sistem yang memadai untuk menjamin keselamatan rakyat.
Kalaupun ada sistem itu hanya dipergunakan alat mencari kekayaan pribadi. Ijin trayek di bisniskan. Keur kendaraan umum juga penuh sogokan sehingga bus tidak laik jalan tetap dikeluarkan ijin trayeknya. Adakah pemimpin negeri ini termasuk Pak Presiden memiliki kepedulian?
DI saat menjelang pemilu, saya merasakan kemuakan yang semakin menjadi-jadi. Muak kepada para pemimpin dan calon pemimpin. Meraka semua Ndableg nya semakin menjadi-jadi. Perang untuk merebut kekuasaan berlangsung seru, seakan-akan hidup mereka hanya untuk itu saja. Pak Presiden dan lawannya sibuk beropini. Iklan ditebar, mengaku-aku paling berhasil dalam mengelola negara dan mengumbar janji tentang perbaikan-perbaikan.
“Saya muak Bli, liat mereka,” kata istri saya suatu saat. Saya tidak perlu bertanya alasan apa. Tetapi istri saya menjawab sendiri, “saya muak karena mereka semua pembohong,” katanya.
Kembali saya hanya bisa diam. “Ya. Begitulah,” jawab saya dalam hati.