Kita sering menghadapi dua pilihan berseberangan arah untuk diputuskan segera.
Masing-masing pilihan akan mengantarkan kita pada arah, tujuan dan konsekuensi masing-masing. Ada jalan terjal namun memiliki tawaran menggiurkan di awal. Begitu pun sebaliknya.
Ada jalur yang salah. Ada pula yang benar namun penuh rintangan. Andai pun kita kurang berkenan dengan pilihan tersebut, biasanya kita tak akan mengambil langkah apa pun dan diam di tempat tanpa satu pun kemajuan yang didapat.
Apapun risikonya, untuk maju kita memang harus berani menghadapi dan memilih salah satu dari dua pilihan tersebut.
Demikian pula dengan bangsa ini.
Pertengahan 2014 nanti, rakyat Indonesia akan dihadapkan pula pada dua pilihan, calon pemimpin bangsa. Jujur saja sangat sulit menentukan kelebihan dan kekurangan masing-masing secara akurat. Antara berita maupun fakta yang disampaikan media, masih simpang siur kebenarannya. Maka, mau tidak mau masyarakat musti lebih pintar dan arif untuk memilah informasi yang diterima sebagai modal pemilihan nantinya.
Layaknya pilihan dalam hidup tadi, kita rakyat Indonesia benar-benar dihadapkan pada dua pilihan saja oleh-Nya. Padahal sebetulnya jika saja ada satu partai politik lagi yang mampu melakukan koalisi terpisah, bakalan ada satu pilihan lain meskipun agak sulit untuk tampil sebagai pemenang.
Meski demikian, bersyukur juga sih bahwa kita sebagai rakyat Indonesia tidak jadi dihadapkan pada pilihan calon pemimpin yang salah. Contoh yang beginian, saya yakin kalian pasti tahu siapa yang dimaksudkan.
Dua pilihan itu adalah pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla dan Prabowo – Hatta Rajasa.
Masing-masing calon pemimpin alias Presiden tentu punya kelebihan dan kekurangan. Demikian halnya dengan para wakil mereka yang ditetapkan menjelang akhir pendaftaran calon. Baik kekurangan maupun kelebihan itu kini dieksplorasi makin dalam yang lama kelamaan malah cenderung memuakkan lantaran saling menjatuhkan satu dengan lainnya.
Masing-masing calon pemimpin alias Presiden tentu punya kelebihan dan kekurangan.
Makin lebarnya jurang perpecahan antara dua partai pengusung yang dahulu sempat bergandengan mesra di Pilkada DKI atau bahkan kesalahan mengambil keputusan saat menggandeng calon wakil dan kawan koalisi kemudian menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia lainnya merasa enggan untuk menjatuhkan pilihan di antara dua yang ada kini.
Padahal inilah tantangan terbesarnya, serupa dengan ilustrasi diatas.
Saya yakin Tuhan ataupun bahkan siapapun yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, takkan mampu memberikan pilihan yang sesuai dengan harapan dan keinginan kita baik dalam kapasitas sebagai rakyat Indonesia maupun sebagai manusia dalam dunia-Nya. Karena inilah yang namanya tantangan dalam hidup. Malah bisa jadi, jika pun pilihan yang ada sudah sesuai dengan harapan dan keinginan kita, di lain pihak malah tidak memuaskan mengingat bukan itu harapannya.
Jadi wajar saja jika ada kemudian yang merasa tidak puas dengan kenyataan yang ada.
Lalu apa pilihan kita saat dihadapkan pada situasi serupa? Lari dari kenyataan? Diam dan tidak mengambil langkah? Atau mencoba peruntungan serta berdoa untuk mencari pilihan lain yang saya yakin tak akan terakomodir selama kita masih menginjakkan kaki di bumi yang sama.
Atau dengan kata lain… Masih Mau Golput lagi?
Saya jadi ingat dengan cerita yang pernah saya baca di sebuah media cetak, tentang seorang Bapak yang begitu taat berdoa pada Tuhan. Dia berharap Beliau akan mengirimkan bantuan untuk menyelamatkan dirinya dari bahaya banjir yang kian mengancam. Yang dalam akhir cerita disebutkan bahwa saat sang Bapak mempertanyakan kebesaran dan kemurahan hati Tuhan yang ternyata tidak menyelamatkan nyawanya. Tuhan malah balik bertanya, pilihan seperti apakah yang engkau harapkan padaku padahal aku telah berkali kali memberikan pilihan padamu namun selalu kau tolak?
Kita semua sudah berkali-kali dihadapkan pada pilihan untuk memilih Calon Pemimpin Bangsa yang kita cintai ini. Dan sudah terbukti pula, saat pilihan yang salah telah kita sepakati bersama untuk dilakoni selama lima tahun ke depannya, kita seakan dihadapkan pada gerbang kehancuran dan kekecewaan atas perilaku para pemimpin negeri hingga kroni-kroni di bawahnya.
Kini pilihan itu pun hadir kembali. Apakah kelak akan jatuh pada sang Gubernur yang tidak amanah menjalankan tugasnya, begitu ambisi pada kekuasaan yang lebih besar serta perilaku pencitraan lewat media, ataukah pada sang mantan Jenderal yang dipecat lantaran tersandung kasus HAM pada Mei 1998 lalu, yang hanya bisa meniru tokoh proklamator bangsa, serta dikelilingi armada perang yang penuh masalah? Tentu semuanya ada di tangan kalian.
Jika pun masih bersikeras untuk Tidak Memilih karena Tidak Memilih adalah merupakan sebuah pilihan juga, maka persiapkan diri pula untuk merasakan kecewa, siapa pun nantinya yang akan terpilih. Malah bisa jadi, kekosongan suara yang kalian ciptakan akan memperbesar perbedaan perolehan suara bagi pilihan lain. Dan itu semua bisa menjadi bumerang bagi bangsa ini selama lima tahun ke depan.
Tuhan sudah memutuskan, ada 2 pilihan yang bisa kalian tentukan. Nasib Bangsa tentu akan berada di tangan kalian.
Bagaimana? Masih mau golput lagi? [b]
Tulisan keren! Saya akan coblos!
Yuk.. coblos bli Pande…
mantab….saya pasti nyoblos. Salam kenal Pak..
Why not, apa salahnya jadi golput? Toh sistem pemilunya juga yg menggiring kita ke arah itu!