Teks I Nyoman Winata, Foto Ilustrasi Internet
Para sopir taksi di Denpasar berencana mendemo Gubernur Bali karena ada rencana menambah izin armada taksi sebanyak 500 unit (Bali Post, 21/12). Alasan mereka karena taksi sekarang sudah banyak dan kalau ditambah lagi dengan taksi baru, konsumen yang sudah sedikit akan dibagi lagi. Apalagi izin armada taksi tersebut diberikan kepada perusahaan besar seperti Blue Bird Taksi, raksasa perusahaan taksi di Indonesia.
Jumlah kebutuhan ideal taksi di Denpasar khususnya dan Bali pada umumnya memang berbeda antara kajian teoritis dan praktik di lapangan. Gubernur ngotot menyatakan kuota taksi di Bali masih banyak yang belum dipenuhi, tetapi di sisi lain, para sopir taksi mengeluhkan sepinya penumpang. Jika ada kesamaan, harusnya sopir taksi tidak perlu sampai protes keras kalau ada tambahan taksi baru.
Rumah saya persis ada di depan terminal Ubung. Halaman depan rumah saya dipergunakan tempat mangkal taksi meski dari aturan hal tersebut sangat dilarang. Saya tidak mengetahui persis bagaimana polisi di depan terminal Ubung sepertinya tutup mata dengan hal tersebut.
Terlepas dari soal dilarang, yang jelas tidak banyak dari para sopir taksi yang membawa kesumringahan wajah sebagai tanda mereka berpenghasilan banyak. Keluhan tentang penumpang sepi yang selalu terlontar dari mereka. Beberapa sopir taksi yang saya kenal, memang secara ekonomi tidak terlihat berpenghasilan cukup. Tetapi ini mungkin saja bersumber dari cara kerja mereka yang hanya tertarik dengan penumpang “carteran”, bukan penumpang reguler.
Artinya mereka ngetem, tunggu penumpang bus antar propinsi keluar dari terminal, lalu kalau cocok dengan harga carteran, barulah mereka melayani penumpang. Ini tentu saja membuat dalam satu hari bisa saja hanya beberapa penumpang yang dilayani.
Taksi itu harusnya mobile, bergerak terus dan tidak ngetem. Tetapi faktanya banyak taksi yang ngetem. Tidak jelas siapa yang salah karena toh aparat hanya membiarkannya saja. Mungkin karena banyak “backing” atau bahkan pengelola taksi adalah para preman. Sebagian besar taksi juga beroperasi tidak menggunakan argometer melainkan harga kesepakatan/ carteran. Jadinya harga yang harus dibayarkan pengguna jasa taksi bisa jauh lebih mahal.
Praktik begini menjadi sangat lazim di kota-kota yang sebenarnya belum menjadi sebuah kota besar di mana penduduk lokal sangat jarang menggunakan taksi sebagai moda angkutan umum utama. Konsumen taksi lebih banyak adalah wisatawan atau penumpang temporer yang lebih sering hanya karena terdesak waktu dan tidak ada angkutan umum lain yang melayani rute tujuan.
Kembali kepada izin Gubernur untuk menambah armada taksi di Bali. Kasus serupa terjadi di Kota Semarang. Sopir taksi se Kota Semarang pernah protes keras atas keluarnya izin taksi untuk Blue Bird. Kantor walikota didemo ribuan sopir taksi mengakibatkan Jalan Pemuda dimana Balaikota Semarang berada jadi macet total.
Hanya saja entah karena apa, protes ini kemudian mereda dan taksi Blue Bird bisa beroperasi. Ada kecurigaan dan dugaan persoalan ijin bisa keluar karena kuatnya “permainan” uang dari pengusaha taksi dengan pemegang kekuasaan.
Sikap gubernur Bali untuk merestui ijin taksi baru di Bali juga rentan dicurigai ada permainan uang di dalamnya. Apalagi pengusaha yang mencoba ikut bermain di moda angkutan taksi ini adalah pemain besar dengan modal besar. Persoalannya adalah ketiadaan kajian yang independen, tentang seberapa besar sesungguhnya armada taksi yang diperlukan oleh masyarakat bali saat ini. Benarkah Taksi masih kurang jumlahnya sehingga diperlukan tambahan?
Lantas dampaknya tentu saja tidak hanya bagi sesama taksi tetapi juga angkutan umum lainnya seperti angkot, meski segmennya konsumennya beda.
Ketika persoalan manajemen angkutan umum tidak pernah menjadi persoalan serius yang ditangani dengan tepat dan baik oleh pemerintah, maka yang lebih sering muncul adalah konflik. Saya melihat bahwa karakter orang Bali itu jauh lebih keras dan tidak jarang nekat berbuat apa saja. Ini berarti potensi konflik yang ditebar Gubernur Bali dengan mengeluarkan izin taksi baru rentan menjadi sumber konflik fisik di tingkat bawah. Bisa saja secara resmi izin dikeluarkan oleh Gubernur karena secara hukum itu sah. Tetapi siapa menjamin di lapangan tidak akan terjadi pembakaran taksi atau perkelahian fisik antar sopir taksi.
Orang Bali itu, kadang tidak peduli apakah mereka bersaudara atau tidak. Asal sudah ada yang mengipas-ngipas, saudara sendiri bisa ditebas. Sejarah tahun kelam di era PKI bisa menjadi bukti kesadisan orang Bali. Sekarang tinggal kebijaksaan Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali. Apakah akan menebar potensi konflik atau bersikap lebih bijak dengan mendengar lebih banyak keluhan rakyat. Syukur-syukur bisa mengabaikan iming-iming uang dari pengusaha kaya karena kesejahteraan rakyat tetap jauh lebih penting daripada memenuhi kantong sendiri atau kelompok. [b]
Tampaknya semua kebablasan. Gag itu penambahan ijin armada, kuota produksi kendaraan bermotor terutama roda dua, sementara ruas jalan tetap. Jadilah seperti sekarang ini. Kacau balau…..
Salut untuk penulis yang mampu mengkritisi kondisi saat ini dari sudut yang netral dengan tulisan yang membangun. 🙂