Kehidupan petani Indonesia selalu menjadi isu penting untuk disoroti.
Antropolog Clifford Geertz pada 1960-an pernah melakukan penelitian tentang masalah pertanian di Jawa. Hasilnya dituangkan dalam buku Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia.
Tidak hanya dari kalangan akademikus, para seniman dari berbagai bidang juga gandrung mengangkat dilema kehidupan petani menjadi materi karya seni untuk terus digaungkan. Vokalis Navicula, Gede Robi Supriyanto lewat lagunya berjudul ‘Balada Pak Tani’. Lagu itu menyuguhkan refleksi penting melukiskan sisi senyap kehidupan petani yang selama ini terbungkus rapi oleh manipulasi citra pembangunan di Bali.
Dwitra J. Ariana melalui film dokumenter berjudul ‘Petani Terakhir’ berupaya menyuguhkan kisah kehidupan para petani di Subak Lungatad, Munduk Celuk, Banjar Peninjoan, Desa Penatih, Denpasar. Pria yang akrab disapa Dadap itu mencoba mengartikulasikan suara-suara keluh kesah petani lewat kemampuannya sebagai seorang filmmaker.
Sang sutradara menyajikan cerita tentang generasi petani yang kian menyusut. Generasi muda yang enggan bertani di sawah, hasil yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, juga petani yang tergiur alih fungsi lahan menjadi kos-kosan menjadi sorotan menarik dalam film ini.
Acara nonton bareng ‘Petani Terakhir’ digelar pada 27 Juni 2016 malam di Lingkara Photography Community dihadiri cukup banyak penonton. Ada beberapa kekurangan dalam film dokumenter yang berdurasi 47 menit itu. Percakapan para narasumber keseluruhan menggunakan bahasa Bali tanpa ada teks terjemahan bahasa Indonesia. Saat pemutaran film berjalan sepuluh menit, beberapa penonton tampak bingung menunggu teks terjemahan bahasa Indonesia yang ternyata sampai akhir film tidak muncul.
Tentu ini menyulitkan penonton untuk menangkap maksud dari penuturan masing-masing narasumber. Sebab, para penonton yang hadir dalam pemutaran film, bukan hanya orang Bali saja, termasuk saya. “Film ini bagus untuk disebarkan, tapi harus ada teks bahasa Indonesia,” kata seorang penonton asal Bandung.
Dalam sesi diskusi saat itu, Dadap mengakui tidak adanya teks terjemahan bahasa Indonesia memang menjadi kelemahan filmnya. Alasannya, penggarapan terjemahan bahasa Indonesia belum rampung. Penjelasan profil para narasumber juga tidak dicantumkan saat film sedang berjalan.
Kekurangan lainnya, yakni tidak adanya riset mendalam mengenai isu yang akan diangkat sebelum penggarapan. Dadap menilai jika ia melakukan riset akan memburamkan semua ide yang ada di kepalanya. “Saya sengaja tidak melakukan riset mendalam karena saya ingin mengerjakan apa yang saya bisa, yang saya tahu, tanpa harus memunculkan sesuatu yang baru lagi.”
Setidaknya upaya Dadap untuk menyampaikan pesannya lewat film yang dibiayai grant Denpasar Film Festival 2015 ini cukup bening untuk diterima penonton. Lewat metode perekaman single shot cinema, cerita dibangun melalui perekaman kegiatan secara terus-menerus dengan kamera yang selalu bergerak. Dari metode itu film ini merujuk kepada Nyoman Sutama sebagai narasumber utama yang mampu memenuhi kebutuhan sutradara untuk memperoleh informasi yang mumpuni.
Penentuan Sutama yang berusia 40 tahun sebagai narasumber utama dalam film ini sekilas tampak tidak menarik. Dadap, agaknya ingin menyuguhkan sesuatu yang anti mainstream dalam karyanya. Biasanya dalam film, karakter-karakter orang tua yang keriput jauh lebih menarik divisualkan untuk memperkuat kesan eksotis dari latar persawahan.
Imbang
Kehadiran Sutama disajikan berimbang dengan sosok Dadong Mada yang usianya sudah lebih dari 70 tahun. Di salah satu bagian film, Dadap merekam sebuah percakapan antara Dadong Mada dan Sutama di sawah. Di sana tersirat sebuah keresahan tentang kelanjutan masa depan lahan persawahan karena generasi selanjutnya ogah meneruskannya.
Maksud percakapan itu tergambar lewat raut wajah Dadong Mada. Di bagian ini pengambilan rekaman visual jari-jari tangan Dadong Mada yang kaku dilakukan terus-menerus dari berbagai sisi. Sang sutradara berusaha menegaskan sebuah pesan, bahwa seorang nenek tetap bertani walaupun usia tua dan sakit yang seharusnya dilanjutkan generasi muda.
Secara utuh rangkaian perekaman dalam film ini berhasil menggambarkan kehidupan petani dalam situasi pembangunan liar di sekitar ruang terbuka hijau. Padahal di sekitar hamparan sawah ada papan pengumuman dari Pemerintah Kota Denpasar, Dinas Tata Ruang dan Perumahan yang bertuliskan “Dilarang Membangun, Ruang Terbuka Hijau Kota”.
Dadap berhasil menyampaikan pesannya melalui pengambilan gambar antara papan pengumuman dengan adanya bangunan-bangunan yang bertolak belakang berdasarkan peraturan yang ada. Di sinilah Dadap berhasil mencuri perhatian penonton melalui visual reflektif tentang benang kusut diskursif antara pengetahuan, kekuasaan, dan uang.
Fenomena ini mengingatkan saya pada pemikiran sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu. Menurut Bourdieu, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat kelas dalam arti hubungan yang tidak adil dengan means of production di dunia ekonomi, tetapi lewat produksi dan reproduksi “modal simbolis”.
Kehidupan masyarakat desa yang diwarnai ritme kehidupan petani, sawah, dan sistem subak menjadi gambaran antropologis ‘tradisional’ tentang Bali. Tapi kenyataannya oleh rezim pascakolonial gambaran tersebut justru dijungkirbalikkan untuk meminggirkan penciptaan budaya kaum lemah dan melihat perjuangan sehari-hari mereka sebagai sesuatu yang tidak punya nilai, karena dihadapkan pada cermin peradaban sebuah kemajuan pembangunan. Kalau Bourdieu benar, berarti tidak ada subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang sosial yang steril dari power.
Dadap sebagai seorang filmmaker konsisten dengan tema-tema berdasarkan perspektif sosial dan budaya. Walhasil, film yang diproduksi Sanggar Siap Selem ini layak dan penting ditonton oleh berbagai kalangan, terutama akademikus, jurnalis dan pengamat pertanian. [b]