Oleh Rofiqi Hasan
Akhir kontroversi investasi di Buyan terjadi Jumat (30/1) pekan lalu, Made Mangku Pastika (MMP) menyerah dan angkat tangan. Ia mengaku sejalan dengan pemikiran untuk menolak rencana investasi itu. “Permintaan rekomendasi dari PT. Anantara pasti akan saya tolak. Surat rekomendasinya akan saya tanda tangani hari ini,” ujarnya.
Selamat tentunya bagi para penolak investasi itu. Namun yang patut disayangkan adalah mengapa MMP mesti menyatakan penolakan itu di hadapan sekelompok orang yang dipimpin oleh Angggota DPRD Bali Si Ketut Mandiranatha. Dari sudut pandang Komunikasi Politik, peristiwa itu mengesankan, MMP berada di bawah tekanan ketika membuat keputusan.
“Kekalahan” seorang pemimpin terhadap tekanan massa bisa menjadi preseden buruk karena bakalan menjadi legitimasi untuk munculnya strategi yang sama di masa-masa mendatang dalam setiap kebijakan. Pengerahan massa juga tidak memberi apa-apa dalam proses dialog untuk memecahkan masalah. Itu karena massa pasti sudah berbekal kerangka dan prioritasnya sendiri.
Begitulah, mereka yang datang ke kantor Gubernur itu pun tidak menyodorkan solusi apa-apa untuk mengatasi kerusakan danau buyan akibat sedimentasi dan alih fungsi lahan.
Posisi Si Ketut Mandiranatha sendiri layak dipertanyakan. Dengan keberadaannya sebagai anggota DPRD Bali tentunya dia memiliki kewenangan untuk menggunakan cara-cara parlementer. Mengapa bukan cara-cara itu yang digunakannya. Mengapa dia tidak mendesak DPRD Bali memanggil Gubernur untuk menjelakan soal investasi itu. Kalau pun menolak, mengapa dia tidak mendesak DPRD Bali membuat semacam surat resmi agar penolakan itu benar-benar mewakili seluruh masyarakat Bali. Apakah pilihannya menempuh cara parlemen jalanan karena akan lebih menarik bagi liputan media?.
Tapi ya sudahlah. Concern saya bukan pada soal penolakan itu. Tapi bagaimana upaya menyelamatakan danu Buyan ke depan. Soal ini MMP menyebut, berencana melakukan analisa lebih mendalam untuk mencari langkah terbaik menyelamatkan danau buyan. Kerusakan danau buyan menurutnya telah mencapai titik mengkhawatirkan. Luas danau yang semula 478,33 hektar sudah berkurang sebanyak 60 hektar karena sedimentasi. “Tiap tahun luasnya berkurang 10 hektar. Kalau dibiarkan saja, sepuluh tahun lagi buyan akan tertutup. Tidak lagi ada airnya,” ujar Pastika.
Rencana yang bagus tentu saja. Apalagi kalau bisa lebih cepat ditemukan formula penyelesaian masalahnya. Yang harus dilakukan adalah mengawasi agar pengkajian itu benar-benar dilakukan. Inilah sisi yang mengkhawatirkan. Tradisi kita adalah hangat-hangat tahi ayam, begitu dingin ya dilupakan. Termasuk dari kelompok demonstran itu. Sangat sulit mengharapkan mereka untuk terus mengawal adanya penataan komprehensif atas danau Buyan. Demikian pun dengan media massa yang selalu lebih terfokus ke soal-soal kontroversial.
Lihatlah yang terjadi pada penolakan UU Pornografi. Begitu gegap gempitanya selesai, tinggal beberapa orang saja yang serius menekuni langkah gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka- orang-orang yang saya hormati- tertatih-tatih mengawal agar gugatan benar-benar dilayangkan meski terus tertunda-tunda. Bahkan tidak ada support apapun dari DPRD dan Gubernur Bali yang sempat bersuara keras menyatakan penolakan.
Para pejabat dan politisi itu agaknya memang selalu punya kecenderungan akan lepas tangan untuk agenda jangka panjang. Ngapain sulit-sulit memikirkan sesuatu yang dampaknya baru akan kelihatan setelah mereka tidak lagi berada dalam jabatan itu.Tak ada lagi ribut-ribut dan berhasil meraih simpati massa. Itulah target mereka. Hanya politisi yang memiliki watak kenegarawanan yang akan melampaui kecenderungan itu.
Bagaimana dengan Pastika? Kita tunggu sambil melihat Danau Buyan ditelan enceng gondok dan hilang pelan-pelan. [b]
kalo saya concern dengan pertanyaan pertama: kenapa MMP begitu, kenapa mandiranatha begini? Dugaan2 terhadapap makna komunikasi politik seperti ini memang perlu terus diulas, biar kita ga terbiasa, “nah, nak mule keto”
***benar, teman2 yang ngurus UU porno di MK pasang badan dan pasang duit sndiri2 (so far). pas demo aja gub dan DPRD berapi-api di depan massa
Lalu apa?
masih ada PT. Nusa Bali Abadi yang tidak kalah rakusnya yang saat ini sudah mengantongi ijin dari Menteri Kehutanan.
Saya juga concern untuk penyelematan Danau Buyan…tapi menyelamatkan Danau Buyan dengan memberikan konsesi kepada investor adalah sesat pikir.
Saya tidak memungkiri bahwa jika Buyan dikelola oleh investr, BUyan akan terlihat indah dan lestari secara artifisial karena investor punya duit untuk menggaji tukang kebun…
tetapi apa artinya keindahan Danau Buyan yang dibuat investor ternyata tidak dapat dinikmati oleh rakyat kecil karena tidak punya uang untuk bayar biaya menginap sebesar UD$ 300? Apa artinya kita punya gelas kaca yang idah tetapi kita sendiri tidak boleh menikmatinya…inilah Rasisme Lingkungan…jadi masalah lingkungan tidak hanya an sich bio-fisiknya saja tetapi juga bagaimana interakasi manusia terhadapnya (politik).
Tidakkah kita mau belajar dari Rasisme Lingkungan yang banyak terjadi di Bali, misalnya Pak Rebo di BPG, masyarakat lokal di BNR, Nusa Dua, Kelating, dan lain-lain.
Salam,
AGung Wardana
agung yang ganteng. Masalhnya bukan menolak atau enggak. Itu simple banget. Tapi mau diselamatkan seperti apa buyan? dengan menolak investor toh Buyan enggak akan selamat. Apa dikau bisa mencegah pemilik kebun kopi tetap bertanam kopi untuk tetap menjadi daerah kawasan penyangga danau. Apa kamu juga bisa menolak mereka mengalihkan ke tanaman sayuran yang lebih menguntungkan buat mereka. Apa kamu bisa protes enceng gondok menjarah wilayah danau.
So jangan terlalu simple dong. Belum lagi kalau kita ngomongin keadilan buat warga di sekitar Buyan dan warga Buleleng yang berhak juga mendapat berkah wisata. Kita ini jangan kena sindrom orang kotalah yang pinginnya alam pegunungan lestari dan bisa liburan disana, sementara ornag disana enggak dapat apa-apa. Itu mesti dipikirin gung. Justru karena melihat pengalaman selama ini. Lihatlah yang ada di Beratan yang kayaknya sama sekali enggak ada perencanaan. Masak daerah sempadan danau bisa untuk parkiran mobil dan warung kaki lima itu. Momennya ssekarang menurutku ya bicara soal perencanaan itu yang kalau bisa – meskipun sulit- bisa win win solution bagi semua kepentingan. Termasuk kepentingan lingkungan.
Okay?
Masalah ini kompleks, tidak sesederhana yang diopinikan dari depan komputer,di luar pro kontra masalah ini, saya melihat Buleleng memang dianaktirikan dari dulu, itu sudah rahasia umum, dikotomi Bali Utara – Selatan itu sangat jelas ! Seolah Selatan tidak ingin melihat Buleleng maju !, sejak semua aset Buleleng dipindahkan ke Denpasar,salah satu contohnya adalah Pelabuhan, Buleleng Bagai Kota Mati,
setiap membuat gebrakan pasti Dihambat,Danau Beratan dan Batur yang udah nggak karuan penataannya kok nggak ada yg ngomongin ?
Datang ke Bedugul, kita tidak hanya dapat menikmati keindahan Pegunungan seperti : Danau Beratan, Kebun Raya Bali, Pura Ulun Danu, Masjid Besar Al-Hidayah dan Pasar Candikuning serta Suasana Pertanian;
Kita Juga dapat liburan ke Bedugul sambil Belajar Pertanian,
Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) HIDAYAH BALI, menyediakan Fasilitas Pelatihan Pertanian, antara Lain :
1. Budidaya Tanaman Strawbery
2. Budidaya Aneka Tanaman Sayur Organiik
3. Ternak Sapi dan Kelinci
4. Aneka Olahan Hasil Pertanian
Tersedia Juga Fasilitas :
1. Rumah Kost
2. Hotel dan Penginapan
3. Out Bound
4. Agri Training Camp (ATC)
5. Tenda
Anda Ingin menikuti Program Kami
Hubungi : 081 338 648 473
Alamat : Jl. Raya Candikuning, Bedugul Tabanan Bali 82191
(Strawberry Stop
Ini benar-benar persoalan yang perlu analisa luas dengan mengikutkan semua aspek karena ada pertanyaan sbb:
1. Apakah masyarakat Bali bisa supply listrik sendiri?
2. Adakah cara lain untuk mendapatkan sumber listrik?
Dua pertanyaan ini harus segera dibahas