Ogoh-ogoh merupakan salah satu tradisi dalam menyambut Hari Raya Nyepi.
Patung raksasa sebagai simbol butha kala atau kekuatan jahat ini akan diarak keliling desa saat malam pengerupukan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh ini dibuat dengan berbagai bentuk dan beberapa ada yang dilombakan. Namun, berbeda dengan desa lainnya, Desa Adat Renon justru memiliki tradisi unik yaitu melarang pembuatan Ogoh-ogoh.
Sekitar tahun 1985 – 1986 saat ogoh-ogoh mulai dipawaikan, setiap Banjar di Desa Adat Renon membuat ogoh-ogoh berbagai macam bentuk dari wujud babi, raksasa sampai hansip. Saat malam pengerupukan tiba, terjadi banyak hal-hal niskala (gaib). Menurut penuturan I Wayan Suarta (Bendesa Adat Desa Adat Renon), saat malam pengerupukan itu masyarakat dihebohkan dengan beberapa ogoh-ogoh yang bergerak-gerak sendiri.
Tidak sampai di situ, biasanya setelah Upacara Di Bale Agung selesai, Ida Sesuhunan mesineb dan kembali ke masing-masing payogan (tempat asalnya). Namun saat itu, Ida Sesuhunan di Pura Dalem dan Tari Baris Cina tidak berkenan mesineb. Banyak yang masih kerauhan.
Akhirnya saat itu tokoh-tokoh masyarakat memutuskan agar tidak menjalankan pawai ogoh-ogoh demi keselamatan bersama. Semenjak saat itu, di Desa Adat Renon dilarang untuk membuat ogoh-ogoh.
Sekitar sepuluh tahun kemudian, pada 1995 – 1996, I Wayan Suarta berniat kembali untuk membuat ogoh-ogoh. Hal ini bukan karena beliau berani menentang kehendak sesuhunan tetapi lebih ingin mencoba. Siapa tahu kali ini Ida Sesuhunan memberikan izin untuk membuat ogoh-ogoh.
Wayan Suarta yang saat itu sudah berkeluarga bersama para pemuda pemudi di banjarnya mulai membuat ogoh-ogoh di area rumahnya. Keanehan-keanehan dan kejanggalan-kejanggalanpun mulai mengikuti proses pembuatan ogoh-ogoh. “Kita yang membuat ogoh-ogoh ini seperti dihipnotis”, cerita Wayan Suarta. Pembuatan seperti diarahkan untuk mulai pukul 10 malam ke atas.
Selain itu, sangat sering muncul ular hitam putih di area pembuatan ogoh-ogoh. Lalu, ular itu nantinya hilang dengan sendirinya. Ogoh-ogohpun tanpa disadari, setelah selesai ukurannya menjadi sangat besar dan tidak muat untuk dikeluarkan melalui gang rumah Wayan Suarta. “Padahal sebelumnya kami sudah memperhitungkan ukuran sesuai dengan keadaan gang rumah kami yang tidak terlalu besar,” kenang Wayan Suarta.
Tenget
Karena ada beberapa kejadian tersebut, akhirnya Wayan Suarta memutuskan untuk menghaturkan banten pejati ke beberapa pura dan tempat di Desa Adat Renon. Mereka memohon izin dan petunjuk. Saat menghaturkan banten di area Setra Adat Renon, Wayan Suarta kerauhan sembari menari-nari seperti rangda atau celuluk. Wayan Suarta merasakan seperti didatangi oleh banyak mahkluk-mahkluk gaib ada yang memberikan izin ada yang tidak.
“Karena lebih banyak yang memberikan izin, maka saya beranggapan boleh melakukan pawai ogoh-ogoh,” terang Wayan Suarta.
Kemudian ia lanjut ke pura lain. Sama juga. Dia sempat kerauhan dan kesurupan, tetapi mendapat tanda kalau diberi izin untuk pawai ogoh-ogoh. Setelah lega karena Wayan Suarta seperti mendapat izin untuk pawai ogoh-ogoh, ia kemudian pulang ke rumah untuk mempersiapkan pawai pada malam harinya.
Di awal sebelum pawai, Kelian Adat sempat datang ke rumahnya dan mengatakan kalau tidak ada masalah untuk pawai. Namun, setelah upacar di Bale Agung selesai, kelian adat datang dan menyuruh Wayan Suarta datang ke Pura Desa. Ternyata sesampai di Pura Desa ada kejadian kalau Ida Sesuhunan di Pura Desa tidak kayun mesineb. Masih banyaknya orang yang kerauhan. Akhirnya diambil keputusan untuk tidak jadi melakukan pawai ogoh-ogoh.
Kejadian niskala tidak hanya berakhir di Pura Desa. Sesampainya di rumah, Wayan Suarta mengalami kerauhan yang cukup membuat orang sekitar dan tetangganya panik. Ogoh-ogoh diminta agar segera dibakar saat itu juga dengan terlebih dahulu melepas bunga-bunga di kepala ogoh-ogoh tersebut.
“Waktu itu orang-orang menangis termasuk ibu saya. Bahkan ibu saya berkata kalau ia hendak membakar saya, tetapi mengurungkan niatnya karena terlalu sayangnya kepada saya. Saya hampir dibunuh saat itu,” cerita Wayan Suarta.
Akhirnya ogoh-ogoh tersebut dibakar dan keadaan kembali tenang seperti semula. Mulai saat itu hingga sekarang belum ada lagi yang berani membuat ogoh-ogoh di Desa Adat Renon. “Desa Adat Renon ini aura niskalanya sangat keras (tenget). Tidak hanya ogoh-ogoh, pementasan seni juga berpengaruh. Ada drama gong (lawak) yang saat pentas di tempat lain bisa lucu namun saat pentas di Renon menjadi tidak lucu,” Wayan Suarta menambahkan.
Selain itu juga calonarang tidak dipentaskan di Desa Adat Renon. Sempat ada rencana untuk mengadakan calonarang terkait selesai proses perbaikan gedong dan ngodak tapel Ida Sesuhunan. Namun, kemudian banyak warga meninggal. Akhirnya, melalui sangkep desa, pementasan calonarang pun dibatalkan. [b]