Teks Ni Ketut Sriwati, Ilustrasi Internet
Diperlukan perhatian lebih dari orang tua agar anak-anak tetap memilih untuk membaca buku dari pada main game.
Pagi ini udara di Ubud terasa sejuk dan segar. Kesejukkan itu terasa sampai di lantai atas Pondok Pekak, tempat perpustakaan untuk anak-anak, di Ubud, Gianyar. Ribuan buku-buku berderet rapi di rak. Namun dari pagi belum ada seorang anakpun yang datang untuk melihat apalagi menjamah dan membacanya.
Mungkin mereka masih di sekolah, sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler. Mungkin main ke rumah teman. Mungkin lagi asyik main play stationn (PS), Nintendo. Atau mungkin lagi main game di internet. Ada begitu banyak kemungkinan.
Main PS. Hal ini mengingatkan saya ketika dua hari yang lalu bertemu Dede, sebeut saja begitu di Pondok Pekak. Dede anak kecil kurus dengan rambut coklat kepirangan. Hampir setiap hari Jumat dia dan dua orang temannya datang untuk belajar menari jauk di lantai bawah Pondok Pekak.
Selama di Pondok Pekak tidak sekalipun Dede datang ke perpustakaan anak. Padahal begitu bannyak buku-buku yang menarik untuk anak seusianya. Dari majalah, buku cerita bergambar, novel, ensiklopedi sampai aneka jenis permainan yang mengasah otak. Namun, semua itu tidak mampu menarik perhatiannya.
Dede, yang berumur 10 tahun, ini sangat suka ke ruangan perpustakaan umum. Lokasinya di lantai bawah. Dia selalu ke sana sebelum latihan menari dimulai. Namun, yang dicarinya bukan buku, melainkan permainan internet. Di perpustakaan umum ada tiga unit komputer dilengkapi internet.
Pernah saya tanyakan ke Dede apakah dia suka membaca? Dan dengan tak acuh dia menjawab, “Tidak.” Waktu saya menanyakan alasannya dia hanya mengangkat bahunya.
Pertanyaan yang sama pernah saya tanyakan ke keponakan saya. Dia bilang cepat ngantuk kalau membaca buku sementara kalau main game. “Itu baru mantap,” jawabnya sambil mengacungkan jempol.
Ketagihan game ternyata hampir melanda semua anak-anak. Hal ini juga dikatakan oleh Jane Watson, salah satu turis dari Inggris yang sudah cukup lama menetap di Bali. Menurutnya, cara mencegah menjauhnya anak dari buku adalah dengan menjauhkan anak-anak dari game dan menjadikan kegiatan membaca sebagai kegiatan keluarga.
Untuk itu, setiap dua kali seminggu Watson datang ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku. Setiap sore dia menyisihkan 1 jam waktunya untuk membaca buku-buku tersebut bersama anak-anaknya.
Biasanya setelah membaca di akan menanyakan pendapat anak-anaknya tentang buku tersebut. Banyak maanfaat yang dia rasakan dengan kegiatan membaca bersama ini. Selain menghindarkan anaknya dari pengaruh game, juga dapat meningkatkan hubungan antara ibu dan anak. “Anak-anak pun terbiasa untuk mengemukakan pendapatnya dengan tenang, santun dan terbuka,” katanya. [b]
aku menaruh buku di mana-mana. di ruang tv, di ruang makan, di ruang tidur, di kamar mandi, di teras. skarang mulai beli mainan2 yang bisa dimainkan tandem ortu-anak. terus sering main ke luar: main bola atau layangan. dan ga mau nyoba memperkenalkan anakku ke game2 macam gitu. well, akhirnya dia kenal sendiri di after school care. tp, juga tidak menunjukkan keinginan untuk punya di rumah.
sebelum tidur, kami baca buku sama-sama: dia bacain aku 1 buku, aku bacain dia 1 buku atau 1 chapter. sambil dia ‘do her number two’ di kamar mandi, dia baca juga.
membiarkan anak main game dan nonton tv memang enak buat ortu (dapat baby sitter gratis). dan tidak membiarkan memang berat. tapi, uumm 😀 (well, ini masalah pilihan sih). hehe
sekarang bisa maen iPad sambil baca ebook juga…
*uhuk..uhuk*
Di Bali memang tidak ada kebiasaan membaca. Mungkin karena lontar dulu hanya dibaca di saat2 tertentu oleh kalangan tertentu saja. Mengubah kebiasaan yang sudah membudaya tentu tidak bisa dilakukan secara instan. Membuat buku bermutu yang bisa menyaingi keasyikan bermain PS mungkin merupakan solusi yang paling ampuh, walaupun pastinya tidak mudah sama sekali.
Nice Article, inspiring. Aku juga suka nulis artikel bidang bisnis di blogku : http://www.yohanwibisono.com, silahkan kunjungi, mudah-mudahan bermanfaat. thx