Mandi pagi saya ini tiba-tiba terputus.
Saya jeda karena pertanyaan ini muncul tiba-tiba di kepala. Kenapa saya harus mandi? Kenapa manusia disarankan mandi dua kali sehari? Sejak kapan hal ini berlaku seperti aturan tidak tertulis di dunia? Siapa menganjurkan perihal ini?
Banyak hal yang manusia lakukan di dunia ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu hanya karena memang sudah seperti itu yang berlaku dalam kehidupan. Kenapa kita tidak pertanyakan hal-hal yang katanya sederhana itu? Mengapa harus begini, mengapa harus begitu.
Sesekali ada yang bertanya dan akan dijawab sekenanya saja, khususnya oleh para tetua kita: Yah memang sudah harus begitu. Jangan banyak tanya, lakukan saja. Cerewet!
Dalam karyanya Essay Concerning Human Understanding, John Locke mencoba menjawab persoalan dari manakah asal ide dan pengetahuan kita, apa yang mampu kita ketahui, sejauh mana pengetahuan kita memiliki kepastian? Kapan kita dibenarkan berpegang pada pendirian yang didasarkan pada ide kita?
Penelitian semacam ini menjadi penting karena kita akan mengetahui kekuatan dan batas pikiran manusia. Dengan demikian, “pikiran manusia yang sibuk” akan membatasi diri pada pembahasan masalah-masalah yang sebenarnya memang dapat diolah. Dia akan “duduk dengan tenang membiarkan tidak mengerti” hal-hal yang di luar jangkauan kemampuannya.
Begitu banyak hal di sekitar kita yang berpendar seperti cahaya. Saya yakin semuanya penting untuk dipikirkan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak ingin susah-susah memahaminya karena tidak ingin, bukan tidak mampu. Sebab semua manusia terlahir jenius. Kasarnya, tidak tertarik karena tidak menarik.
Human Trafficking
Seperti Human Trafficking. Kasus yang sedang marak diberitakan ini mungkin sudah menjadi perhatian publik nasional. Namun, nasional di sini tidak berarti semua manusia Indonesia paham dan mau terlibat memikirkannya. Tulisan ini dibikin dengan tujuan menarik perhatian banyak orang sehingga kesadaran dapat muncul. Lalu, makin banyak yang mulai berpikir tentang hal ini. Lebih bagus lagi apabila memutuskan membantu dengan cara masing-masing.
Human Trafficking, pengertiannya yang paling umum, termaktub dalam UU NKRI No. 21 tahun 2007. Di sana tersurat, “Yang dimaksudkan dengan perdagangan dalam manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam daerah dan di luar daerah maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Praktiknya; menemukan manusia dari mana saja yang bisa dikendalikan sebagaimana sapi perah karena seseorang merasa sudah menyerahkan sejumlah uang atau barang sebagai kompensasi. Manusia yang “terbeli” itu dapat diperlakukan sesukanya. Tak jauh beda dengan perbudakan, menurut ngana?
Perlu kita ketahui juga bahwa kebutuhan akan tenaga kerja manusia ini tidak hanya datang dari luar Indonesia seperti Malaysia dan Hongkong. Justru di dalam negeri banyak tenaga kerja seperti pekerja rumah tangga (PRT) dan baby sitter yang didatangkan dari pelosok daerah demi memenuhi permintaan pasar.
Saya pernah menemukan iklan lowongan pekerja rumah tangga di Bali Advertiser. Saya lupa edisi ke berapa pada 2012. Saya pernah memostingnya di Facebook. Iklan itu berisi special request pada baris terakhir “Diprioritaskan yang berasal dari Sumba.” Ini fenomena menarik. Bahwa hari-hari ini, karakter manusia juga menentukan derajat dan kualitas suku atau etnis tertentu sehingga membentuk pasar yang cukup signifikan.
Saya sendiri sangsi, para tenaga kerja yang masih berada di ruang lingkup seputar Indonesia ini apakah mendapatkan hak sesuai kewajiban yang sudah mereka jalankan atau belum. Di akhir Mei 2016, saya diberi kesempatan mengecap pengalaman ini bersama pengurus Ikatan Keluarga Besar Flores, Paguyuban Flobamora di Bali.
Pada kasus ini, ada 29 orang perempuan yang dicegah keberangkatannya ke Jakarta di Bandara Ngurah Rai, Bali. Beberapa orang yang saya wawancarai berusia masih di bawah 20 tahun. IKB Flobamora Bali dihubungi sejumlah pihak di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) baik itu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar membantu membatalkan keberangkatan nona-nona Sumba ini.
Pasalnya pola-pola memberangkatkan tenaga kerja tanpa identitas sering terjadi dan merupakan salah satu modus penjualan manusia (human trafficking). Sebagian besar berangkat dengan dokumen yang baru saja diurus seminggu sebelumnya. Bahkan ada keterangan usia yang tidak sesuai antara KTP, Surat Permandian dan Ijazah. Mereka mengaku akan dipekerjakan sebagai PRT, baby sitter dan merawat orang jompo. Gaji yang dijanjikan pun bervariasi. Tidak semuanya mendapatkan informasi sama dari agen yang merekrut.
Berbagai alasan mereka kemukakan. Sebagian besar mengakui tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga menyebabkan mereka harus berangkat ke Jakarta dan bekerja apa saja. Lain lagi dengan alasan beberapa orang anak perempuan yang baru saja lulus SMA. Ketika saya bertanya tentang cita-cita dan keputusan mereka melakukan perjalanan ini. Mereka hanya ingin menabung biaya pendidikan agar bisa bersekolah.
Setelah dua tahun kontrak kerja mereka selesai dan dana sudah cukup, mereka akan kembali ke kampung halaman atau hijrah ke kota lain supaya bisa melanjutkan sekolah. Sesederhana itu rencana yang mereka bangun.
Faktor Pendorong
Beberapa hal yang mendorong hal seperti perdagangan manusia bisa terjadi, saya ilustrasikan seperti berikut:
Bertha ibu dengan empat orang anak di pelosok daerah. Pendidikan terakhirnya Sekolah Dasar. Menikah di usia dini karena sudah telanjur hamil. Setiap hari ia sibuk membantu suami di ladang sebagai petani. Hasil pertanian tidak menentu karena musim tidak pasti serta pengelolaan yang masih sederhana. Bertha sekeluarga pun harus mengikat perut setiap hari. Belum lagi dua anaknya yang paling besar sudah mulai bersekolah.
Suatu ketika, Sius, Sekertaris Desa yang juga teman bermainnya di masa kecil berkunjung ke rumah Bertha. Ia menawarkan pekerjaan di tempat sangat jauh dengan gaji menarik. Pekerjaannya pun tidak terlalu berat, “Kau cuma cuci pakaian, masak, setrika macam yang kau biasa bikin di rumah juga. Itu satu bulan kau sudah dapat sekitar dua juta. Belum lagi tunjangan lain-lain. Nanti saya yang urus kau punya surat-surat. Kau cukup kerja satu atau dua tahun. Kau sudah bisa pulang dan bawa uang banyak. Kerja di luar negeri lagi.”
Sepanjang malam, Bertha tidak dapat memejamkan mata. Ia bahkan membangunkan suaminya dan mengajak berdiskusi. Suaminya sedikit keberatan, mengingat anak-anak mereka akan ditinggalkan ibunya untuk waktu lama. Lagipula, suami Bertha ragu dengan apa yang dikatakan Sius. Malam itu mereka tidur saling memunggungi satu sama lain.
Dua hari kemudian, saat akan beranjak tidur di malam hari, Bertha kembali membahas hal tersebut. Suaminya tetap bersikeras tidak mengizinkan ia pergi. Mereka bertengkar cukup hebat.
Keesokan hari, Bertha mendatangi mertuanya dan mengadu. Kedua mertuanya medengarkan dengan seksama dan merasa Bertha menemukan solusi tepat untuk meningkatkan kondisi perekonomian keluarga. Lalu kenapa anak mereka yang adalah suami Bertha harus melarang Bertha berangkat bekerja?
Suami Bertha dipanggil, diajak berbicara serius. Ia berusaha memaparkan banyak alasan, baik itu anak-anak maupun keraguannya tentang Sius. Alasan tersebut dipatahkan begitu saja oleh kedua orang tuanya. “Anak-anakmu biar kami yang jaga, kasih saja Bertha pergi. Sius itu kita kenal baik. Dia tidak mungkin bikin Bertha luntang-lantung di tanah orang.”
Singkat cerita, Bertha pun berangkat. Hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk mengurus dokumen keberangkatan. Bertha begitu total mempercayai Sius. Selama enam bulan setelah keberangkatan, suami dan anak-anaknya tidak pernah menerima kabar berita dari Bertha.
Setahun kemudian, dua petugas Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) mendatangi rumahnya dan memberikan kabar menyesakkan. Bertha dinyatakan meninggal di negeri perantauan akibat sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Akan tetapi, banyak pihak yang peduli dan menyangsikan kejadian ini. Banyak kejanggalan sehingga diadakan penyelidikan lebih lanjut. Berita-berita yang menyusul kemudian hanya menjadi mimpi buruk bagi suami dan anak-anaknya serta penyesalan tak berujung bagi kedua mertuanya. Sementara Sius, tetap hidup dengan aman dan tenteram. Ng….salah siapa?
Kesimpulan dari ilustrasi di atas menghasilkan beberapa poin.
Pertama, masih dan akan selalu tentang faktor ekonomi atau kemiskinan. Permasalahan ini sering sekali menjadi masalah utama dalam kasus human trafficking. Tanggung jawab yang besar untuk menopang hidup keluarga, membayar semua pengeluaran dan pendidikan anak, saudara, dan lainnya sering menjadi pemicu mencari pekerjaan di luar negeri yang tidak jelas kepastiannya.
Kedua, keinginan untuk menjadi kaya dalam waktu yang singkat.
Ketiga, faktor budaya seperti: peran perempuan untuk mencari nafkah, memang sudah kodratnya perempuan mengurus rumah dan hanya membantu untu mencari nafkah tambahan, namun tanggung jawab atas keberlangsungan hidup keluarganya menjadi alasan untuk berimigrasi.
Selain itu juga, peran anak dalam sebuah keluarga, kepatuhan anak terhadap orang tua serta rasa tanggung jawab untuk membayar hutang yang keluarganya miliki, memberikan motivasi tersendiri bagi mereka untuk berangkat bekerja.
Keempat, faktor budaya lainnya: khusus bagi TKI laki-laki. Motivasi untuk berangkat bekerja ke Negara tetangga terkadang bukan hanya tentang keluarga, tetapi tentang perempuan yang akan dinikahi.
Khusus di NTT, tradisi “belis” atau mas kawin sejak beberapa tahun silam terjadi pergeseran makna yang memberikan tekanan cukup besar bagi pihak laki-laki. Jika terus berada di kampung, biaya mas kawin dan resepsi menikah tak akan pernah cukup. Menjadi TKI adalah jalur alternatif yang bisa ditempuh.
Kelima, perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafficking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
Keenam, kurangnya kesadaran, baik mereka yang menjalankan atau terlibat dalam perdagangan manusia ataupun mereka yang menjadi korban perdagangan manusia. Hal ini karena kurang hati-hatinya dan kurangnya informasi serta pengetahuan yang mereka dapat tentang motif-motif dari Perdagangan Manusia.
Ketujuh, pengetahuan yang terbatas yang dimiliki, orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah menjadi sasaran karena memutuskan bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
Kedelapan, orang-orang terdekat yang cukup mengambil andil dalam membentuk keputusan tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadahi sehingga ancaman tidak hanya datang dari luar melainkan juga dari dalam rumah itu sendiri. Tak jarang, iming-iming sejumlah uang justru memperlancar proses keberangkatan. Duit sejuta di pelosok sana, itu BANYAK SEKALI.
Berita Tragis
Akhir Juli 2016, KOMPAS.COM memuat berita tragis dan sungguh menyayat hati: sepanjang 2016 sudah 23 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) meninggal di Malaysia. Sayangnya, kabar ini tak sedemikian mencuat dan menyita perhatian khalayak, sebagaimana publik Indonesia menempatkan rasa kepo-nya yang besar pada kasus kopi sianida.
Perdagangan manusia memang bukan isu seksi layaknya drama Jessica dan Mirna.
Pada 11 Oktober 2016 kemarin, Kompas TV bekerja sama dengan Jaringan Relawan Untuk Kemanusiaan (J-RUK) Sumba melalui program Berkas Kompas mengangkat topik “Jalan Gelap TKI Ilegal.” Pada liputan ini, diketahui sepanjang tahun 2016 telah ada 35 korban TKI yang meninggal di perantauan. Hanya ada empat TKI yang berangkat melalui jalur resmi sementara tiga puluh satu lainnya berangkat secara legal atau memalsukan identitas.
Jumlah mereka yang mati dikabarkan terus bertambah. Hingga 25 Oktober 2016, ketika tulisan ini sedang saya kerjakan, sudah 44 orang TKI asal NTT meninggal di negara orang.
Kasus yang cukup menghebohkan adalah kematian buruh migran bernama Yulfrida Selan (19 tahun), asal Timor Tengah Selatan, NTT. Yulfrida meninggalkan kampung halaman tanpa sepengetahuan keluarganya sejak September 2015.
Pada 13 Juli 2016, petugas BP3TKI NTT memberitahu keluarga, bahwa Yulfrida telah meninggal gantung diri di dapur rumah majikannya di Malaysia. Saat jenazah Yulfrida diserahkan pada keluarga, ditemukan sejumlah kejanggalan: identitas korban dipalsukan, kondisi jenazah penuh bekas jahitan, serta dugaan Yulfrida menjadi korban perdagangan organ tubuh, yang kemudian dibantah Polri.
Tak pernah habis masalah TKI ini diangkat, namun tidak kunjung terurai. Kasus di NTT menunjukkan pengiriman TKI tidak resmi lebih jadi pilihan ketimbang jalur legal. Mengapa bisa demikian? Selain karena permintaan tinggi, warga desa mudah ditipu dengan cara ilegal, demi terhindar dari biaya-biaya yang dianggap membebani seperti tes kesehatan, asuransi hingga biaya pelatihan. Identitas mereka dipalsukan, sertifikat keterampilan pun dipalsukan. Oleh para calo, TKI kemudian dikirim ke majikan yang telah memesan.
Data yang dihimpun tim International Organization for Migration menyebutkan 65 persen TKI direkrut oleh pekerja individual, para calo atau tetangganya. Sekitar 35 persen direkrut lembaga penyalur tenaga kerja (PPTKIS), dan sekitar 5 persen bahkan dijerumuskan oleh keluarganya sendiri, sisanya sebagian kecil diculik untuk dieksploitasi.
Kasus terbaru pada 23 Agustus 2016 lalu, Polda NTT mengungkap sindikat perdagangan orang yang menukarkan 20 TKI ke luar negeri, dengan satu mobil Xenia. Sungguh ironi, nyawa manusia hanya dihargai satu buah mobil.
Bagi yang selama ini penasaran, semoga tulisan ini menjawab rasa-rasa yang selama ini berkecamuk di kepala Anda. Kenapa orang-orang ini mau berangkat kerja ke luar negeri? Kenapa mereka bisa menjadi korban perdangangan manusia? Kenapa mereka bisa mati begitu saja dan tidak dipedulikan?
Mulai saat ini, cobalah kita lebih peka dengan situasi di sekitar. Di negara kita tercinta ini. Apabila memiliki tenaga kerja di rumah yang berasal dari pelosok daerah, sudahkah kita memperlakukan dengan layak dan memberikan hak yang seharusnya ia dapatkan?
Begitu pula jika kita mendapat curiga, mencium hal-hal yang mengarah pada cerita-cerita yang sudah saya kemukakan di atas, sepatutnya kita mencari tahu dan mengantisipasi. Terhadap keluarga, kenalan, siapa saja yang kita jumpai. Sampaikan informasi-informasi berharga ini lalu meneruskannya kepada yang sungguh-sungguh membutuhkan. Dengan demikian tidak ada lagi korban-korban selanjutnya pun kesedihan yang berkepanjangan.
Penutup
Jangan terburu-buru sebab tulisan ini belum selesai. Cerita ini tidak fiktif. Ini yang mencuat keluar dari sekian kenangan yang tersimpan lama. Saya tarik dari lemari penyimpanan memori karena dibutuhkan.
Belasan tahun yang lalu, saat itu saya masih sangat kecil dan tidak mengerti apa-apa. Rumah kami kedatangan sejumlah keluarga yang akan berangkat ke Malaysia. Saya terpukau, waow itu kan luar negeri. Kakak sepupu saya yang adalah anak dari kakak ayah saya, mengumpulkan mereka di ruang tamu lalu membagikan Kartu Identitas mereka.
Ia menekankan supaya mereka semua berhati-hati saat naik kapal nanti, usahakan semua tiba di Kalimantan dengan selamat. Saat itu saya hanya bengong menatap biji matanya yang hampir menggelinding keluar, juga kumisnya yang terus bergerak seiring ia bicara.
Tiga tahun lalu, adiknya, salah satu dari yang berangkat, dinyatakan meninggal karena TBC di Malaysia. Hal ini terjadi setelah berkali-kali mereka pulang-pergi bekerja ke Malaysia. Dan saya baru mendengar kabar duka ini setahun lalu dari adik kandung saya.
Laki-laki yang meninggal itu, kami cukup dekat saat saya masih sering bertandang ke kampung. Dia sepupu yang selalu mengabulkan keinginan saya akan mata yang lapar terhadap buah-buah di pepohonan sekitar rumahnya. Hari-hari ini, saya mulai penasaran, apakah sungguh ia mati karena sakit? [b]
#StopHumanTraficking #StopBajualOrangIndonesia #StopBajualOrangNTT